Senyum Pak
Rahmat masih sama, tetap seramah
dulu ketika menyambut kedatanganku. Hanya saja, kini
tubuhnya lebih kurus dan keriput di wajahnya
terlukis jelas di usianya yang senja. Bersusah payah aku memarkir mobil sebelum dibantu olehnya.
Tak banyak yang berubah, tata letaknya pun tetap seperti dulu, hanya saja warna
cat gedung lebih cerah, berwarna orange terang dan menyala. Beberapa teman dan
para guru telah terlebih dahulu datang, saling sapa dan bersalaman. Mataku
menyempatkan diri untuk membaca spanduk besar yang berada tepat di hadapanku.
“Selamat datang para Alumni Angkatan 2000 SMU Teladan Nusa Bangsa Unggulan”
Aku menyapa beberapa orang yang masih dikenal. Begitu pula
dengan para guru yang masih sangat kuingat. Beberapa guru yang telah mendidik kami kala itu,
masih terlihat
membaktikan dirinya untuk sekolah ini, meski kini uban telah memberikan isyarat kepada mereka bahwa mereka pernah menjadi bagian
penting bagi pendidikan kami, sepuluh tahun yang lalu. Namun banyak pula yang
tidak terlihat lagi, karena telah pensiun atau meninggal dunia. Termasuk kepala
sekolah kami yang telah tutup usia.
Hampir seluruh temanku membawa pasangannya dan
anak-anak mereka untuk diperkenalkan. Aku hanya menumpang kebahagiaan
melihatnya.
“Dil … kamu
Dilla kan? Dokter Dilla!” Aku
mengerutkan kening mengingat siapa yang berdiri di hadapanku.
“Sofi.” Teriakku
girang. Kami saling berpelukkan lama hingga melupakan
orang-orang yang ada di sekitar.
“Dil … aku
kangen kamu.” Sofi enggan melepaskan rangkulannya, begitu pula
denganku.
“Kenalkan, ini suamiku … Hendra.”
Seorang lelaki sedang menggendong anak berumur lima tahun. Sofi menikah tujuh
tahun yang lalu dan dianugerahkan seorang putra yang begitu tampan. Keinginan
Sofi untuk menikah muda terwujud, setelah menyelesaikan D3 komputer Akuntansi, Sofi pun
langsung memutuskan untuk menikah.
“Bernostalgia, yuk ….”
Sofi menarikku untuk diam-diam meninggalkan acara resmi reunian setelah sang suami
pamit pulang karena putranya agak rewel bila ikut acara ini. Beruntung Sofi dapat
izin untuk tetap tinggal.
Tak banyak yang berubah, lapangan basket masih
sama. Aku seperti melihat beberapa siswa sedang bermain basket dengan penuh
energik. Kenanganku
di masa lalu seolah terputar kembali.
Kaptennya bermata sipit. Aku sangat mengenalinya,
ia tampak seperti pahlawan tim. Ia bermain sangat baik, mampu memasukkan bola ke keranjang basket dengan
cekatan. Namanya Fungli, ketua OSIS dan kapten basket yang menjadi idola para
cewek di sekolah ini.
Fungli beristirahat sejenak, seorang siswi cantik
menghampirinya. Memberikan sebotol air mineral padanya sambil mengelapkan
keringat yang bertaburan di kening
dengan handuk kecil yang dibawanya. Fungli terlihat bahagia kemudian
melanjutkan latihan basketnya. Saat itu, hatiku terkoyak-koyak melihat
keintiman mereka dan diam-diam aku meninggalkan lapangan basket dengan perasaan
yang bercampur aduk.
“Hey … ingat nggak kalo kita pernah bertengkar di
lapangan basket ini?” Sofi menepuk
punggungku dan membuyarkan lamunanku. Ia berdiri tepat di posisi yang sama,
sepuluh tahun yang lalu. Aku tersenyum
mengenang saat itu. Entahlah,
tiba-tiba jarum jam seperti berputar berbalik
arah dengan sangat cepat hingga membawaku kembali ke masa itu.
“Yah … gue
suka ma dia, puas!” Sedih mendengarnya, sahabat sendiri mengkhianatiku.
“Kalo
emang lu suka ma dia, kenapa juga lu mendukung hubungan kami di saat yang lain menentangnya.
