Sabtu, 14 Maret 2015

SAVE

by Shafiqah Adia Treest






Menunggu memang hal yang sangat membosankan. Namun, entah mengapa aku tak pernah merasa jenuh menunggumu di sini. Sebuah kata sakti yang bisa mengubah dunia menjadi surga. Membuatku terhipnotis dengan segala tindak tandukmu yang selalu membuatku tersenyum manis. Merindu, itulah yang tengah kurasakan kini. Perasaan dan logika memang tidak pernah bisa dimengerti karena selama ini logika yang kau punya dan perasaanlah yang selalu kurasa.
Kau selalu mengatakan bahwa perpisahan kita bukanlah akhir dari segalanya. Pergi begitu saja menjadi pilihanmu di saat aku tengah menata impian untuk hidup bersamamu. Kau benar, bahwa aku harus banyak belajar … tentang rasa, tentang cinta dan tentang apa adanya …
Pergi bukan karena benci, tapi berlalu untuk terus menyimpan rindu … itulah kata terakhirmu … kepadaku …

***

Kuamati sekelilingku. Mereka butuh jawabanku secepatnya. Ini memang tidak mudah. Keputusanku ini nantinya bisa jadi penentu hidup seseorang. Aku berpikir sejenak. Menimbang segala kemungkinan yang akan terjadi. Tidak, aku tidak mungkin bisa menyetujui proyek ini.
“Berapa lama lagi kami harus menunggu jawabanmu?”
Pertanyaan yang semakin membuatku terdesak. Tidakkah kalian tahu bahwa ini tidak mudah bagiku?
“Kurasa hanya butuh penyesuaian selama beberapa waktu dan seterusnya akan kembali normal.” Suara yang lain ikut berkomentar.
Aku terdiam.
“Ayolah, buatlah semua menjadi mudah. Kita ini ilmuwan terbaik yang dimiliki oleh Istech.” Timpal yang lain.
Aku memberi aba-aba dengan tangan kananku. “Baiklah. Aku akan mengambil keputusan. Mohon kalian dengarkan dengan seksama. Aku, Eve Arniannisa, selaku Wakil Presiden Istech Laboratory, tidak akan pernah mencoba untuk membuat kehidupan manusia terancam.” Kataku dengan intonasi yang cukup tegas dan dalam. Tatapanku kubagikan ke seisi ruangan dan aku mendapat balasan yang tidak menyenangkan.

***

Aku tidak menyangka apa yang telah kuputuskan menjadi kontroversi. Beberapa ilmuwan terbaik yang dimiliki oleh Istech lebih memilih mengundurkan diri karena merasa sudah tidak sejalan dan tidak terima akan keputusanku. Buruknya, berita ini sampai di telinga ayah dan tak berapa lama ayah memanggilku.
Perdebatan sengit di antara kami terjadi di ruang kerjanya yang di isi oleh peralatan super canggih yang hanya di miliki oleh Istech Laboratory. Semuanya hasil dari kerja Istech selama ini. Kembali ke ayah, aku mencoba untuk membuat ayah mengerti mengapa aku membuat keputusan itu. Manusia mana yang ingin hidupnya di muka bumi ini terancam karena ada orang lain yang mampu memegang kendali pikirannya.
“Seandainya kau setujui proyek ini, Istech bisa menarik lebih banyak investor. Kau sadar itu, Eve? Ayah memang mempercayakan proyek ini kepadamu, tapi kau tetap tidak memiliki hak untuk mengambil keputusan tanpa sepengetahuan ayah. Seharusnya kita diskusikan sebelum kau membatalkan proyek ini.”
“Aku mengerti ayah, tapi bukankah ayah selalu mengajariku untuk bisa menjadi seseorang yang tidak pernah mau berkompromi dengan sesuatu yang sudah jelas-jelas mengancam kehidupan seseorang? Rules of Istech Laboratory. Menjual Istech kepada pihak asing yang sebenarnya tidak benar-benar tahu ilmu itu apa? Mereka di luar sana hanya mementingkan nilai yang bisa menguntungkan mereka tanpa mau melihat apa yang sebenarnya menjadi permasalahan dunia.”
“Kau terlalu mengedepankan ideologimu. Di sini, yang kita lakukan adalah bekerja untuk menemukan hal baru untuk menjaga kelangsungan hidup manusia di muka bumi, bukan untuk melawan arus dengan memusuhi perbedaan yang ada.”
“Ayah, bisakah kita memandang dari apa yang sudah terjadi sebagai bukti? Mereka memiliki ilmu bukan untuk menjaga kelangsungan hidup manusia di muka bumi, tapi lebih mengedepankan apa yang bisa menguntungkan mereka. Cobalah untuk memahami itu!”
“Kau mau mengatakan bahwa proyek ini bisa merugikan banyak pihak? Apa menurutmu dengan kita menciptakan VERO, Virtual Embodiment and Robotic Object , ini bisa mengusik kelangsungkan hidup manusia? Tidak akan ada hal yang merugikan bila kita mel …”
“Maaf bila aku memotong ucapan ayah, tapi tidak ada yang bisa menandingi kecerdasan manusia yang sesungguhnya sekalipun kita bisa mengendalikannya. Coba ayah bayangkan bila kita benar-benar menciptakan VERO, apa yang akan terjadi? Setiap orang memiliki kendali atas segala sesuatunya hingga waktu yang akan menjawab kapan kepunahan manusia di muka  bumi ini akan terjadi.”
Ayah berusaha menelaah ucapanku. “Kita bisa menyempurnakan VERO dengan tetap memberi pusat kontrol yang hanya dimiliki oleh Istech. Semua bisa kita kendalikan hanya dengan menjentikkan jemari di sini, di Islamic Technology Laboratory.”
Aku membuat jarak dengan ayah. “Aku tahu …” aku merendahkan suaraku. “… tidak ada yang tidak mungkin di Istech. Aku begitu cinta dengan ilmu pengetahuan. Aku dibesarkan di lingkungan yang begitu memuliakan ilmu pengetahuan atas dasar Ketuhanan. Aku ingin menciptakan sesuatu yang bisa membuat umat manusia di muka bumi ini bersatu. Tapi aku sadar bahwa ada yang lebih berkuasa atas segala sesuatunya. Selama ini kita tidak pernah memperdebatkan hal yang sudah menjadi kodratnya. Istech berdiri bukan semata untuk membuktikan keselarasan ilmu pengetahuan dengan keyakinan, melainkan lebih dari itu. Kekuasaan-Nya. Ayah, aku memahami maksudmu, tapi izinkan aku untuk menyempurnakan VERO dengan caraku sendiri, dengan bantuan rekan-rekan yang memiliki visi dan misi yang sama dengan Istech. Aturan Tuhan.”
Ayah mengangguk-anggukan kepalanya. “Baiklah.” Suara ayah terdengar berat. “Ayah percaya padamu. Kau memang begitu mirip dengan wanita yang begitu kucintai setelah ibuku, wanita yang telah melahirkanmu, dua puluh lima tahun yang lalu …” tutur ayah dengan berkaca-kaca.
Aku menundukkan kepalaku. Ya, aku memang selalu mengingat pesan ibu. “Sekuat apapun kita membuat sesuatu dengan sempurna, tetaplah Ia yang Maha Sempurna atas segala penciptaan-Nya.”

