Sabtu, 14 Maret 2015

First ‘n Endless Love

By : Aghoesthine







Senyum Pak Rahmat masih sama, tetap seramah dulu ketika menyambut kedatanganku. Hanya saja, kini tubuhnya lebih kurus dan keriput di wajahnya terlukis jelas di usianya yang senja. Bersusah payah aku memarkir mobil sebelum dibantu olehnya. Tak banyak yang berubah, tata letaknya pun tetap seperti dulu, hanya saja warna cat gedung lebih cerah, berwarna orange terang dan menyala. Beberapa teman dan para guru telah terlebih dahulu datang, saling sapa dan bersalaman. Mataku menyempatkan diri untuk membaca spanduk besar yang berada tepat di hadapanku.

Selamat datang para Alumni Angkatan 2000 SMU Teladan Nusa Bangsa Unggulan

Aku menyapa beberapa orang yang masih dikenal. Begitu pula dengan para guru yang masih sangat kuingat. Beberapa guru yang telah mendidik kami kala itu, masih terlihat membaktikan dirinya untuk sekolah ini, meski kini uban telah memberikan isyarat kepada mereka bahwa mereka pernah menjadi bagian penting bagi pendidikan kami, sepuluh tahun yang lalu. Namun banyak pula yang tidak terlihat lagi, karena telah pensiun atau meninggal dunia. Termasuk kepala sekolah kami yang telah tutup usia.
Hampir seluruh temanku membawa pasangannya dan anak-anak mereka untuk diperkenalkan. Aku hanya menumpang kebahagiaan melihatnya.
“Dilkamu Dilla kan? Dokter Dilla!” Aku mengerutkan kening mengingat siapa yang berdiri di hadapanku.
“Sofi.” Teriakku girang.  Kami saling berpelukkan lama hingga melupakan orang-orang yang ada di sekitar.
“Dilaku kangen kamu.” Sofi enggan melepaskan rangkulannya, begitu pula denganku.
“Kenalkan, ini suamikuHendra.” Seorang lelaki sedang menggendong anak berumur lima tahun. Sofi menikah tujuh tahun yang lalu dan dianugerahkan seorang putra yang begitu tampan. Keinginan Sofi untuk menikah muda terwujud, setelah menyelesaikan D3 komputer Akuntansi, Sofi pun langsung memutuskan untuk menikah.
“Bernostalgia, yuk ….” Sofi menarikku untuk diam-diam meninggalkan acara resmi reunian setelah sang suami pamit pulang karena putranya agak rewel bila ikut acara ini. Beruntung  Sofi dapat izin untuk tetap tinggal.
Tak banyak yang berubah, lapangan basket masih sama. Aku seperti melihat beberapa siswa sedang bermain basket dengan penuh energik. Kenanganku di masa lalu seolah terputar kembali.
Kaptennya bermata sipit. Aku sangat mengenalinya, ia tampak seperti pahlawan tim. Ia bermain sangat baik, mampu memasukkan bola ke keranjang basket dengan cekatan. Namanya Fungli, ketua OSIS dan kapten basket yang menjadi idola para cewek di sekolah ini.
Fungli beristirahat sejenak, seorang siswi cantik menghampirinya. Memberikan sebotol air mineral padanya sambil mengelapkan keringat yang bertaburan di kening dengan handuk kecil yang dibawanya. Fungli terlihat bahagia kemudian melanjutkan latihan basketnya. Saat itu, hatiku terkoyak-koyak melihat keintiman mereka dan diam-diam aku meninggalkan lapangan basket dengan perasaan yang bercampur aduk.
 “Heyingat nggak kalo kita pernah bertengkar di lapangan basket ini?” Sofi menepuk punggungku dan membuyarkan lamunanku. Ia berdiri tepat di posisi yang sama, sepuluh tahun yang lalu. Aku tersenyum  mengenang saat itu. Entahlah, tiba-tiba jarum jam seperti berputar berbalik arah dengan sangat cepat hingga membawaku  kembali ke masa itu.
“Yahgue suka ma dia, puas!” Sedih mendengarnya, sahabat sendiri mengkhianatiku.
“Kalo emang lu suka ma dia, kenapa juga lu mendukung hubungan kami di saat yang lain menentangnya. Lu pagar makan tanaman, gak setia kawan! Lu gue end.” aku pergi meninggalkan Sofi yang masih tetap berdiri di lapangan basket sedangkan hujan rintik-rintik memberi kabar akan menyusul hujan yang sangat deras. Namun, Sofi masih mematung sendiri dan membiarkan tubuhnya diguyur hujan deras, sederas airmatanya.