Lu pagar makan tanaman, gak setia kawan! Lu gue end.” aku pergi meninggalkan Sofi yang masih tetap
berdiri di lapangan basket sedangkan hujan rintik-rintik memberi kabar akan
menyusul hujan yang sangat deras. Namun,
Sofi masih mematung sendiri dan membiarkan tubuhnya diguyur hujan deras,
sederas airmatanya.
{ { {
“Temanmu
harus ke rumah sakit, sepertinya ini bukan mimisan biasa.” Suster keluar ruangan mencari sesorang yang bisa
mengantarkan Sofi ke rumah sakit.
“Fungli, can you help us, please?” Suster memanggil
seseorang yang kebetulan sedang lewat depan ruangan, dan sepertinya
sangat mengenalinya.
“What can I do for you?” Anak lelaki itu sepertinya anak baru sama seperti aku.
“Temanmu sakit, bisakah kamu mengantarnya ke rumah
sakit? Ia mengangguk setuju setelah melihat keadaan Sofi
yang tak berdaya. Suster memintaku untuk
ikut menemaninya.
Dengan cekatan anak lelaki bermata sipit itu
memopong Sofi masuk ke dalam mobilnya. Sesampai di rumah sakit, Sofi di bawa ke ruang UGD, tak lama kemudian dipindahkan ke sebuah ruang rawat inap.
Sebelum kembali ke
sekolah, Fungli menyarankan untuk mengabarkan keadaan Sofi pada keluarganya.
Kami sepakat untuk mencari rumah Sofi. Aku pernah lewat depan gang rumahnya.
Tapi tak pernah tahu dengan pasti rumahnya. Fungli memarkirkan mobilnya di depan gang karena gangnya begitu sempit untuk
dilalui mobil. Rumah Sofi ada di ujung
gang dan dalam keadaan kosong, kami terpaksa meninggalkan pesan kepada tetangga
terdekatnya.
Tanpa
sengaja kakiku menginjak batu tajam sehingga
terjerembab, lututku berdarah dan
terkilir hingga sulit untuk berjalan. Fungli berinisiatif untuk
menggendongku, aku menolak! Namun, tubuhnya
yang tinggi besar sangat mudah untuk mengangkatku yang bertubuh mungil. Meski aku sempat meronta, dia dengan kuat bisa menahannya.
“Apa kamu sekalian minta diantar ke rumah sakit?” Tanyanya serius.
“Jangan! Kita
balik ke sekolah aja, biar Suster Ana akan
mengobatiku.” Sungguh saat itu
aku sangat malu di gendongnya. Kalau bukan karena keadaan yang sangat darurat, aku tidak akan mau di
gendong olehnya.
Sejak pertemuan yang diawali dengan sakitnya Sofi,
temanku satu bangku, tak pernah aku
melihatnya lagi karena kami beda kelas. Kecuali hari Senin, seringkali ia ditunjuk menjadi pemimpin
upacara. Tubuhnya yang tegap mirip potongan tentara dengan suara yang keras
lantang, sangat cocok
untuk menjadi pemimpin upacara bendera.
Ketika
duduk di kelas XI, mendadak
pertemuan kami menjadi intens. Fungli
terpilih sebagai ketua OSIS, sedangkan aku menjadi ketua Seksi Kebersihan.
Setiap rapat OSIS, aku tidak bisa fokus pada diskusi karena mataku tak pernah
melepaskan diri darinya. Hingga kadang ia merasa risih dan mulai mengajukan
pertanyaan padaku.
"Punya
ide, Dil?” Aku pun mulai kelabakan dan gugup menjawabnya, sedangkan semua rekan-rekan tampaknya menunggu jawaban. Pipiku memerah, menahan malu.
Sudah tiga tahun berturut-turut, sekolah kami
menjadi juara pertama lomba kebersihan tingkat Propinsi.
Tahun ini, kepala sekolah memintaku untuk mempertahankan
piala bergilir itu. Aku mulai agak stress dan terbebani, untunglah Fungli
selalu membantuku untuk sosialisasi kebersihan sekolah dan lingkungan
sekitarnya. Ia membantu membuat spanduk dan memasangnya di taman sekolah, lapangan basket, halaman
depan dan kantin.
Dan ketika tim penilai memeriksa setiap sudut
gedung sekolah sampai ke toilet. Kegelisahanku pun terbaca oleh Fungli, ia
menepuk pelan kedua pundakku.