***

Hari ini, aku mengundang beberapa relasi Istech. Ini adalah hari yang begitu bersejarah. Kuharap, Istech kembali menorehkan sejarah di mata dunia. Selama ini, dunia selalu mengapresiasi ciptaan Istech, mulai dari Ear Sensor V, i-Heart G-V, Manjaniq Express, sampai ciptaan yang belum lama diluncurkan, yakni Qur’an Brainwashing, semacam alat untuk membantu mengembalikan memori manusia seperti semula dengan metode Qur’ani. Dan kini, Istech kembali ingin mencetak sejarah dengan peluncuran VERO V (Virtual Embodiment and Robotic Object V).
Semua mata tertuju kepadaku. Mereka terlihat tidak sabar melihatku mempresentasikan VERO V. Kuredupkan penerangan di ruangan ini dengan Eye Sensor. Kemudian, kunyalakan sebuah layar datar besar yang tepat berada di belakangku dengan sebuah sentuhan kecil pada chip yang kusisipkan di blazer hitam yang kukenakan. Hybrid Filter Screen, teknologi layar sentuh 4D yang dikendalikan oleh Tearshand Control.
Suara salam menggema sebagai pembuka yang begitu kental dengan nuansa Islami yang merupakan bagian dari protokol Istech Laboratory yang pertama. Kulanjutnya dengan memberikan sedikit pengantar mengenai apa yang akan kupresentasikan. Ayah tak sedikit pun mengalihkan pandangannya dariku, berusaha menilai penampilanku di depan banyak mata yang ke semuanya adalah tamu kehormatan Istech.
"Sesungguhnya telah Allah datangkan sebuah Kitab berisi Ilmu Pengetahuan (Teknologi Al-Qur'an) kepada kita semua, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman".[1] aku memulai presentasiku dengan memperlihatkan VERO V. decak kagum terdengar begitu vokal. Aku tersenyum puas. Kuarahkan pandanganku ke ayah. Ayah menganggukkan kepalanya seraya tersenyum bangga padaku.
“Perkenalkan …” aku melapangkan tangan kananku ke arah VERO V. “VERO V (Virtual Embodiment and Robotic Object V). Sebuah robot pintar kelima yang diciptakan oleh Istech Laboratory. Penambahan ‘V’, selain untuk menunjukkan identitas penciptaan robot itu sendiri, juga berarti sebuah lambang ‘peace’ atau ‘perdamaian’, juga sebagai sebuah simbol Ketuhanan, Rukun Islam. Jelas bahwa robot pintar ini diciptakan untuk menyelaraskan kehidupan umat manusia. Bila tombol yang tepat berada di kening robot ini di tekan sekali, maka robot akan mulai menduplikasi apa yang ada di pikiran kita dengan bantuan dari sebuah sensor sidik jari yang menyentuhnya. Bila di tekan dua kali, maka sensor akan berhenti menduplikasi. Perlu digaris-bawahi bahwa penduplikasian ini melalui proses filterisasi. Hanya energi positif yang ada di pikiran kita sajalah yang mampu di-decoding sesuai dengan memori yang sudah disisipkan dan diprogram di robot pintar ini.”
“Robot perdamaian yang terlihat begitu cantik.” Puji salah seorang tamu kehormatan yang kuketahui bernama Hilman. Pemuda yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata hingga ia dipercaya untuk mengelola Royal House Laboratory. Sebuah laboratorium ternama di negeri ini yang memiliki konsentrasi pada peralatan rumah tangga tercanggih abad 21. Sayangnya, di mataku ia hanyalah seorang android playboy. Julukanku untuk lelaki pencinta gadget itu karena ia begitu senang menawan hati wanita mana pun yang ia sukai.
“Aku suka presentasimu. Sejauh analisaku, VERO V ini seperti programmable automation yang pernah diciptakan oleh Corp C. Laboratory yang bisa menduplikasi pikiran-pikiran positif hingga mampu mencegah negative feedback yang akan terjadi. Robot pintar besutan CCL itu mengadopsi rangka hidrolik Vinci yang memang harus diakui belum ada tandingannya hingga saat ini.”
“Tapi maaf, analisa anda sangat keliru. Terobosan Istech ini memang menggunakan rangka hidrolik layaknya robot pintar yang pernah diciptakan oleh CCL, tapi kami bukan mengadopsi rancangan da Vinci, melainkan mengadopsi sebuah maha karya insinyur Muslim yang begitu brilian,   Al Jazari.”
“Al Jazari?” pertanyaan itu muncul ke permukaan. Seisi ruangan saling berpandangan dan mengerutkan keningnya masing-masing.
“Al-Shaykh Rais al-Amal Badi al-Zaman Abu al-Izz ibn Ismail ibn al-Razzaz al-Jazari, seorang ilmuwan yang unik, tak tertandingi kehebatannya, menguasai ilmu yang tinggi, dan bermartabat di zamannya, di abad ke-13 M. Hampir keseluruhan dari penciptaan VERO V, kami adopsi dari maha karyanya yang disempurnakan oleh beberapa ahli teknik di bawah kepemimpinan tiga raja Dinasti Artuqid. Sosok yang selama ini tenggelam dalam peradaban, tapi berusaha dimunculkan kembali dengan kehadiran Istech di tengah-tengah peradaban modern kini.” Kataku dengan bangga. Hatiku bergetar kala menguraikan apa yang kuketahui tentang sosok yang dikenal sebagai Bapak Teknik Modern itu.
Seluruh tamu kehormatan yang sekaligus merupakan relasi dari Istech Laboratory pun tak henti mengajukan beberapa pertanyaan. Kujawab dengan jelas dan singkat yang paling tidak bisa menjawab rasa penasaran mereka.
“Dengan Self Operating System, kami menyempurnakan VERO V dengan harapan mampu menciptakan perdamaian dunia yang setiap umat manusia idamkan selama ini. Tidak ada lagi perpecahan, permusuhan atau pun peperangan dalam konteks perbedaan. Ini telah kami program dengan bantuan sebuah chip yang hanya ada satu di dunia ini, Onepeace Modulator Chip. Sistem kerjanya sudah ada dalam modul yang saat ini berada di meja anda semua.”
“Lalu bagaimana dengan landasan Istech selama ini? Sekalipun kami sudah mengetahui tokoh yang Istech adopsi untuk menciptakan VERO V?” pertanyaan menarik yang menyentakkan seisi ruangan.
Dengan santai kupandangi wajah mereka satu per satu. Perang pemikiran yang terjadi saat ini. Ayah berusaha untuk mengendalikanku dengan bisikan untuk menghentikan presentasiku ini agar tidak terjadi perdebatan berkepanjangan. Aku berusaha meyakinkan dan menenangkan ayah.
“Al-Jami Bain al-Ilm Wal ‘Aml al-Nafi Fi Sinat ‘at al-Hiyal (The Book of Knowledge of Ingenious Mechanical Devices) adalah salah satu buku koleksi Istech Library. Salah satu buku yang kami jadikan sebagai panduan di samping AlQur’an, kitab suci umat Islam.”
“Hmm … menarik … keselarasan ini memang menjadi khas dari Istech.” Seru yang lain. “Lalu, apa yang menjadi acuan Istech untuk membuat VERO V dengan wujud seperti ini?”
 “Sengaja kami membuat VERO V ini dengan bentuk dan penampilan yang berbeda dari robot pintar lainnya agar tidak menyerupai bentuk dari manusia. Ini karena Istech tidak ingin membuat sesuatu apapun yang bersifat menandingi ciptaan-Nya. Jika kamu harus melakukannya (menggambar), maka gambarlah pohon dan sesuatu yang tidak mempunyai ruh. Sebuah hadist yang juga menjadi landasan kami. Keselarasan yang begitu sempurna.’’[2]
“Presentasi yang cantik …” tepuk tangan terdengar riuh ke seisi ruangan. “Istech memang benar-benar telah mencetak sejarah baru …”
Aku menatap ayah dalam-dalam. Ada rasa bangga pada diriku sendiri. Inilah kekuasaan-Mu. Aku hanya menjadi perantara untuk membuktikan bahwa Kau begitu sempurna dalam menciptakan kami hingga kami bisa menggunakan kecerdasan yang kami miliki untuk menunjukkan kebesaran-Mu.