{ { {

 “Temanmu harus ke rumah sakit, sepertinya ini bukan mimisan biasa.” Suster keluar ruangan mencari sesorang yang bisa mengantarkan Sofi ke rumah sakit.
“Fungli, can you help us, please?” Suster memanggil  seseorang yang kebetulan sedang lewat depan ruangan, dan sepertinya sangat mengenalinya.
What can I do for you?” Anak lelaki itu sepertinya anak baru sama seperti aku.
“Temanmu sakit, bisakah kamu mengantarnya ke rumah sakit? Ia mengangguk setuju setelah melihat keadaan Sofi yang tak berdaya. Suster memintaku  untuk ikut  menemaninya.
Dengan cekatan anak lelaki bermata sipit itu memopong Sofi masuk ke dalam mobilnya. Sesampai di rumah sakit, Sofi di bawa ke ruang UGD, tak lama kemudian dipindahkan ke sebuah ruang rawat inap.
Sebelum kembali ke sekolah, Fungli menyarankan untuk mengabarkan keadaan Sofi pada keluarganya. Kami sepakat untuk mencari rumah Sofi. Aku pernah lewat depan gang rumahnya. Tapi tak pernah tahu dengan pasti rumahnya. Fungli memarkirkan mobilnya di depan gang karena gangnya begitu sempit untuk dilalui mobil. Rumah Sofi ada di ujung gang dan dalam keadaan kosong, kami terpaksa meninggalkan pesan kepada tetangga terdekatnya.
 Tanpa sengaja kakiku menginjak batu tajam sehingga  terjerembab, lututku berdarah dan  terkilir hingga sulit untuk berjalan. Fungli berinisiatif untuk menggendongku, aku menolak! Namun,  tubuhnya yang tinggi besar sangat mudah untuk mengangkatku yang  bertubuh mungil. Meski aku sempat meronta, dia dengan kuat bisa menahannya.
“Apa kamu sekalian minta diantar ke rumah sakit?” Tanyanya serius.
“Jangan! Kita balik ke sekolah aja, biar Suster Ana akan mengobatiku.Sungguh saat itu aku sangat malu di gendongnya. Kalau bukan karena keadaan yang sangat darurat, aku tidak akan mau di gendong olehnya.
Sejak pertemuan yang diawali dengan sakitnya Sofi, temanku satu bangku, tak pernah aku melihatnya lagi karena kami beda kelas. Kecuali hari Senin, seringkali ia ditunjuk menjadi pemimpin upacara. Tubuhnya yang tegap mirip potongan tentara dengan suara yang keras lantang, sangat cocok  untuk menjadi pemimpin upacara bendera.
Ketika  duduk di kelas XI, mendadak pertemuan kami menjadi intens. Fungli  terpilih sebagai ketua OSIS, sedangkan aku menjadi ketua Seksi Kebersihan. Setiap rapat OSIS, aku tidak bisa fokus pada diskusi karena mataku tak pernah melepaskan diri darinya. Hingga kadang ia merasa risih dan mulai mengajukan pertanyaan padaku.
 "Punya ide, Dil?  Aku pun mulai kelabakan dan gugup menjawabnya, sedangkan semua rekan-rekan tampaknya menunggu jawaban. Pipiku memerah, menahan malu.
Sudah tiga tahun berturut-turut, sekolah kami menjadi juara pertama lomba kebersihan tingkat Propinsi. Tahun ini, kepala sekolah memintaku untuk mempertahankan piala bergilir itu. Aku mulai agak stress dan terbebani, untunglah Fungli selalu membantuku untuk sosialisasi kebersihan sekolah dan lingkungan sekitarnya. Ia membantu membuat spanduk dan memasangnya di taman sekolah, lapangan basket, halaman depan dan kantin.
Dan ketika tim penilai memeriksa setiap sudut gedung sekolah sampai ke toilet. Kegelisahanku pun terbaca oleh Fungli, ia menepuk pelan kedua pundakku.
 "Tenanglahlu  udah melakukan yang terbaik kok!" Senyumnya di sambut oleh degupan jantungku.
Ketegangan terselesaikan ketika kepala sekolah mengumumkan bahwa sekolah kami bisa mempertahankan gelar 'Sekolah Terbersih dan Terindah'. Dari jauh, di baris depan Fungli tersenyum menatapku, aku pun membalas dengan senyuman penuh bunga-bunga. Dari kejauhan sana pula, aku melihat Kak Tari sedang menangkap rona bahagia milikku.