"Tenanglah … lu udah melakukan yang terbaik kok!" Senyumnya di sambut oleh degupan
jantungku.
Ketegangan
terselesaikan ketika kepala sekolah mengumumkan bahwa sekolah kami bisa
mempertahankan gelar 'Sekolah Terbersih dan Terindah'. Dari jauh, di baris depan Fungli tersenyum menatapku, aku pun membalas dengan senyuman penuh bunga-bunga. Dari kejauhan sana pula, aku
melihat Kak Tari sedang menangkap rona bahagia milikku.
{ { {
Sofi memukul pundakku, memecahkan lamunanku lagi.
Kemudian menyeretku ke kantin yang tak jauh dari lapangan basket. Kantin pun masih seperti yang dulu, hanya para penjualnya
yang tak kami kenal lagi.
“Aku masih ingat makanan favoritmu. Kita pesan yuk.” Aku menggangguk setuju. Lidahku bergoyang rindu. Sofi memesan dua mangkok bakso ikan. Di bangku kantin ini pula, Kak Tari, kakak kelasku yang juga menjabat sebagai Ketua Keputrian Rohis, pernah
menasehatiku.
"Kamu
aktif di Rohis saja dan mundurlah dari kepengurusan OSIS." Seperti
di sambar petir
permintaan Kak Tari tidak masuk di akalku. Meski aktif di OSIS tapi aku belum pernah
melalaikan kegiatan di Rohis. Aku tak
pernah absen mengikuti kajian rutin maupun ketinggalan mengikuti acara
keagamaan di hari besar
agama Islam.
"Hubungan kamu dengan Fungli mulai jadi
pembicaraan teman-teman, anak Rohis harus
menjadi teladan yang baik." Aku tak mampu menatap mata bening dan
bercahaya miliknya.
"Kita lagi mengangkat topik, 'bahaya
pacaran', kamu malah sering berduaan
dengan Fungli. Banyak teman-teman kita yang terjebak dalam aktifitas pacaran
sehingga prestasi mereka menurun, dan kamu tahu kan? Ada
dua teman kamu yang di keluarkan dari
sekolah karena hamil. Kakak tidak mau, kamu sebagai anak Rohis terjebak dalam fitnah ini.” Aku mengangkat
kepala memberanikan diri untuk membalas tatapannya.
"Aku
sama Fungli gak pacaran, Kak!" Aku merasa wajib membela diri, memang kami sering bersama
karena sama-sama aktifis OSIS.
"Dil, semua
teman satu sekolah juga tahu kalau kamu suka sama
Fungli, mata gak bisa bohong!" Aku tertunduk malu mendengarnya. Memanglah ada rasa aneh yang selalu merayap-rayap
perlahan di hati ketika
Fungli berada di dekatku.
"Dan penting untuk kamu tahu kalau Fungli non muslim, bahkan ia sudah
punya pacar!" Aku tersentak kaget, hati terasa rontok mendengarnya. Meski pun sebenarnya aku telah lama tahu kalau Fungli
penganut agama Polytheis.
"Namanya Lili, teman sekelas kakak. Mereka
tetangga dan sama-sama keturunan Cina.
Dil … kamu nggak pantas dengannya! Kamu seorang akhwat, berjilbab rapi dan manis.
Sedangkan Fungli beda dien dengan kita. Tolong pertimbangkan saran kakak.” Aku berusaha dengan kuat menahan
airmataku agar jangan sampai
tumpah, setidaknya bukan di depan Kak
Tari.
Cukup lama aku
mematung, sedangkan Kak Tari dengan penuh sabar masih mencari jawaban di
mataku, hingga akhirnya aku mengangguk setuju untuk mundur dari kepengurusan OSIS.
Aku berada di Rohis sejak semester pertama, awal tahun
aku
masuk di sekolah unggulan ini. Dan Kak Tari sangat aku
kenal sebagai sosok yang berwibawa. Sulit untukku tidak memenuhi keinginannya
yang memang
ini semua demi kebaikkanku juga.
Fungli sempat mencari
tahu alasan pengunduran diriku. Dan untuk menghindar darinya, aku mengisi waktu
istirahat di masjid sekolah dengan membawa makanan kecil dari rumah.
"Kita beda agama,
Sof
….” Jelasku ketika Sofi bertanya mengapa aku menolak dekat dengan Fungli lagi.