***

Menciptakan perdamaian memang tidak mudah. Dengan beragam latar belakang yang berbeda, dengan segala keunikan setiap manusia, semua menjadi sebuah kekompleksan yang patut untuk kita pahami maknanya. Melihat ke luar jendela dengan keberagaman yang ada.
Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.[3]
Perbedaan merupakan sunatullah, namun tidak berarti kita tidak bisa bersatu. Warna yang berbeda saja bisa menjadi sebuah pelangi cantik yang menghiasi langit bila bersatu. Bagaimana dengan manusia yang memiliki berjuta perbedaan dijadikan satu?
Sesungguhnya Allah menjadikan perdamaian sebagai tanda penghormatan bagi umat kami dan keamanan bagi ahli Dzimmah kami.[4]
Keberadaan VERO V yang diciptakan oleh Istech menjadi salah satu pelopor perdamaian umat manusia di dunia. Layaknya Piagam Madinah (al-sahifah al-madinah) yang menjadi instrumen penting atas kelahiran sebuah institusi yang berorientasi pada perdamaian dan kebersamaan, VERO V diharapkan mampu mengontrol jiwa-jiwa manusia dengan kecintaan dan rasa kasih sayang yang lebih dominan dari rasa benci dan penyakit hati lainnya yang mampu memecah keharmonisan hubungan setiap insan.
Memahami rasa keberagamaan (sense of religiousity) menjadi pilar penciptaan VERO V. Inilah yang di kedepankan oleh Istech sebagai sebuah laboratorium yang menjadikan AlQuran dan Sunnah sebagai pedoman dasar.
Mampu berdampingan di tengah perbedaan pemicu perdamaian adalah visi misi VERO V di muka bumi.    VERO V  hadir dengan memberikan penguatan akan sebuah  prinsip kasih sayang (mahabbah), kebersamaan (ijtima‘iyah), persamaan (musawah), keadilan (‘adalah), dan persaudaraan (ukhuwah), serta menghargai perbedaan.

Inilah catatanku hari ini. Kau yang telah menyemangatiku dalam diammu. Kau yang telah memberiku sebuah mimpi yang didasari oleh hati. Dari perdamaian diri, tumbuh menjadi sebuah ketenangan yang hakiki dan akan berkembang menjadi cinta di hati. Sepertimu yang mendamaikan diriku, menenangkan jiwaku dan kini tengah menyemai cinta dalam kalbuku. Sungguh, aku begitu merindu … merindukan kehadiranmu …
VERO V
Kuberharap keberadaannya menjadi penyatu, bukan sebagai pembelenggu orang yang meragu …
Menjadi media yang mampu merekatkan kerenggangan akan sebuah hubungan setiap manusia agar tidak menjadi kenangan yang mudah untuk menghilang …

***

“Eve Arniannisa …”
Hatiku bergetar kala ia menyebut namaku. Dua lelaki yang begitu kucintai kini berada tepat di hadapanku. Bulir airmata menutupi rona wajahku yang tersorot lembayung senja. Aku tak menyangka rasa cinta yang selama ini kucoba ungkapkan dalam diam, berbuah indah.
“Aku sudah mengantongi restu dari ayahmu. Bila selama ini aku memilih pergi jauh darimu untuk menjaga hatiku dari belenggu cintamu, kini aku datang dengan perdamaian. Layaknya VERO V yang telah kau sempurnakan, maukah kau ‘mendamaikan’ hatiku, selamanya?”
Betapa rasa itu membuncah hebat, penuh semangat. Lelaki paruh baya yang kurasa patut mendapat penghargaan sebagai ayah terbaik menyunggingkan senyum termanisnya.
“Ayah telah tertular virus perdamaian yang dibawa oleh VERO V. kehadiran VERO V mampu memberi cinta dan kasih sayang sesuai dengan porsinya. Pergilah dengan cinta sejatimu, biarkan ayah dan VERO V melanjutkan tugasmu, untuk meneruskan diri sebagai agen perdamaian bagi umat manusia yang ada di seluruh dunia.”
Aku memeluk ayah. Hijabku berkibar diterpa angin senja. Mentari yang setengah tenggelam menjadi saksi betapa aku begitu terharu dengan rencana-Nya yang selama ini begitu kurindu. “Aku mencintai ayah …”
Ken mengalihkan pandangannya. Ia menatap langit senja yang menjanjikan kenyamanan dan ketenangan.

***

“Aku berharap tidak terlambat untuk datang mengikat hatimu. Kucoba tepiskan keraguan dengan menyelami rasaku dalam-dalam. Ternyata, aku memang benar-benar mencintaimu.”
Aku tersenyum malu. Kehalalan hubungan kami membuat kami semakin pandai dalam memaknai rasa cinta dan kasih sayang. “Sepertinya VERO V bekerja dengan baik dan sesuai dengan kontrol Istech.”
“Bukan. Mungkin kehadiran VERO V bisa menjadi pemicu perdamaian di hati setiap insan, tapi aku tahu bahwa kau menyempurnakan VERO V bukan untuk itu karena kita semua tahu bahwa cinta dan kasih sayang tumbuh dari hati, sementara kita mengetahui bahwa VERO V tidak memilikinya. Mana mungkin sebuah robot pintar mampu menjadi kontrol cinta dan kasih sayang antar manusia di muka bumi ini.”
Aku bertambah kagum dengan sosok Ken yang kini telah menjadi pendampingku. “

“Ken …”
“Hmm …”
“Kenapa kau memilih untuk pergi?”
“Pergi untuk menjaga hati. Pergi sementara untuk bahagia selamanya …”
Aku tersipu malu.
“Apa aku yang telah menjadi inspirasimu?”
Aku mengangguk pelan. “Ya. Aku ingin VERO V memanggil namamu untuk kembali kepadaku. Kembali untuk menyatakan perasaannya kepadaku … hanya kepadaku …”
“Bagaimana kau bisa begitu yakin aku memiliki perasaan terhadapmu?”
“Bukankah hati tak bisa menipu sekali pun pandangan begitu malu?” kataku sambil menatap kedua bola matanya.
“Terima kasih untuk keyakinanmu kepadaku …”
“… karena dengan keyakinanku, aku bisa menemukanmu …”
Ken memelukku. “Tetaplah menjadi VERO bagi hatiku yang selalu mendamaikan, menenangkan dan menyemai cintaku … satu … hanya untukmu …”
“Simpanlah hatiku dalam laci terdalam di rongga hatimu agar aku selalu terkunci akan cintamu yang satu … hanya untukku …” aku membalas pelukan Ken.