{ { {

Sofi memukul pundakku, memecahkan lamunanku lagi. Kemudian menyeretku ke kantin yang tak jauh dari lapangan basket. Kantin pun masih seperti yang dulu, hanya para penjualnya yang tak kami kenal lagi.
“Aku masih ingat makanan favoritmu. Kita pesan yuk.” Aku menggangguk setuju. Lidahku bergoyang rindu. Sofi memesan dua mangkok bakso ikan. Di bangku kantin ini pula, Kak Tari, kakak kelasku yang juga menjabat sebagai Ketua Keputrian Rohis,  pernah menasehatiku.
"Kamu aktif di Rohis saja dan mundurlah dari kepengurusan OSIS." Seperti di sambar petir permintaan Kak Tari tidak masuk di akalku. Meski aktif di OSIS tapi aku belum pernah melalaikan kegiatan di Rohis. Aku tak pernah absen mengikuti kajian rutin maupun ketinggalan mengikuti acara keagamaan di hari besar agama Islam.
"Hubungan kamu dengan Fungli mulai jadi pembicaraan teman-teman, anak Rohis harus menjadi teladan yang baik." Aku tak mampu menatap mata bening dan bercahaya miliknya.
"Kita lagi mengangkat topik, 'bahaya pacaran', kamu malah sering berduaan dengan Fungli. Banyak teman-teman kita yang terjebak dalam aktifitas pacaran sehingga prestasi mereka menurun, dan kamu tahu kan? Ada dua teman kamu yang di keluarkan dari sekolah karena hamil. Kakak tidak mau, kamu sebagai anak Rohis terjebak dalam fitnah ini.” Aku mengangkat kepala memberanikan diri untuk membalas tatapannya.
"Aku sama Fungli gak pacaran, Kak!" Aku merasa wajib membela diri, memang kami sering bersama karena sama-sama aktifis OSIS.
"Dil, semua teman  satu sekolah juga tahu kalau kamu suka sama Fungli, mata gak bisa bohong!" Aku tertunduk malu mendengarnya. Memanglah ada rasa aneh yang selalu merayap-rayap perlahan di hati ketika Fungli berada di dekatku.
"Dan penting untuk kamu tahu kalau Fungli non muslim, bahkan ia sudah punya pacar!" Aku tersentak kaget, hati terasa rontok mendengarnya. Meski pun sebenarnya aku telah lama tahu kalau Fungli penganut agama Polytheis.
"Namanya Lili, teman sekelas kakak. Mereka tetangga  dan sama-sama keturunan Cina. Dil … kamu nggak pantas dengannya! Kamu seorang akhwat, berjilbab rapi dan manis. Sedangkan Fungli beda dien dengan kita. Tolong pertimbangkan saran kakak. Aku berusaha dengan kuat menahan  airmataku agar jangan sampai tumpah, setidaknya bukan di depan Kak Tari.
Cukup lama aku mematung, sedangkan Kak Tari dengan penuh sabar masih mencari jawaban di mataku, hingga akhirnya aku mengangguk setuju untuk mundur dari kepengurusan OSIS. Aku berada di Rohis sejak semester pertama, awal tahun aku masuk di sekolah unggulan ini. Dan Kak Tari sangat aku kenal sebagai sosok yang berwibawa. Sulit untukku tidak memenuhi keinginannya yang memang ini semua demi kebaikkanku juga.
Fungli sempat mencari tahu alasan pengunduran diriku. Dan untuk menghindar darinya, aku mengisi waktu istirahat di masjid sekolah dengan membawa makanan kecil dari rumah.
"Kita beda agama, Sof ….” Jelasku ketika Sofi bertanya mengapa aku menolak dekat dengan Fungli lagi.
"Tidak usah di pikirkan, doain sajalah semoga Allah membukakan pintu hidayah dan ia masuk Islam.” Hanya Sofi yang mengerti perasaanku saat itu.
Aku berusaha mengerahkan semua pikiran dan tenaga untuk belajar dan selalu terlibat aktif dalam kegiatan Rohis untuk mengalihkan segala perhatian dari Fungli. Tujuan utama ke sekolah  adalah untuk mewujudkan impianku yang menggantung tinggi di langit.