"Tidak usah di
pikirkan, doain sajalah
semoga Allah membukakan pintu hidayah dan ia masuk Islam.”
Hanya Sofi yang
mengerti perasaanku saat itu.
Aku berusaha mengerahkan semua pikiran dan tenaga
untuk belajar dan selalu terlibat aktif dalam kegiatan Rohis untuk mengalihkan segala perhatian dari
Fungli. Tujuan utama ke sekolah adalah
untuk mewujudkan impianku yang menggantung tinggi di langit.
{ { {
Tak seperti biasa,
pelajaran hari ini di mulai dengan pengumuman. Kami menunggu Mrs. Filomina, guru Bahasa Inggris mengeluarkan suara setelah beliau
meminta tenang.
"Sekolah kita akan menjadi tuan rumah untuk
Speech Contest English.” Kelas ramai lagi
oleh tepuk tangan gembira.
"Apakah kalian punya kandidat yang akan
mewakili kelas untuk berkompetisi lokal dan dua winner, putra dan putri
akan mewakili sekolah kita." Kelas menjadi sunyi. Tiba-tiba
semua mata mengarahkan pandangannya
padaku.
"Dilla!" Suara ketua kelas memecah kesunyian kelas.
"Setuju …."
Teman yang lain ikut mengangguk, termasuk Sofi yang paling girang.
“Gue yakin, lu bisa.”
Sofi mengangkat jempol kanannya untukku.
Ada tujuh belas siswa dan siswi yang mewakili
kelasnya masing-masing untuk seleksi lokal. Seleksi siswa dan siswi di pisah dengan juri yang berbeda pula dengan begitu
penyeleksiaan akan efektif. Persaingan sangat ketat karena hadiah pemenangnya
akan di ajak jalan-jalan
ke Singapura, Brunei dan Malaysia
oleh pihak sponsor, yaitu salah satu lembaga kursus
bahasa asing yang sangat terkenal se-Jabodetabek.
Hari-hariku kini lebih indah, aku mulai melupakan
Fungli. Kompetisi lokal menguras habis otakku yang diisi dengan teks pidato Bahasa
Inggris. Kakiku begitu ringan melangkah tanpa beban, gosip tentang kedekatanku
dengan Fungli mulai tak terdengar lagi. Aktifitasku sebagai aktifis Rohis pun kujalani dengan ikhlas. Apalagi Kak Tari,
sekarang menjadikan aku ikon sebagai
produk kampanyenya 'Without Pacaran
Prestasi Oke!'
"Kamu
punya prestasi yang baik di sekolah dan juga telah membuktikan bahwa kamu akhwat bersih."
Jawab Kak Tari waktu aku tanya mengapa haru aku yang jadi ikon.
Aku bingung dengan kata 'akhwat bersih', apa
karena aku dulu pernah menjadi seksi kebersihan di OSIS? Kak Tari tersenyum.
"Karena gosip tentang kamu dan Fungli tidak terbukti, jadi kamu bisa mencegah fitnah yang menimpa."
Aku mengangguk mengerti dan penuh antusias slogan ikon, kukumandangkan, ‘Sekolah tempat belajar bukan
tempat pacaran!’ Tujuannya adalah
untuk memerangi penyakit pergaulan bebas yang telah menular ke sekolah kami.
Dimana teman-teman telah menjadikan pacaran sebagai hal yang biasa asal jangan
sampai hamil atau ketahuan hamil. Penyakit ini sangat
merusak masa depan generasi bangsa khususnya
untuk para ceweknya.
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba, pengumuman pemenang akan diumumkan
langsung oleh kepala sekolah, pada saat
upacara bendera selesai. Aku menunggu dengan perasaan berdebar.
"Saya sangat bangga dengan prestasi
anak-anak. Setelah kompetisi lokal dilaksanakan, juri telah memilih satu orang putra dan satu
orang putri untuk mewakili sekolah kita yang akan menjadi tuan rumah untuk Speech
Contest English. Putra akan diwakili oleh Fungli dan putri diwakili oleh
Nurfadillah Azzahra.”
Tepuk tangan meriah dari teman-teman seperti suara
petir yang menyambar kepalaku. ‘Ya
Allah, mengapa harus dia yang menjadi pasanganku?’ di seberang
barisan, aku melihat Kak Tari berdiri
menegang. Ucapan selamat datang dari teman-teman untuk memberi dukungan karena
kini aku membawa nama sekolah.