Sesungguhnya orang-orang beriman dan beramal sholeh, kelak Allah yang maha pemurah akan menanamkan dalam hati mereka kasih sayang.”[5]

Hanya manusia yang mampu mendamaikan dunia dengan cinta-Nya karena hanya manusia yang memiliki hati untuk mencinta …

VERO V
Hanya sebuah simbol cinta, bukan untuk menebar cinta …


Kepunahan manusia hanya tinggal menunggu waktunya. Sadarilah itu dengan tetap menjaga perdamaian dunia …

… SAVE …

Kekuatan Islam di mata dunia …
Bukan tidak mungkin ISTECH berjaya …


Sir George Bernard Shaw (1936):
 "If any religion had the chance of ruling over England and Europe within the next hundred years, it could be Islam. I have always held the religion of Muhammad in high estimation because of its wonderful vitality. It is the only religion which appears to me to passes that assimilating capacity to the changing phase of existence which can make itself appeal to every age. I have studied him - the wonderful man and in my opinion far from being anti Christ, he must be called the savior of humanity."[6]
… Islamic Technology Laboratory …
Slice of Life : SAVE
By Shafiqah Adia Treest



[1] QS. Al A'raaf : 52
[2] HR.Muslim : 3945
[3] Ar-Rum : 22
[4] Fiqih Sunnah Jilid 3 hal 340
[5] QS. Maryam : 96
[6] novelis, kritikus, esaias, politikus, dan orator Irlandia.

First ‘n Endless Love

By : Aghoesthine







Senyum Pak Rahmat masih sama, tetap seramah dulu ketika menyambut kedatanganku. Hanya saja, kini tubuhnya lebih kurus dan keriput di wajahnya terlukis jelas di usianya yang senja. Bersusah payah aku memarkir mobil sebelum dibantu olehnya. Tak banyak yang berubah, tata letaknya pun tetap seperti dulu, hanya saja warna cat gedung lebih cerah, berwarna orange terang dan menyala. Beberapa teman dan para guru telah terlebih dahulu datang, saling sapa dan bersalaman. Mataku menyempatkan diri untuk membaca spanduk besar yang berada tepat di hadapanku.

Selamat datang para Alumni Angkatan 2000 SMU Teladan Nusa Bangsa Unggulan

Aku menyapa beberapa orang yang masih dikenal. Begitu pula dengan para guru yang masih sangat kuingat. Beberapa guru yang telah mendidik kami kala itu, masih terlihat membaktikan dirinya untuk sekolah ini, meski kini uban telah memberikan isyarat kepada mereka bahwa mereka pernah menjadi bagian penting bagi pendidikan kami, sepuluh tahun yang lalu. Namun banyak pula yang tidak terlihat lagi, karena telah pensiun atau meninggal dunia. Termasuk kepala sekolah kami yang telah tutup usia.
Hampir seluruh temanku membawa pasangannya dan anak-anak mereka untuk diperkenalkan. Aku hanya menumpang kebahagiaan melihatnya.
“Dilkamu Dilla kan? Dokter Dilla!” Aku mengerutkan kening mengingat siapa yang berdiri di hadapanku.
“Sofi.” Teriakku girang.  Kami saling berpelukkan lama hingga melupakan orang-orang yang ada di sekitar.
“Dilaku kangen kamu.” Sofi enggan melepaskan rangkulannya, begitu pula denganku.
“Kenalkan, ini suamikuHendra.” Seorang lelaki sedang menggendong anak berumur lima tahun. Sofi menikah tujuh tahun yang lalu dan dianugerahkan seorang putra yang begitu tampan. Keinginan Sofi untuk menikah muda terwujud, setelah menyelesaikan D3 komputer Akuntansi, Sofi pun langsung memutuskan untuk menikah.
“Bernostalgia, yuk ….” Sofi menarikku untuk diam-diam meninggalkan acara resmi reunian setelah sang suami pamit pulang karena putranya agak rewel bila ikut acara ini. Beruntung  Sofi dapat izin untuk tetap tinggal.
Tak banyak yang berubah, lapangan basket masih sama. Aku seperti melihat beberapa siswa sedang bermain basket dengan penuh energik. Kenanganku di masa lalu seolah terputar kembali.
Kaptennya bermata sipit. Aku sangat mengenalinya, ia tampak seperti pahlawan tim. Ia bermain sangat baik, mampu memasukkan bola ke keranjang basket dengan cekatan. Namanya Fungli, ketua OSIS dan kapten basket yang menjadi idola para cewek di sekolah ini.
Fungli beristirahat sejenak, seorang siswi cantik menghampirinya. Memberikan sebotol air mineral padanya sambil mengelapkan keringat yang bertaburan di kening dengan handuk kecil yang dibawanya. Fungli terlihat bahagia kemudian melanjutkan latihan basketnya. Saat itu, hatiku terkoyak-koyak melihat keintiman mereka dan diam-diam aku meninggalkan lapangan basket dengan perasaan yang bercampur aduk.
 “Heyingat nggak kalo kita pernah bertengkar di lapangan basket ini?” Sofi menepuk punggungku dan membuyarkan lamunanku. Ia berdiri tepat di posisi yang sama, sepuluh tahun yang lalu. Aku tersenyum  mengenang saat itu. Entahlah, tiba-tiba jarum jam seperti berputar berbalik arah dengan sangat cepat hingga membawaku  kembali ke masa itu.
“Yahgue suka ma dia, puas!” Sedih mendengarnya, sahabat sendiri mengkhianatiku.
“Kalo emang lu suka ma dia, kenapa juga lu mendukung hubungan kami di saat yang lain menentangnya. Lu pagar makan tanaman, gak setia kawan! Lu gue end.” aku pergi meninggalkan Sofi yang masih tetap berdiri di lapangan basket sedangkan hujan rintik-rintik memberi kabar akan menyusul hujan yang sangat deras. Namun, Sofi masih mematung sendiri dan membiarkan tubuhnya diguyur hujan deras, sederas airmatanya.

{ { {

 “Temanmu harus ke rumah sakit, sepertinya ini bukan mimisan biasa.” Suster keluar ruangan mencari sesorang yang bisa mengantarkan Sofi ke rumah sakit.
“Fungli, can you help us, please?” Suster memanggil  seseorang yang kebetulan sedang lewat depan ruangan, dan sepertinya sangat mengenalinya.
What can I do for you?” Anak lelaki itu sepertinya anak baru sama seperti aku.
“Temanmu sakit, bisakah kamu mengantarnya ke rumah sakit? Ia mengangguk setuju setelah melihat keadaan Sofi yang tak berdaya. Suster memintaku  untuk ikut  menemaninya.
Dengan cekatan anak lelaki bermata sipit itu memopong Sofi masuk ke dalam mobilnya. Sesampai di rumah sakit, Sofi di bawa ke ruang UGD, tak lama kemudian dipindahkan ke sebuah ruang rawat inap.
Sebelum kembali ke sekolah, Fungli menyarankan untuk mengabarkan keadaan Sofi pada keluarganya. Kami sepakat untuk mencari rumah Sofi. Aku pernah lewat depan gang rumahnya. Tapi tak pernah tahu dengan pasti rumahnya. Fungli memarkirkan mobilnya di depan gang karena gangnya begitu sempit untuk dilalui mobil. Rumah Sofi ada di ujung gang dan dalam keadaan kosong, kami terpaksa meninggalkan pesan kepada tetangga terdekatnya.
 Tanpa sengaja kakiku menginjak batu tajam sehingga  terjerembab, lututku berdarah dan  terkilir hingga sulit untuk berjalan. Fungli berinisiatif untuk menggendongku, aku menolak! Namun,  tubuhnya yang tinggi besar sangat mudah untuk mengangkatku yang  bertubuh mungil. Meski aku sempat meronta, dia dengan kuat bisa menahannya.
“Apa kamu sekalian minta diantar ke rumah sakit?” Tanyanya serius.
“Jangan! Kita balik ke sekolah aja, biar Suster Ana akan mengobatiku.Sungguh saat itu aku sangat malu di gendongnya. Kalau bukan karena keadaan yang sangat darurat, aku tidak akan mau di gendong olehnya.
Sejak pertemuan yang diawali dengan sakitnya Sofi, temanku satu bangku, tak pernah aku melihatnya lagi karena kami beda kelas. Kecuali hari Senin, seringkali ia ditunjuk menjadi pemimpin upacara. Tubuhnya yang tegap mirip potongan tentara dengan suara yang keras lantang, sangat cocok  untuk menjadi pemimpin upacara bendera.
Ketika  duduk di kelas XI, mendadak pertemuan kami menjadi intens. Fungli  terpilih sebagai ketua OSIS, sedangkan aku menjadi ketua Seksi Kebersihan. Setiap rapat OSIS, aku tidak bisa fokus pada diskusi karena mataku tak pernah melepaskan diri darinya. Hingga kadang ia merasa risih dan mulai mengajukan pertanyaan padaku.
 "Punya ide, Dil?  Aku pun mulai kelabakan dan gugup menjawabnya, sedangkan semua rekan-rekan tampaknya menunggu jawaban. Pipiku memerah, menahan malu.
Sudah tiga tahun berturut-turut, sekolah kami menjadi juara pertama lomba kebersihan tingkat Propinsi. Tahun ini, kepala sekolah memintaku untuk mempertahankan piala bergilir itu. Aku mulai agak stress dan terbebani, untunglah Fungli selalu membantuku untuk sosialisasi kebersihan sekolah dan lingkungan sekitarnya. Ia membantu membuat spanduk dan memasangnya di taman sekolah, lapangan basket, halaman depan dan kantin.
Dan ketika tim penilai memeriksa setiap sudut gedung sekolah sampai ke toilet. Kegelisahanku pun terbaca oleh Fungli, ia menepuk pelan kedua pundakku.
 "Tenanglahlu  udah melakukan yang terbaik kok!" Senyumnya di sambut oleh degupan jantungku.
Ketegangan terselesaikan ketika kepala sekolah mengumumkan bahwa sekolah kami bisa mempertahankan gelar 'Sekolah Terbersih dan Terindah'. Dari jauh, di baris depan Fungli tersenyum menatapku, aku pun membalas dengan senyuman penuh bunga-bunga. Dari kejauhan sana pula, aku melihat Kak Tari sedang menangkap rona bahagia milikku.