{ { {

Tak seperti biasa, pelajaran hari ini di mulai dengan pengumuman. Kami menunggu       Mrs. Filomina, guru Bahasa Inggris mengeluarkan suara setelah beliau meminta tenang.
"Sekolah kita akan menjadi tuan rumah untuk Speech Contest English.” Kelas ramai lagi oleh tepuk tangan gembira.
"Apakah kalian punya kandidat yang akan mewakili kelas untuk berkompetisi lokal dan dua winner, putra dan putri akan mewakili sekolah kita." Kelas menjadi sunyi. Tiba-tiba semua mata mengarahkan pandangannya padaku.
 "Dilla!" Suara ketua kelas memecah kesunyian kelas.
"Setuju …." Teman yang lain ikut mengangguk, termasuk Sofi yang paling girang.
“Gue yakin, lu bisa.” Sofi mengangkat jempol kanannya untukku.
Ada tujuh belas siswa dan siswi yang mewakili kelasnya masing-masing untuk seleksi lokal. Seleksi siswa dan siswi di pisah dengan juri yang berbeda pula dengan begitu penyeleksiaan akan efektif. Persaingan sangat ketat karena hadiah pemenangnya akan di ajak jalan-jalan ke Singapura, Brunei dan Malaysia oleh pihak sponsor, yaitu salah satu lembaga kursus bahasa asing yang sangat terkenal se-Jabodetabek.
Hari-hariku kini lebih indah, aku mulai melupakan Fungli. Kompetisi lokal menguras habis otakku yang diisi dengan teks pidato Bahasa Inggris. Kakiku begitu ringan melangkah tanpa beban, gosip tentang kedekatanku dengan Fungli mulai tak terdengar lagi. Aktifitasku sebagai aktifis Rohis pun kujalani dengan ikhlas. Apalagi Kak Tari, sekarang  menjadikan aku ikon sebagai produk kampanyenya 'Without Pacaran Prestasi Oke!'
"Kamu punya prestasi yang baik di sekolah dan juga telah membuktikan bahwa kamu akhwat bersih." Jawab Kak Tari waktu aku tanya mengapa haru aku yang jadi ikon.
Aku bingung dengan kata 'akhwat bersih', apa karena aku dulu pernah menjadi seksi kebersihan di OSIS? Kak Tari tersenyum.
 "Karena gosip tentang kamu dan Fungli tidak terbukti, jadi kamu bisa mencegah fitnah yang menimpa." Aku mengangguk mengerti dan penuh antusias slogan ikon, kukumandangkan, ‘Sekolah tempat belajar bukan tempat pacaran! Tujuannya adalah untuk memerangi penyakit pergaulan bebas yang telah menular ke sekolah kami. Dimana teman-teman telah menjadikan pacaran sebagai hal yang biasa asal jangan sampai hamil atau ketahuan hamil. Penyakit ini sangat merusak masa depan generasi bangsa khususnya untuk para ceweknya.
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba, pengumuman pemenang akan diumumkan langsung oleh kepala sekolah, pada saat upacara bendera selesai. Aku menunggu dengan perasaan berdebar.
"Saya sangat bangga dengan prestasi anak-anak. Setelah kompetisi lokal dilaksanakan,  juri telah memilih satu orang putra dan satu orang putri untuk mewakili sekolah kita yang akan menjadi tuan rumah untuk Speech Contest English. Putra akan diwakili oleh Fungli dan putri diwakili oleh Nurfadillah Azzahra.”
Tepuk tangan meriah dari teman-teman seperti suara petir yang menyambar kepalaku. Ya Allah, mengapa harus dia yang menjadi pasanganku?’ di seberang barisan, aku melihat Kak Tari berdiri menegang. Ucapan selamat datang dari teman-teman untuk memberi dukungan karena kini aku membawa nama sekolah.
Fungli menyempatkan diri menghampiri aku, "Kita akan membuat bangga sekolah." bisiknya padaku. Semua mata memandangi kami. Setelah  mengangguk pelan, aku segera menjauh darinya.
Hari pelaksanaan tersisa seminggu lagi, Mrs Filomina memanggilku dan Fungli untuk latihan bersama, saling mendengar dan mengoreksi control vocal. Memberikan  semangat ketika mulai bosan menghapal. Kami dilarang membawa teks ketika berada di atas podium.
Setiap selesai pulang sekolah, kami exercise setengah jam. Alhasil pertemuanku dengan Fungli tidak dapat dihindari lagi. Pernah waktu  hujan, Fungli menawarkan diri untuk mengantarku. Aku menolak dengan tegas, tapi Mrs. Filomina mendorong tubuhku dalam mobil karena ia sendiri ingin ikut menumpang, kebetulan suaminya menjemput dengan kendaraan roda dua dan dan saat itu tengah menunggu di halte dekat sekolah.
Begitu Mrs. Filomina turun, ia disambut payung dan senyum manis dari sang suami. Fungli melambaikan tangan dan membunyikan klakson tanda pamit. Langit hitam belum bosan menumpahkan air diiringi oleh  suara petir yang menyambar telinga.
"Gue antar lu nyampe depan rumah!" Fungli membenarkan posisi kaca depan dan melihatku di kaca sambil menunggu jawaban.
"Nggak usah, gue turun di ujung jalan. Bukannya lu nanti belok ke kiri?" Aku menunjuk jalan dan berpura-pura tidak melihat matanya yang masih berada  dalam kaca.
"Gue gak bakalan membiarkan lu kehujanan!" Ia keras kepala sama seperti dulu waktu menggendongku, tak bisa ditolak.
"Lu napa  menghindar dari gue?"Tanyanya lagi.
"Gue nggak menghindar dari lu!"Jawabku singkat.
"Mengundurkan diri dari kepengurusan OSIS tanpa penjelasan!" Suaranya mulai menebal.
"Gue mau lebih konsen sama pelajaran.” Jawabku dengan santai.
Fungli menghentikan mobilnya dengan rem mendadak, dan memukuli setir.
"You are lier!" Aku pun menjadi takut, tak pernah kulihat dia begitu marahnya padaku. Aku pun dengan cepat membuka pintu, tapi dia telah menguncinya dengan otomatis.
"Kita beda Fungli!"Aku ingin dia sadar akan perbedaan yang sangat jauh di antara kami. Dia sipit dan putih sedangkan mataku lebar dan berkulit sawo matang. Dan yang paling prinsipil adalah kami beda keyakinan.
Sesaat  ia terdiam, kemudian menjalankan mobilnya. Entah apa yang dipikirkannya.
“Gue suka sama lu dan perbedaan itu tidak ada artinya!”
Hatiku seperti tersambar petir di luar sana setelah menerima pengakuan dadakannya.
"Gue gak mau pacaran!" Aku mulai unjuk taring.
"Karena lu jadi produk ikon kampanye anak Rohis itu kan? Without pacaran, prestasi okey, nonsense ... stupid!!"Bentaknya.
Shut up!!  Turunin gue.Teriakku sekerasnya, gak mau kalah darinya.
“Kenapa sih? Lu gak seperti Sofi yang minta gue jadi pacarnya dengan diam-diam?
What! Sofi?” Sejak awal aku pun sudah curiga kalau ia juga  menyimpan hati untuk Fungli.
"Gue gak ngerti, mengapa agama lu melarang pacaran? Kita kan bisa backstreet?"Hujan belum juga reda, Fungli memberikan pilihan yang berat untukku.
"Fung, aktifitas pacaran itu mendekati perbuatan zina, sedangkan  zina itu termasuk salah satu perbuatan dosa besar dalam agama. Gue juga gak bisa backstreet karena Allah Maha Melihat dan ada dua malaikat yang selalu mengikuti langkah gue.” Aku berharap dia bisa memahaminya dengan cepat karena aku benci sausana ini.
“Gue nggak  ngajak lu yang macam-macam, gue … hanya ingin dekat lu!" Ia menghentikan mobilnya lagi.
"Baiklah, gue nggak maksa lu tuk jadi pacar gue tapi tolong jangan menghindar dan jadikan gue teman lu dalam suka dan duka, Okey?" Wajahnya terlihat sangat tulus, tak tega menolak permintaannya yang sederhana itu. Aku pun  terpaksa mengangguk tanda setuju.