Fungli menyempatkan diri menghampiri aku,
"Kita akan membuat bangga sekolah."
bisiknya padaku. Semua mata
memandangi kami. Setelah mengangguk
pelan, aku segera menjauh darinya.
Hari pelaksanaan tersisa seminggu lagi, Mrs Filomina
memanggilku dan Fungli untuk latihan bersama, saling mendengar dan mengoreksi control vocal.
Memberikan semangat ketika mulai bosan
menghapal. Kami dilarang membawa teks ketika berada di atas podium.
Setiap selesai pulang sekolah, kami exercise
setengah jam. Alhasil pertemuanku dengan Fungli tidak dapat dihindari lagi. Pernah waktu hujan, Fungli menawarkan diri untuk mengantarku. Aku menolak dengan tegas, tapi Mrs. Filomina mendorong tubuhku dalam mobil
karena ia sendiri ingin ikut menumpang, kebetulan suaminya menjemput dengan kendaraan roda dua dan dan saat itu tengah menunggu di halte dekat sekolah.
Begitu Mrs. Filomina turun, ia
disambut payung dan senyum manis dari sang suami. Fungli melambaikan tangan dan
membunyikan klakson tanda pamit. Langit hitam belum bosan menumpahkan air
diiringi oleh suara petir yang menyambar telinga.
"Gue antar lu nyampe depan rumah!"
Fungli membenarkan posisi kaca depan dan melihatku di kaca sambil menunggu jawaban.
"Nggak usah, gue turun di ujung jalan.
Bukannya lu nanti belok ke kiri?" Aku
menunjuk jalan dan berpura-pura tidak melihat matanya yang masih berada dalam kaca.
"Gue gak bakalan membiarkan lu
kehujanan!" Ia keras kepala sama seperti dulu waktu menggendongku, tak
bisa ditolak.
"Lu napa
menghindar dari gue?"Tanyanya
lagi.
"Gue nggak
menghindar dari lu!"Jawabku
singkat.
"Mengundurkan diri dari kepengurusan OSIS
tanpa penjelasan!" Suaranya mulai menebal.
"Gue mau
lebih konsen sama pelajaran.” Jawabku dengan santai.
Fungli menghentikan mobilnya dengan rem mendadak,
dan memukuli setir.
"You are lier!" Aku pun menjadi takut, tak pernah kulihat dia begitu
marahnya padaku. Aku pun dengan
cepat membuka pintu, tapi dia telah
menguncinya dengan otomatis.
"Kita beda Fungli!"Aku ingin dia sadar
akan perbedaan yang sangat jauh di antara
kami. Dia sipit dan putih sedangkan mataku lebar dan berkulit sawo matang. Dan
yang paling prinsipil adalah kami beda keyakinan.
Sesaat ia
terdiam, kemudian menjalankan mobilnya. Entah apa yang
dipikirkannya.
“Gue suka sama lu dan perbedaan itu tidak ada
artinya!”
Hatiku seperti tersambar petir di luar sana
setelah menerima pengakuan dadakannya.
"Gue gak mau pacaran!" Aku mulai unjuk
taring.
"Karena lu jadi produk ikon kampanye anak Rohis itu kan? Without pacaran, prestasi okey, nonsense ... stupid!!"Bentaknya.
“Shut up!!
Turunin gue.” Teriakku sekerasnya,
gak mau kalah darinya.
“Kenapa sih? Lu gak seperti Sofi yang minta gue jadi pacarnya
dengan diam-diam?”
“What! Sofi?” Sejak awal aku pun sudah curiga kalau ia juga menyimpan hati untuk Fungli.
"Gue gak ngerti, mengapa agama lu melarang
pacaran? Kita kan
bisa backstreet?"Hujan belum juga
reda, Fungli memberikan pilihan yang berat untukku.
"Fung, aktifitas pacaran itu mendekati
perbuatan zina, sedangkan zina itu
termasuk salah satu perbuatan dosa besar dalam agama. Gue juga gak bisa backstreet
karena Allah Maha Melihat dan ada dua malaikat yang selalu mengikuti langkah gue.” Aku
berharap dia bisa memahaminya dengan cepat karena aku benci sausana ini.
“Gue nggak
ngajak lu yang macam-macam, gue …
hanya ingin dekat lu!" Ia menghentikan
mobilnya lagi.