{ { {

Sofi memukul pundakku, memecahkan lamunanku lagi. Kemudian menyeretku ke kantin yang tak jauh dari lapangan basket. Kantin pun masih seperti yang dulu, hanya para penjualnya yang tak kami kenal lagi.
“Aku masih ingat makanan favoritmu. Kita pesan yuk.” Aku menggangguk setuju. Lidahku bergoyang rindu. Sofi memesan dua mangkok bakso ikan. Di bangku kantin ini pula, Kak Tari, kakak kelasku yang juga menjabat sebagai Ketua Keputrian Rohis,  pernah menasehatiku.
"Kamu aktif di Rohis saja dan mundurlah dari kepengurusan OSIS." Seperti di sambar petir permintaan Kak Tari tidak masuk di akalku. Meski aktif di OSIS tapi aku belum pernah melalaikan kegiatan di Rohis. Aku tak pernah absen mengikuti kajian rutin maupun ketinggalan mengikuti acara keagamaan di hari besar agama Islam.
"Hubungan kamu dengan Fungli mulai jadi pembicaraan teman-teman, anak Rohis harus menjadi teladan yang baik." Aku tak mampu menatap mata bening dan bercahaya miliknya.
"Kita lagi mengangkat topik, 'bahaya pacaran', kamu malah sering berduaan dengan Fungli. Banyak teman-teman kita yang terjebak dalam aktifitas pacaran sehingga prestasi mereka menurun, dan kamu tahu kan? Ada dua teman kamu yang di keluarkan dari sekolah karena hamil. Kakak tidak mau, kamu sebagai anak Rohis terjebak dalam fitnah ini.” Aku mengangkat kepala memberanikan diri untuk membalas tatapannya.
"Aku sama Fungli gak pacaran, Kak!" Aku merasa wajib membela diri, memang kami sering bersama karena sama-sama aktifis OSIS.
"Dil, semua teman  satu sekolah juga tahu kalau kamu suka sama Fungli, mata gak bisa bohong!" Aku tertunduk malu mendengarnya. Memanglah ada rasa aneh yang selalu merayap-rayap perlahan di hati ketika Fungli berada di dekatku.
"Dan penting untuk kamu tahu kalau Fungli non muslim, bahkan ia sudah punya pacar!" Aku tersentak kaget, hati terasa rontok mendengarnya. Meski pun sebenarnya aku telah lama tahu kalau Fungli penganut agama Polytheis.
"Namanya Lili, teman sekelas kakak. Mereka tetangga  dan sama-sama keturunan Cina. Dil … kamu nggak pantas dengannya! Kamu seorang akhwat, berjilbab rapi dan manis. Sedangkan Fungli beda dien dengan kita. Tolong pertimbangkan saran kakak. Aku berusaha dengan kuat menahan  airmataku agar jangan sampai tumpah, setidaknya bukan di depan Kak Tari.
Cukup lama aku mematung, sedangkan Kak Tari dengan penuh sabar masih mencari jawaban di mataku, hingga akhirnya aku mengangguk setuju untuk mundur dari kepengurusan OSIS. Aku berada di Rohis sejak semester pertama, awal tahun aku masuk di sekolah unggulan ini. Dan Kak Tari sangat aku kenal sebagai sosok yang berwibawa. Sulit untukku tidak memenuhi keinginannya yang memang ini semua demi kebaikkanku juga.
Fungli sempat mencari tahu alasan pengunduran diriku. Dan untuk menghindar darinya, aku mengisi waktu istirahat di masjid sekolah dengan membawa makanan kecil dari rumah.
"Kita beda agama, Sof ….” Jelasku ketika Sofi bertanya mengapa aku menolak dekat dengan Fungli lagi.
"Tidak usah di pikirkan, doain sajalah semoga Allah membukakan pintu hidayah dan ia masuk Islam.” Hanya Sofi yang mengerti perasaanku saat itu.
Aku berusaha mengerahkan semua pikiran dan tenaga untuk belajar dan selalu terlibat aktif dalam kegiatan Rohis untuk mengalihkan segala perhatian dari Fungli. Tujuan utama ke sekolah  adalah untuk mewujudkan impianku yang menggantung tinggi di langit.