{ { {

Hari yang sibuk untuk sekolah kami. Kursi tersusun dengan rapi, ruang auditorium di hias  bak penyambutan tujuh belasan. Teman-teman dari sekolah lain sudah mulai berdatangan dan mengisi bangku yang telah disediakan.
Kegelisahan mulai menyelinap di hati, sebentar lagi  aku perform. Berbeda dengan Fungli yang kelihatan tenang dengan wajah berseri-seri. Ia menghampiriku dan sangat bisa membaca kegugupanku. Fungli meletakkan kedua tangannya lagi diatas pundakku.
"Lu pasti bisa, kita berdua bakalan jalan-jalan ke luar negeri.” Ia menatapku penuh keyakinan sambil mengembangkan senyumannya.
Jalan-jalan keluar negeri memang impianku, tapi bukan berarti dengannya. Aku pasti mengecewakan Kak Tari dan teman-teman Rohis lainnya yang telah meletakkan kepercayaannya padaku.” Gumamku.
Mata Fungli memancarkan harapan. Hampir satu menit aku di atas podium tanpa suara, Entahlah, seperti ada yang mengganjal. Suara begitu berat kurasa. Fungli memberikan isyarat  untuk mulai sebelum aku kena diskualifikasi.
"Assalamualaikum, good morning everybody, First of all, we would like to praise God for his loving guidance and for the many blessings that he has graciously given to us,  Especially my english teacher for having the patience to support my dream with all your love and care ....”
Aku merasa keringat dingin mengucur ke seluruh badan dan pandanganku pun menjadi kabur. Ya Allah, beri kekuatan, jangan pingsan di sini.” Aku tak mampu mengeluarkan kata-kata lagi dan semuanya menjadi gelap.