"Baiklah, gue nggak maksa lu tuk jadi pacar
gue tapi tolong jangan menghindar dan jadikan gue teman lu dalam suka dan duka, Okey?" Wajahnya
terlihat sangat tulus, tak tega menolak permintaannya yang sederhana itu. Aku pun
terpaksa mengangguk tanda setuju.
{ { {
Hari yang sibuk untuk sekolah kami. Kursi tersusun
dengan rapi, ruang auditorium di hias bak penyambutan tujuh belasan. Teman-teman
dari sekolah lain sudah mulai berdatangan dan mengisi bangku yang telah
disediakan.
Kegelisahan mulai menyelinap di hati, sebentar lagi aku perform. Berbeda dengan Fungli
yang kelihatan tenang dengan wajah berseri-seri. Ia menghampiriku dan sangat
bisa membaca kegugupanku. Fungli meletakkan kedua tangannya lagi diatas
pundakku.
"Lu pasti bisa, kita berdua bakalan
jalan-jalan ke luar negeri.” Ia menatapku
penuh keyakinan sambil mengembangkan senyumannya.
‘Jalan-jalan keluar negeri memang impianku, tapi bukan berarti dengannya. Aku pasti mengecewakan Kak Tari dan teman-teman Rohis lainnya yang telah meletakkan kepercayaannya
padaku.”
Gumamku.
Mata Fungli memancarkan harapan. Hampir satu menit
aku di atas podium tanpa suara, Entahlah, seperti
ada yang mengganjal. Suara begitu
berat kurasa. Fungli memberikan isyarat untuk mulai sebelum aku kena diskualifikasi.
"Assalamu’alaikum, good morning everybody, First of all, we
would like to praise God for his loving guidance and for the many blessings
that he has graciously given to us,
Especially my english teacher for having the patience to support my dream with all your love and care ....”
Aku merasa keringat dingin mengucur ke seluruh badan dan pandanganku pun menjadi kabur. Ya Allah,
beri kekuatan, jangan pingsan di sini.” Aku tak mampu
mengeluarkan kata-kata lagi dan semuanya menjadi gelap.
{ { {
Hampir saja, aku loncat dari kursi kantin ketika
Sofi membanting mangkuk bakso di depanku
dengan kasar,
beruntung mangkuk baksonya tidak pecah di atas meja.
“Sorry … sorry, panas. Nih, bakso ikan
kesukaanmu!” Sofi
mengipas-ngipas jarinya yang tercepret kuah panas.
“Yang tenang donk, gak
berubah dari dulu.” Godaku. Wajahnya memerah namun tetap khusyuk menikmati bakso sambil meniup-niupnya.
Usai makan, kami
memilih untuk duduk sejenak di taman belakang sekolah. Tempat paling indah dan
paling bersejarah bagi persahabatan kami. Ingatanku begitu kuat hingga dengan
jelas, aku bisa melihat peristiwa yang lalu.
"Lu
jangan genit sama Fungli!" Lili menatapku penuh amarah.
"Gue nggak ngerti maksud lu?" Tanyaku waktu itu.
"Jangan munafik! Lu kan ikon yang dibangga-banggakan oleh teman Rohis lu. Kenapa pake pingsan? Biar
bisa di gendong doi. Iya?" Aku beranjak dari taman sekolah untuk
pergi, Lili menahanku dan mengangkat tangannya dengan cepat, menempelkan
telapak tangannya dengan keras di pipiku.
"Sekali lagi lu pake pingsan dan cari
perhatiannya, bakalan gue bonyokin lu kayak pecel!" Lili dengan lancang meletakkan tangannya di atas kepalaku. Tiba-tiba tangan Sofi dengan cepat
menarik tangan Lili dan menggelintirnya ke belakang.
“Jangan ganggu teman gue!” Bentak Sofi.
“Ampun .…” Lili
berteriak mengaduh kesakitan.
“Sekali lagi lu, ganggu teman gue, lu yang bakalan
gue bonyokin jadi pecel!” Sofi melepaskan tangan Lili dan ia pun kabur
meninggalkan kami.
“Gue minta maaf sama lu karena udah nembak Fung li, please.” Sofi
mengulurkan tangannya padaku
dengan wajah memelas.