{ { {

Tak seperti biasa, pelajaran hari ini di mulai dengan pengumuman. Kami menunggu       Mrs. Filomina, guru Bahasa Inggris mengeluarkan suara setelah beliau meminta tenang.
"Sekolah kita akan menjadi tuan rumah untuk Speech Contest English.” Kelas ramai lagi oleh tepuk tangan gembira.
"Apakah kalian punya kandidat yang akan mewakili kelas untuk berkompetisi lokal dan dua winner, putra dan putri akan mewakili sekolah kita." Kelas menjadi sunyi. Tiba-tiba semua mata mengarahkan pandangannya padaku.
 "Dilla!" Suara ketua kelas memecah kesunyian kelas.
"Setuju …." Teman yang lain ikut mengangguk, termasuk Sofi yang paling girang.
“Gue yakin, lu bisa.” Sofi mengangkat jempol kanannya untukku.
Ada tujuh belas siswa dan siswi yang mewakili kelasnya masing-masing untuk seleksi lokal. Seleksi siswa dan siswi di pisah dengan juri yang berbeda pula dengan begitu penyeleksiaan akan efektif. Persaingan sangat ketat karena hadiah pemenangnya akan di ajak jalan-jalan ke Singapura, Brunei dan Malaysia oleh pihak sponsor, yaitu salah satu lembaga kursus bahasa asing yang sangat terkenal se-Jabodetabek.
Hari-hariku kini lebih indah, aku mulai melupakan Fungli. Kompetisi lokal menguras habis otakku yang diisi dengan teks pidato Bahasa Inggris. Kakiku begitu ringan melangkah tanpa beban, gosip tentang kedekatanku dengan Fungli mulai tak terdengar lagi. Aktifitasku sebagai aktifis Rohis pun kujalani dengan ikhlas. Apalagi Kak Tari, sekarang  menjadikan aku ikon sebagai produk kampanyenya 'Without Pacaran Prestasi Oke!'
"Kamu punya prestasi yang baik di sekolah dan juga telah membuktikan bahwa kamu akhwat bersih." Jawab Kak Tari waktu aku tanya mengapa haru aku yang jadi ikon.
Aku bingung dengan kata 'akhwat bersih', apa karena aku dulu pernah menjadi seksi kebersihan di OSIS? Kak Tari tersenyum.
 "Karena gosip tentang kamu dan Fungli tidak terbukti, jadi kamu bisa mencegah fitnah yang menimpa." Aku mengangguk mengerti dan penuh antusias slogan ikon, kukumandangkan, ‘Sekolah tempat belajar bukan tempat pacaran! Tujuannya adalah untuk memerangi penyakit pergaulan bebas yang telah menular ke sekolah kami. Dimana teman-teman telah menjadikan pacaran sebagai hal yang biasa asal jangan sampai hamil atau ketahuan hamil. Penyakit ini sangat merusak masa depan generasi bangsa khususnya untuk para ceweknya.
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba, pengumuman pemenang akan diumumkan langsung oleh kepala sekolah, pada saat upacara bendera selesai. Aku menunggu dengan perasaan berdebar.
"Saya sangat bangga dengan prestasi anak-anak. Setelah kompetisi lokal dilaksanakan,  juri telah memilih satu orang putra dan satu orang putri untuk mewakili sekolah kita yang akan menjadi tuan rumah untuk Speech Contest English. Putra akan diwakili oleh Fungli dan putri diwakili oleh Nurfadillah Azzahra.”
Tepuk tangan meriah dari teman-teman seperti suara petir yang menyambar kepalaku. Ya Allah, mengapa harus dia yang menjadi pasanganku?’ di seberang barisan, aku melihat Kak Tari berdiri menegang. Ucapan selamat datang dari teman-teman untuk memberi dukungan karena kini aku membawa nama sekolah.
Fungli menyempatkan diri menghampiri aku, "Kita akan membuat bangga sekolah." bisiknya padaku. Semua mata memandangi kami. Setelah  mengangguk pelan, aku segera menjauh darinya.
Hari pelaksanaan tersisa seminggu lagi, Mrs Filomina memanggilku dan Fungli untuk latihan bersama, saling mendengar dan mengoreksi control vocal. Memberikan  semangat ketika mulai bosan menghapal. Kami dilarang membawa teks ketika berada di atas podium.
Setiap selesai pulang sekolah, kami exercise setengah jam. Alhasil pertemuanku dengan Fungli tidak dapat dihindari lagi. Pernah waktu  hujan, Fungli menawarkan diri untuk mengantarku. Aku menolak dengan tegas, tapi Mrs. Filomina mendorong tubuhku dalam mobil karena ia sendiri ingin ikut menumpang, kebetulan suaminya menjemput dengan kendaraan roda dua dan dan saat itu tengah menunggu di halte dekat sekolah.
Begitu Mrs. Filomina turun, ia disambut payung dan senyum manis dari sang suami. Fungli melambaikan tangan dan membunyikan klakson tanda pamit. Langit hitam belum bosan menumpahkan air diiringi oleh  suara petir yang menyambar telinga.
"Gue antar lu nyampe depan rumah!" Fungli membenarkan posisi kaca depan dan melihatku di kaca sambil menunggu jawaban.
"Nggak usah, gue turun di ujung jalan. Bukannya lu nanti belok ke kiri?" Aku menunjuk jalan dan berpura-pura tidak melihat matanya yang masih berada  dalam kaca.
"Gue gak bakalan membiarkan lu kehujanan!" Ia keras kepala sama seperti dulu waktu menggendongku, tak bisa ditolak.
"Lu napa  menghindar dari gue?"Tanyanya lagi.
"Gue nggak menghindar dari lu!"Jawabku singkat.
"Mengundurkan diri dari kepengurusan OSIS tanpa penjelasan!" Suaranya mulai menebal.
"Gue mau lebih konsen sama pelajaran.” Jawabku dengan santai.
Fungli menghentikan mobilnya dengan rem mendadak, dan memukuli setir.
"You are lier!" Aku pun menjadi takut, tak pernah kulihat dia begitu marahnya padaku. Aku pun dengan cepat membuka pintu, tapi dia telah menguncinya dengan otomatis.
"Kita beda Fungli!"Aku ingin dia sadar akan perbedaan yang sangat jauh di antara kami. Dia sipit dan putih sedangkan mataku lebar dan berkulit sawo matang. Dan yang paling prinsipil adalah kami beda keyakinan.
Sesaat  ia terdiam, kemudian menjalankan mobilnya. Entah apa yang dipikirkannya.
“Gue suka sama lu dan perbedaan itu tidak ada artinya!”
Hatiku seperti tersambar petir di luar sana setelah menerima pengakuan dadakannya.
"Gue gak mau pacaran!" Aku mulai unjuk taring.
"Karena lu jadi produk ikon kampanye anak Rohis itu kan? Without pacaran, prestasi okey, nonsense ... stupid!!"Bentaknya.
Shut up!!  Turunin gue.Teriakku sekerasnya, gak mau kalah darinya.
“Kenapa sih? Lu gak seperti Sofi yang minta gue jadi pacarnya dengan diam-diam?
What! Sofi?” Sejak awal aku pun sudah curiga kalau ia juga  menyimpan hati untuk Fungli.
"Gue gak ngerti, mengapa agama lu melarang pacaran? Kita kan bisa backstreet?"Hujan belum juga reda, Fungli memberikan pilihan yang berat untukku.
"Fung, aktifitas pacaran itu mendekati perbuatan zina, sedangkan  zina itu termasuk salah satu perbuatan dosa besar dalam agama. Gue juga gak bisa backstreet karena Allah Maha Melihat dan ada dua malaikat yang selalu mengikuti langkah gue.” Aku berharap dia bisa memahaminya dengan cepat karena aku benci sausana ini.
“Gue nggak  ngajak lu yang macam-macam, gue … hanya ingin dekat lu!" Ia menghentikan mobilnya lagi.
"Baiklah, gue nggak maksa lu tuk jadi pacar gue tapi tolong jangan menghindar dan jadikan gue teman lu dalam suka dan duka, Okey?" Wajahnya terlihat sangat tulus, tak tega menolak permintaannya yang sederhana itu. Aku pun  terpaksa mengangguk tanda setuju.