{ { {

Hampir saja, aku loncat dari kursi kantin ketika Sofi membanting mangkuk bakso                di depanku dengan kasar, beruntung mangkuk baksonya tidak pecah di atas meja.
Sorrysorry, panas. Nih, bakso ikan kesukaanmu!” Sofi mengipas-ngipas jarinya yang tercepret kuah panas.
“Yang tenang donk, gak berubah dari dulu.” Godaku. Wajahnya memerah namun tetap khusyuk menikmati bakso sambil meniup-niupnya.
Usai makan, kami memilih untuk duduk sejenak di taman belakang sekolah. Tempat paling indah dan paling bersejarah bagi persahabatan kami. Ingatanku begitu kuat hingga dengan jelas, aku bisa melihat peristiwa yang lalu.
"Lu jangan genit sama Fungli!" Lili menatapku penuh amarah.
"Gue nggak ngerti maksud lu?" Tanyaku waktu itu.
"Jangan munafik! Lu kan ikon yang dibangga-banggakan oleh teman Rohis lu. Kenapa pake  pingsan? Biar bisa di gendong doi. Iya?" Aku beranjak dari taman sekolah untuk pergi, Lili menahanku dan mengangkat tangannya dengan cepat, menempelkan telapak tangannya dengan keras di pipiku.
"Sekali lagi lu pake pingsan dan cari perhatiannya, bakalan gue bonyokin lu kayak pecel!" Lili dengan lancang meletakkan tangannya di atas kepalaku. Tiba-tiba tangan Sofi dengan cepat menarik tangan Lili dan menggelintirnya ke belakang.
“Jangan ganggu teman gue!” Bentak Sofi.
“Ampun .…” Lili berteriak mengaduh kesakitan.
“Sekali lagi lu, ganggu teman gue, lu yang bakalan gue bonyokin jadi pecel!” Sofi melepaskan tangan Lili dan ia pun kabur meninggalkan kami.
“Gue minta maaf sama lu karena udah nembak Fung li, please.” Sofi mengulurkan tangannya padaku dengan wajah  memelas.
“Lu gak salah nembak dia, yang gue gak suka kalau lu mendorong gue tuk jadian ma dia. Sementara diam-diam lu suka mah dia. Itu tuh nyakitin gue banget. Seharusnya lu bilang ke gue kalo lu suka ma Fungli. Bukan nembak dia di belakang gue!!” Akhirnya tumpah juga air mataku yang sejak tadi ingin keluar karena menahan rasa sakit di hati dan pipi.
“Yah, gue salah and please maafin gue.” Iba juga melihat wajah Sofi, aku menganggukkan kepala tanda setuju.
“Gue tetap doain lu supaya berjodoh dengan Fungli.” Sofi  memelukku.
"Hey … gue baru lima belas tahun, belum kepikiran untuk nikah … tercapai dulu cita-cita gue, baru nikah!" Jawabku ketus.
"Kalo cita-cita lu gak kesampaian nyampe umur  tiga puluh tahun gimana?" Ledek Sofi.
“Masalah buat lu?” candaku sambil mengulurkan lidah.
“Idih ... gak ketuan segitu? Gue sih abis lulus langsung nikah!” Bangga Sofi.
"Biarin daripada lu genit, he ... he ....” Tawa kami terdengar renyah di taman ini.

{ { {

Sekolah kami mengadakan lari maraton sehat yang diikuti oleh seluruh siswa dan siswi  beserta guru-gurunya dan tak tertinggal pula kepala sekolah kami.
Sebelum berangkat, guru olahraga kami memberikan pemanasan terlebih dahulu.
Lari maraton pun dimulai, Aku berada di samping Sofi, tapi tak lama kemudian aku tertinggal jauh darinya. Aku tak mau menyusul karena memang aku telah kelelahan. Di belakang kulihat Kak Tari bersama Lili, mereka  sedang berbicara serius. Entah apa itu, aku nggak mau tahu.
"Hey .,.." Fungli melambaikan tangannya dan tersenyum padaku.
"Dil, kita balapan yuk … sampai garis finish." tantangnya padaku.
"Nggak mau!" Jawabku pendek.
"Ada rewardnya, gue traktir kalo lu menang, gimana?” Aku tidak ingin menerima tantangannya. Aku hanya merasa tidak enak dilihat Kak Tari dan Lili. Ku percepat lari secepatnya untuk meninggalkan Fungli sejauh mungkin. Namun, Fungli sanggup menyamakan langkahku. Kukerahkan lagi kemampuan berlari untuk menjauh darinya. Tapi dia tetap bisa menyamai ayunan kakiku.  Jadilah, kami seperti orang yang sedang berlomba lari.
Terbesit rasa malu di hatiku, ia masih berada di sampingku. Hingga akhirnya aku putuskan memperlambat langkah, dengan maksud supaya Fungli meninggalkanku. Tapi ia pun tak mau mendahuluiku,  ia masih menyejajarkan langkahnya denganku.
Aku tidak nyaman jadi pusat perhatian teman-teman yang matanya masih mengekor kami. Akupun menyusun kekuatan maksimal untuk lari secepatnya agar bisa meninggalkan Fungli.
Aku lari dan terus lari, lari tanpa henti dengan kecepatan penuh yang aku bisa. Tak terasa garis finish hampir dekat, bahkan aku pun mampu mengungguli Sofi. Dan ternyata aku dan Fungli orang pertama yang sampai di garis finish.