“Lu gak salah nembak dia, yang gue gak suka kalau
lu mendorong gue tuk jadian ma dia. Sementara diam-diam lu suka mah dia. Itu tuh nyakitin gue banget. Seharusnya
lu bilang ke gue kalo lu suka ma Fungli. Bukan nembak dia di belakang
gue!!” Akhirnya tumpah juga air mataku yang sejak tadi ingin keluar karena menahan rasa sakit di
hati dan pipi.
“Yah, gue salah and please … maafin gue.” Iba juga melihat
wajah Sofi, aku menganggukkan kepala tanda setuju.
“Gue tetap doain lu supaya berjodoh dengan Fungli.” Sofi
memelukku.
"Hey …
gue baru lima belas tahun, belum kepikiran untuk nikah … tercapai dulu cita-cita gue, baru nikah!"
Jawabku ketus.
"Kalo cita-cita lu gak kesampaian nyampe
umur tiga puluh tahun gimana?" Ledek Sofi.
“Masalah buat lu?”
candaku sambil mengulurkan lidah.
“Idih ...
gak ketuan segitu? Gue sih abis lulus
langsung nikah!” Bangga Sofi.
"Biarin … daripada
lu genit, he ... he ....” Tawa kami terdengar
renyah di taman ini.
{ { {
Sekolah kami mengadakan lari maraton sehat yang
diikuti oleh seluruh siswa dan siswi beserta guru-gurunya dan tak tertinggal pula
kepala sekolah kami.
Sebelum berangkat, guru olahraga kami memberikan
pemanasan terlebih dahulu.
Lari maraton pun
dimulai, Aku berada di samping Sofi, tapi tak lama kemudian aku tertinggal jauh
darinya. Aku tak mau menyusul karena memang aku telah kelelahan. Di belakang
kulihat Kak Tari bersama
Lili, mereka sedang berbicara serius.
Entah apa itu, aku nggak mau tahu.
"Hey .,.."
Fungli melambaikan tangannya dan tersenyum padaku.
"Dil, kita
balapan yuk … sampai garis finish." tantangnya padaku.
"Nggak mau!" Jawabku pendek.
"Ada rewardnya, gue traktir kalo lu
menang, gimana?” Aku tidak ingin
menerima tantangannya. Aku hanya merasa tidak enak dilihat Kak Tari dan Lili.
Ku percepat lari secepatnya untuk meninggalkan Fungli sejauh mungkin. Namun, Fungli sanggup menyamakan langkahku. Kukerahkan
lagi kemampuan berlari untuk menjauh darinya. Tapi dia tetap bisa menyamai
ayunan kakiku. Jadilah, kami seperti orang
yang sedang berlomba lari.
Terbesit rasa malu di hatiku, ia masih berada di sampingku. Hingga akhirnya aku putuskan
memperlambat langkah, dengan maksud supaya Fungli meninggalkanku. Tapi ia pun tak mau mendahuluiku, ia masih
menyejajarkan langkahnya
denganku.
Aku tidak nyaman jadi pusat perhatian teman-teman
yang matanya masih mengekor kami. Akupun menyusun kekuatan maksimal untuk lari
secepatnya agar bisa meninggalkan Fungli.
Aku lari dan terus lari, lari tanpa henti dengan
kecepatan penuh yang aku bisa. Tak terasa garis finish hampir dekat, bahkan aku pun mampu mengungguli Sofi. Dan ternyata aku dan
Fungli orang pertama yang sampai di garis finish.
{ { {
Udara di taman sekolah memang selalu segar untuk
dinikmati. Suara azan dari masjid sekolah memecahkan kesunyian. Merobek-robek
memori masa laluku. Sofi beranjak untuk
sholat Dzuhur di masjid. Kami menuju masjid dan ikut menjadi makmum
dibelakang imam hingga rakaat yang terakhir. Sofi sangat khusyuk dalam doanya, sedangkan memoriku
mengembalikanku lagi pada masa lalu.
Aku melihat sosok Fungli masuk ke masjid. Belum pernah kulihat ia
berani masuk ke dalam masjid
dan untuk apa ia ke sini?
“Gue ke sini
untuk mengucapkan selamat berpisah dan mau kasih penjelasan ke lu.” Mukena putihku
belum sempat dibuka.
“Ngejelasin apa?” Aku
agak bingung dibuatnya.
“Gue tahu,
lu ninggalin pesta perpisahan karena
tadi lu ngeliat gue cipika-cipiki sama
Lili, lu cemburu kan?”
Aku mengerutkan kening.