{ { {

Hari yang sibuk untuk sekolah kami. Kursi tersusun dengan rapi, ruang auditorium di hias  bak penyambutan tujuh belasan. Teman-teman dari sekolah lain sudah mulai berdatangan dan mengisi bangku yang telah disediakan.
Kegelisahan mulai menyelinap di hati, sebentar lagi  aku perform. Berbeda dengan Fungli yang kelihatan tenang dengan wajah berseri-seri. Ia menghampiriku dan sangat bisa membaca kegugupanku. Fungli meletakkan kedua tangannya lagi diatas pundakku.
"Lu pasti bisa, kita berdua bakalan jalan-jalan ke luar negeri.” Ia menatapku penuh keyakinan sambil mengembangkan senyumannya.
Jalan-jalan keluar negeri memang impianku, tapi bukan berarti dengannya. Aku pasti mengecewakan Kak Tari dan teman-teman Rohis lainnya yang telah meletakkan kepercayaannya padaku.” Gumamku.
Mata Fungli memancarkan harapan. Hampir satu menit aku di atas podium tanpa suara, Entahlah, seperti ada yang mengganjal. Suara begitu berat kurasa. Fungli memberikan isyarat  untuk mulai sebelum aku kena diskualifikasi.
"Assalamualaikum, good morning everybody, First of all, we would like to praise God for his loving guidance and for the many blessings that he has graciously given to us,  Especially my english teacher for having the patience to support my dream with all your love and care ....”
Aku merasa keringat dingin mengucur ke seluruh badan dan pandanganku pun menjadi kabur. Ya Allah, beri kekuatan, jangan pingsan di sini.” Aku tak mampu mengeluarkan kata-kata lagi dan semuanya menjadi gelap.

{ { {

Hampir saja, aku loncat dari kursi kantin ketika Sofi membanting mangkuk bakso                di depanku dengan kasar, beruntung mangkuk baksonya tidak pecah di atas meja.
Sorrysorry, panas. Nih, bakso ikan kesukaanmu!” Sofi mengipas-ngipas jarinya yang tercepret kuah panas.
“Yang tenang donk, gak berubah dari dulu.” Godaku. Wajahnya memerah namun tetap khusyuk menikmati bakso sambil meniup-niupnya.
Usai makan, kami memilih untuk duduk sejenak di taman belakang sekolah. Tempat paling indah dan paling bersejarah bagi persahabatan kami. Ingatanku begitu kuat hingga dengan jelas, aku bisa melihat peristiwa yang lalu.
"Lu jangan genit sama Fungli!" Lili menatapku penuh amarah.
"Gue nggak ngerti maksud lu?" Tanyaku waktu itu.
"Jangan munafik! Lu kan ikon yang dibangga-banggakan oleh teman Rohis lu. Kenapa pake  pingsan? Biar bisa di gendong doi. Iya?" Aku beranjak dari taman sekolah untuk pergi, Lili menahanku dan mengangkat tangannya dengan cepat, menempelkan telapak tangannya dengan keras di pipiku.
"Sekali lagi lu pake pingsan dan cari perhatiannya, bakalan gue bonyokin lu kayak pecel!" Lili dengan lancang meletakkan tangannya di atas kepalaku. Tiba-tiba tangan Sofi dengan cepat menarik tangan Lili dan menggelintirnya ke belakang.
“Jangan ganggu teman gue!” Bentak Sofi.
“Ampun .…” Lili berteriak mengaduh kesakitan.
“Sekali lagi lu, ganggu teman gue, lu yang bakalan gue bonyokin jadi pecel!” Sofi melepaskan tangan Lili dan ia pun kabur meninggalkan kami.
“Gue minta maaf sama lu karena udah nembak Fung li, please.” Sofi mengulurkan tangannya padaku dengan wajah  memelas.
“Lu gak salah nembak dia, yang gue gak suka kalau lu mendorong gue tuk jadian ma dia. Sementara diam-diam lu suka mah dia. Itu tuh nyakitin gue banget. Seharusnya lu bilang ke gue kalo lu suka ma Fungli. Bukan nembak dia di belakang gue!!” Akhirnya tumpah juga air mataku yang sejak tadi ingin keluar karena menahan rasa sakit di hati dan pipi.
“Yah, gue salah and please maafin gue.” Iba juga melihat wajah Sofi, aku menganggukkan kepala tanda setuju.
“Gue tetap doain lu supaya berjodoh dengan Fungli.” Sofi  memelukku.
"Hey … gue baru lima belas tahun, belum kepikiran untuk nikah … tercapai dulu cita-cita gue, baru nikah!" Jawabku ketus.
"Kalo cita-cita lu gak kesampaian nyampe umur  tiga puluh tahun gimana?" Ledek Sofi.
“Masalah buat lu?” candaku sambil mengulurkan lidah.
“Idih ... gak ketuan segitu? Gue sih abis lulus langsung nikah!” Bangga Sofi.
"Biarin daripada lu genit, he ... he ....” Tawa kami terdengar renyah di taman ini.

{ { {

Sekolah kami mengadakan lari maraton sehat yang diikuti oleh seluruh siswa dan siswi  beserta guru-gurunya dan tak tertinggal pula kepala sekolah kami.
Sebelum berangkat, guru olahraga kami memberikan pemanasan terlebih dahulu.
Lari maraton pun dimulai, Aku berada di samping Sofi, tapi tak lama kemudian aku tertinggal jauh darinya. Aku tak mau menyusul karena memang aku telah kelelahan. Di belakang kulihat Kak Tari bersama Lili, mereka  sedang berbicara serius. Entah apa itu, aku nggak mau tahu.
"Hey .,.." Fungli melambaikan tangannya dan tersenyum padaku.
"Dil, kita balapan yuk … sampai garis finish." tantangnya padaku.
"Nggak mau!" Jawabku pendek.
"Ada rewardnya, gue traktir kalo lu menang, gimana?” Aku tidak ingin menerima tantangannya. Aku hanya merasa tidak enak dilihat Kak Tari dan Lili. Ku percepat lari secepatnya untuk meninggalkan Fungli sejauh mungkin. Namun, Fungli sanggup menyamakan langkahku. Kukerahkan lagi kemampuan berlari untuk menjauh darinya. Tapi dia tetap bisa menyamai ayunan kakiku.  Jadilah, kami seperti orang yang sedang berlomba lari.
Terbesit rasa malu di hatiku, ia masih berada di sampingku. Hingga akhirnya aku putuskan memperlambat langkah, dengan maksud supaya Fungli meninggalkanku. Tapi ia pun tak mau mendahuluiku,  ia masih menyejajarkan langkahnya denganku.
Aku tidak nyaman jadi pusat perhatian teman-teman yang matanya masih mengekor kami. Akupun menyusun kekuatan maksimal untuk lari secepatnya agar bisa meninggalkan Fungli.
Aku lari dan terus lari, lari tanpa henti dengan kecepatan penuh yang aku bisa. Tak terasa garis finish hampir dekat, bahkan aku pun mampu mengungguli Sofi. Dan ternyata aku dan Fungli orang pertama yang sampai di garis finish.