{ { {

Udara di taman sekolah memang selalu segar untuk dinikmati. Suara azan dari masjid sekolah memecahkan kesunyian. Merobek-robek memori masa laluku. Sofi  beranjak untuk sholat Dzuhur di masjid. Kami  menuju masjid dan ikut menjadi makmum dibelakang imam hingga rakaat yang terakhir. Sofi sangat khusyuk dalam doanya, sedangkan memoriku mengembalikanku lagi pada masa lalu.
Aku melihat sosok Fungli masuk ke masjid. Belum pernah kulihat ia berani masuk ke dalam masjid dan untuk apa ia ke sini?
“Gue ke sini untuk mengucapkan selamat berpisah dan mau kasih penjelasan ke lu.” Mukena putihku belum sempat dibuka.
“Ngejelasin apa?” Aku agak bingung dibuatnya.
“Gue tahu, lu ninggalin pesta perpisahan  karena tadi lu  ngeliat gue cipika-cipiki sama Lili, lu cemburu kan?” Aku mengerutkan kening.
“Gue ma Lili udah putus, trust me! Fungli menipiskan suaranya ketika dilihatnya Sofi menaruh jari telunjuknya di depan bibirnya.
“Nggak penting buat gue tahu!” Jawabku ketus. 
Fungli hanya diam kemudian menelurkan suara lagi.
“Meski lu bukan lagi produk ikon Rohis setelah lulus?”
Aku hanya tersenyum mendengarnya.
“Yah, gue ingin mewujudkan cita-cita dulu dan akan pacaran setelah menikah!” Aku menangkap  rasa kecewa di wajahnya. Kendati aku pun merasakan kesedihan ketika melihat mendung di wajahnya.
Sofi  mengulurkan tangannya untuk menyalamiku, aku sontak kaget. Kesadaranku bangkit  oleh suara Sofi.
“Dari tadi melamun terus, pasti mengingat seseorang, iya kan?” Sofi mengangkat alisnya  menggodaku. 
“Udahlah lupakan Fungli! kamu harus menikah, mengingat umur. Lagipula cita-citamu jadi dokter sudah tercapai. Dokter spesialis jantung, dokter Nurfadillah Azzahra. Nggak banyak di dunia ini dokter muda dan cantik kayak kamu. Lantas apa yang menghambatmu susah dapat jodoh? Aku yakin pasti bejibun yang naksir kamu.Aku hanya membalas dengan senyuman atas pujian dan nasehatnya sambil mengangkat bahu. Selama ini, aku memang nggak pernah pacaran dan tergila-gila pada dua hal yaitu ilmu dan amal.
“Gabung lagi yuk, ke teman-teman yang lain.” Ajak Sofi. 
Mrs. Filomona, guru idolaku melambaikan tangan dan memelukku erat. Kemudian membawaku ke ruangannya. Sekarang beliau menjabat sebagai kepala sekolah. Tangannya menarik laci kecil mejanya dan mengeluarkan sebuah surat dan memberikannya kepadaku.
“Surat ini dari Fungli yang dititipkan kepada saya lima tahun yang lalu saat reuni pertama.” Aku mengambilnya dengan tangan  gemetar.



“Setelah lulus, Fungli melanjutkan kuliahnya di Singapura, ia sempat pulang lima tahun yang lalu karena papanya meninggal dunia.” Terhentak hatiku dan semakin goyah mendengar berita duka datang dari Fungli. Aku pamit pulang, setelah berbincang-bincang cukup lama.

{ { {

Bismillahirrohmanirrahim,
(Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih dan penyayang).

Dear Nurfadhillah Azzahra,
Pada saat kamu membaca surat ini, Insya Allah aku telah berada di Dubai, Arab Saudi. Setelah papa meninggal, aku bekerja di perusahaan minyak sambil melanjutkan S2.
 Aku telah memeluk Islam, aku mualaf, Dil ….
Cahaya hidayah itu berawal dari kamu  dan cahaya itu tidak pernah redup bahkan semakin terang ketika aku bertemu Hasan, mahasiswa asal Brunei Darussalam yang menjadi sahabat dekatku selama aku menempuh studi di Singapura. Ternyata Islam itu sangat indah, suci dan damai. Aku menemukan ketenangan di dalamnya.
Namun, aku pun tidak tahu surat ini akan sampai kepadamu atau tidak? Aku menggantungkan harapan surat ini akan dibaca olehmu.
aku sangat kecewa di reuni pertama kamu tidak datang. Aku sempat mampir ke rumah kamu. Sayangnya, kamu sedang melanjutkan kuliah kedokteran spesialis jantung di Negeri Kangguru, Australia. Aku bahagia mendengar kamu mendapatkan beasiswa dan bersungguh-sungguh mengejar impianmu.
aku  kangen kamu dan tidak bisa melupakan wajahmu yang bercahaya ketika mengenakan mukena putih di masjid sekolah, waktu itu. Demi Allah, kamu cantik sekali, Dil. Bahkan lebih cantik dari lukisan dewi-dewi yang menggantung di rumahku. Astaghfirullahual’azim barangkali saat ini kamu telah menjadi istri seseorang. Aku mohon email aku ya, agar silaturahim kita tidak putus meski kamu mungkin telah menjadi milik orang lain.  
From : Fungli (muhammadariefli@gmail.com)


Sudah hampir enam bulan surat Fungli kubalas via email. Namun, kabar darinya tak pernah kuterima. Mungkin Fungli bosan menungguku selama sepuluh tahun. Atau mungkin ia telah menikah dengan orang Arab yang sholehah nan cantik. Aku pun telah putus asa berharap balasan suratnya. Ia hanya masa lalu dan akan tetap menjadi masa lalu. Aku tak boleh mengukir namanya lagi di dalam hatiku.
Sepertinya, aku mendengar seseorang memberi salam. Aku pun bergegas menjawabnya dan membuka pintu. Alangkah terperanjatnya aku, Mrs. Filomina datang dengan seseorang yang pernah aku kenal dulu, Fungli. Dengan gugup aku mempersilahkan mereka masuk dan duduk.
“Kok nggak kasih tahu kalau Mrs. Filomina mau datang?” Tanyaku.
“Surprise!” Ibu membawa Fungli alias Muhammad Arif  Li.” Jantungku semakin mau copot, menahan denyutnya yang begitu kencang kurasakan. Perasaanku beraduk-aduk tak karuan, antara senang dan grogi. Tak banyak yang berubah, ia masih tetap tampan seperti dulu namun, kini wajahnya yang putih tampak sangat bersinar.
“Maaf  yah,
aku agak lama datang. Begitu dapat kabar dari tanteku Mrs. Filomina tentang kamu dan setelah menerima  emailmu, aku segera mengurus surat pemutusan kontrak kerja di Dubai. Dan melamar di perusahaan minyak di Kepulauan Riau. Agar aku tidak menjadi pengangguran untuk menafkahkan keluargaku nanti”  jelasnya kepadaku dengan bahagia. Dan aku juga baru tahu sekarang, ternyata Mrs. Filomina adalah adik kandung ayahnya Fungli.
Would you marry with me?” Pintanya padaku.
Why you ask me to marry with you?” Aku ingin tahu alasannya, aku tak ingin ia terjebak jauh dalam obsesi masa lalunya seperti aku, maybe!
Cause you are my first and endless love.” Jawabnya yang membuatku sangat bingung.
You are lier! How about Lili?” Aku masih ingat kisah cinta mereka di lapangan basket.
“Aku pacaran sama Lili hanya karena ikut trend. Masa sih kapten basket dan ketua OSIS tidak punya pacar? Aku malu di ledek teman-teman apalagi banyak cewek yang nembak. Demi Allah, aku tak pernah melakukan aktifitas pacaran yang agresif!” Keterangannya terlihat  begitu sangat jujur.
“Idihnorak abis! Pacaran kok biar kelihatan gaya gitu!”,Tawa kami pecah mencairkan suasana.
“Aku jatuh cinta padamu karena keistiqomahanmu dalam menjalankan agama Allah dengan baik. I ask you last one, Wouldy you marry with me?” Tanyanya lagi dengan lebih serius.
Aku mengangguk pelan, malu dan bercampur bahagia.
Alhamdulillah. Fungli dengan fasih mengucap syukur, begitu pula denganku. Buah kesabaran dan keistiqomahan itu sangat indah. Jika memang jodoh telah berpihak kepadaku dan Fungli, mengapa harus melewati lorong maksiat? Jodoh akan menemukan caranya sendiri dengan indah dan misterius. Meski samudera memisahkan benua atau kepercayaan menjadi sekat. Dengan campur tangan Allah, semuanya tak berarti apapun.
Cinta bukanlah alasan untuk menghalalkan kita pacaran.

Ya … cinta …

Tidak ada komentar:

Posting Komentar