{ { {

Udara di taman sekolah memang selalu segar untuk dinikmati. Suara azan dari masjid sekolah memecahkan kesunyian. Merobek-robek memori masa laluku. Sofi  beranjak untuk sholat Dzuhur di masjid. Kami  menuju masjid dan ikut menjadi makmum dibelakang imam hingga rakaat yang terakhir. Sofi sangat khusyuk dalam doanya, sedangkan memoriku mengembalikanku lagi pada masa lalu.
Aku melihat sosok Fungli masuk ke masjid. Belum pernah kulihat ia berani masuk ke dalam masjid dan untuk apa ia ke sini?
“Gue ke sini untuk mengucapkan selamat berpisah dan mau kasih penjelasan ke lu.” Mukena putihku belum sempat dibuka.
“Ngejelasin apa?” Aku agak bingung dibuatnya.
“Gue tahu, lu ninggalin pesta perpisahan  karena tadi lu  ngeliat gue cipika-cipiki sama Lili, lu cemburu kan?” Aku mengerutkan kening.
“Gue ma Lili udah putus, trust me! Fungli menipiskan suaranya ketika dilihatnya Sofi menaruh jari telunjuknya di depan bibirnya.
“Nggak penting buat gue tahu!” Jawabku ketus. 
Fungli hanya diam kemudian menelurkan suara lagi.
“Meski lu bukan lagi produk ikon Rohis setelah lulus?”
Aku hanya tersenyum mendengarnya.
“Yah, gue ingin mewujudkan cita-cita dulu dan akan pacaran setelah menikah!” Aku menangkap  rasa kecewa di wajahnya. Kendati aku pun merasakan kesedihan ketika melihat mendung di wajahnya.
Sofi  mengulurkan tangannya untuk menyalamiku, aku sontak kaget. Kesadaranku bangkit  oleh suara Sofi.
“Dari tadi melamun terus, pasti mengingat seseorang, iya kan?” Sofi mengangkat alisnya  menggodaku. 
“Udahlah lupakan Fungli! kamu harus menikah, mengingat umur. Lagipula cita-citamu jadi dokter sudah tercapai. Dokter spesialis jantung, dokter Nurfadillah Azzahra. Nggak banyak di dunia ini dokter muda dan cantik kayak kamu. Lantas apa yang menghambatmu susah dapat jodoh? Aku yakin pasti bejibun yang naksir kamu.Aku hanya membalas dengan senyuman atas pujian dan nasehatnya sambil mengangkat bahu. Selama ini, aku memang nggak pernah pacaran dan tergila-gila pada dua hal yaitu ilmu dan amal.
“Gabung lagi yuk, ke teman-teman yang lain.” Ajak Sofi. 
Mrs. Filomona, guru idolaku melambaikan tangan dan memelukku erat. Kemudian membawaku ke ruangannya. Sekarang beliau menjabat sebagai kepala sekolah. Tangannya menarik laci kecil mejanya dan mengeluarkan sebuah surat dan memberikannya kepadaku.
“Surat ini dari Fungli yang dititipkan kepada saya lima tahun yang lalu saat reuni pertama.” Aku mengambilnya dengan tangan  gemetar.



“Setelah lulus, Fungli melanjutkan kuliahnya di Singapura, ia sempat pulang lima tahun yang lalu karena papanya meninggal dunia.” Terhentak hatiku dan semakin goyah mendengar berita duka datang dari Fungli. Aku pamit pulang, setelah berbincang-bincang cukup lama.

{ { {

Bismillahirrohmanirrahim,
(Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih dan penyayang).

Dear Nurfadhillah Azzahra,
Pada saat kamu membaca surat ini, Insya Allah aku telah berada di Dubai, Arab Saudi. Setelah papa meninggal, aku bekerja di perusahaan minyak sambil melanjutkan S2.
 Aku telah memeluk Islam, aku mualaf, Dil ….
Cahaya hidayah itu berawal dari kamu  dan cahaya itu tidak pernah redup bahkan semakin terang ketika aku bertemu Hasan, mahasiswa asal Brunei Darussalam yang menjadi sahabat dekatku selama aku menempuh studi di Singapura. Ternyata Islam itu sangat indah, suci dan damai. Aku menemukan ketenangan di dalamnya.
Namun, aku pun tidak tahu surat ini akan sampai kepadamu atau tidak? Aku menggantungkan harapan surat ini akan dibaca olehmu.
aku sangat kecewa di reuni pertama kamu tidak datang. Aku sempat mampir ke rumah kamu. Sayangnya, kamu sedang melanjutkan kuliah kedokteran spesialis jantung di Negeri Kangguru, Australia. Aku bahagia mendengar kamu mendapatkan beasiswa dan bersungguh-sungguh mengejar impianmu.
aku  kangen kamu dan tidak bisa melupakan wajahmu yang bercahaya ketika mengenakan mukena putih di masjid sekolah, waktu itu. Demi Allah, kamu cantik sekali, Dil. Bahkan lebih cantik dari lukisan dewi-dewi yang menggantung di rumahku. Astaghfirullahual’azim barangkali saat ini kamu telah menjadi istri seseorang. Aku mohon email aku ya, agar silaturahim kita tidak putus meski kamu mungkin telah menjadi milik orang lain.  
From : Fungli (muhammadariefli@gmail.com)


Sudah hampir enam bulan surat Fungli kubalas via email. Namun, kabar darinya tak pernah kuterima. Mungkin Fungli bosan menungguku selama sepuluh tahun. Atau mungkin ia telah menikah dengan orang Arab yang sholehah nan cantik. Aku pun telah putus asa berharap balasan suratnya. Ia hanya masa lalu dan akan tetap menjadi masa lalu. Aku tak boleh mengukir namanya lagi di dalam hatiku.
Sepertinya, aku mendengar seseorang memberi salam. Aku pun bergegas menjawabnya dan membuka pintu. Alangkah terperanjatnya aku, Mrs. Filomina datang dengan seseorang yang pernah aku kenal dulu, Fungli. Dengan gugup aku mempersilahkan mereka masuk dan duduk.
“Kok nggak kasih tahu kalau Mrs. Filomina mau datang?” Tanyaku.
“Surprise!” Ibu membawa Fungli alias Muhammad Arif  Li.” Jantungku semakin mau copot, menahan denyutnya yang begitu kencang kurasakan. Perasaanku beraduk-aduk tak karuan, antara senang dan grogi. Tak banyak yang berubah, ia masih tetap tampan seperti dulu namun, kini wajahnya yang putih tampak sangat bersinar.
“Maaf  yah,
aku agak lama datang. Begitu dapat kabar dari tanteku Mrs. Filomina tentang kamu dan setelah menerima  emailmu, aku segera mengurus surat pemutusan kontrak kerja di Dubai. Dan melamar di perusahaan minyak di Kepulauan Riau. Agar aku tidak menjadi pengangguran untuk menafkahkan keluargaku nanti”  jelasnya kepadaku dengan bahagia. Dan aku juga baru tahu sekarang, ternyata Mrs. Filomina adalah adik kandung ayahnya Fungli.
Would you marry with me?” Pintanya padaku.
Why you ask me to marry with you?” Aku ingin tahu alasannya, aku tak ingin ia terjebak jauh dalam obsesi masa lalunya seperti aku, maybe!
Cause you are my first and endless love.” Jawabnya yang membuatku sangat bingung.
You are lier! How about Lili?” Aku masih ingat kisah cinta mereka di lapangan basket.
“Aku pacaran sama Lili hanya karena ikut trend. Masa sih kapten basket dan ketua OSIS tidak punya pacar? Aku malu di ledek teman-teman apalagi banyak cewek yang nembak. Demi Allah, aku tak pernah melakukan aktifitas pacaran yang agresif!” Keterangannya terlihat  begitu sangat jujur.
“Idihnorak abis! Pacaran kok biar kelihatan gaya gitu!”,Tawa kami pecah mencairkan suasana.
“Aku jatuh cinta padamu karena keistiqomahanmu dalam menjalankan agama Allah dengan baik. I ask you last one, Wouldy you marry with me?” Tanyanya lagi dengan lebih serius.
Aku mengangguk pelan, malu dan bercampur bahagia.
Alhamdulillah. Fungli dengan fasih mengucap syukur, begitu pula denganku. Buah kesabaran dan keistiqomahan itu sangat indah. Jika memang jodoh telah berpihak kepadaku dan Fungli, mengapa harus melewati lorong maksiat? Jodoh akan menemukan caranya sendiri dengan indah dan misterius. Meski samudera memisahkan benua atau kepercayaan menjadi sekat. Dengan campur tangan Allah, semuanya tak berarti apapun.
Cinta bukanlah alasan untuk menghalalkan kita pacaran.

Ya … cinta …