“Gue ma Lili udah putus, trust me!” Fungli menipiskan suaranya ketika dilihatnya Sofi
menaruh jari telunjuknya di depan
bibirnya.
“Nggak penting buat gue tahu!” Jawabku ketus.
Fungli hanya diam kemudian menelurkan suara lagi.
“Meski lu bukan lagi produk ikon Rohis setelah lulus?”
Aku hanya tersenyum mendengarnya.
“Yah, gue ingin mewujudkan cita-cita dulu dan akan pacaran setelah menikah!” Aku menangkap
rasa kecewa di wajahnya. Kendati aku pun merasakan kesedihan ketika melihat mendung di wajahnya.
Sofi
mengulurkan tangannya untuk menyalamiku, aku sontak kaget. Kesadaranku
bangkit oleh suara Sofi.
“Dari tadi melamun terus, pasti mengingat
seseorang, iya kan?” Sofi mengangkat alisnya menggodaku.
“Udahlah … lupakan
Fungli! kamu harus
menikah,
mengingat umur. Lagipula cita-citamu jadi dokter sudah tercapai. Dokter
spesialis jantung, dokter Nurfadillah
Azzahra. Nggak banyak di dunia ini dokter muda dan cantik kayak kamu. Lantas
apa yang menghambatmu susah dapat jodoh? Aku
yakin pasti bejibun yang naksir kamu.”
Aku hanya membalas dengan senyuman atas pujian dan
nasehatnya sambil mengangkat bahu. Selama ini, aku memang nggak pernah pacaran
dan tergila-gila pada dua hal yaitu ilmu dan amal.
“Gabung lagi yuk, ke teman-teman yang lain.” Ajak Sofi.
Mrs. Filomona, guru idolaku melambaikan tangan dan memelukku erat. Kemudian membawaku ke
ruangannya. Sekarang beliau menjabat sebagai kepala sekolah. Tangannya menarik laci kecil mejanya dan mengeluarkan sebuah
surat dan memberikannya kepadaku.
“Surat ini dari Fungli yang dititipkan kepada saya
lima tahun yang lalu saat reuni pertama.” Aku mengambilnya dengan tangan gemetar.
“Setelah lulus, Fungli melanjutkan kuliahnya di
Singapura, ia sempat pulang lima tahun yang lalu karena papanya
meninggal dunia.” Terhentak hatiku
dan semakin goyah mendengar berita duka datang dari Fungli. Aku pamit pulang,
setelah berbincang-bincang cukup lama.
{ { {
Bismillahirrohmanirrahim,
(Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih dan
penyayang).
Dear Nurfadhillah Azzahra,
Pada saat kamu membaca surat ini, Insya Allah aku
telah berada di Dubai, Arab Saudi. Setelah papa
meninggal, aku bekerja di perusahaan minyak sambil melanjutkan S2.
Aku telah
memeluk Islam, aku mualaf, Dil ….
Cahaya hidayah itu berawal dari kamu dan cahaya itu tidak pernah redup bahkan
semakin terang ketika aku bertemu Hasan, mahasiswa
asal Brunei Darussalam yang menjadi sahabat dekatku selama
aku menempuh studi di Singapura. Ternyata Islam itu sangat indah, suci dan damai.
Aku menemukan ketenangan di dalamnya.
Namun, aku pun tidak tahu surat ini akan sampai kepadamu atau tidak? Aku menggantungkan harapan
surat ini akan dibaca olehmu.
aku sangat kecewa di reuni pertama kamu tidak datang. Aku sempat mampir ke rumah kamu. Sayangnya, kamu
sedang melanjutkan kuliah kedokteran spesialis jantung di Negeri Kangguru,
Australia. Aku bahagia mendengar kamu mendapatkan beasiswa dan bersungguh-sungguh mengejar impianmu.
aku kangen
kamu dan tidak bisa melupakan wajahmu yang bercahaya ketika mengenakan mukena
putih di masjid sekolah, waktu itu. Demi
Allah, kamu cantik sekali, Dil. Bahkan lebih
cantik dari lukisan dewi-dewi yang
menggantung di rumahku. Astaghfirullahual’azim … barangkali saat ini kamu telah menjadi istri seseorang. Aku mohon email aku ya, agar silaturahim kita tidak putus meski kamu
mungkin telah menjadi milik orang lain.
From : Fungli (muhammadariefli@gmail.com)
Sudah hampir enam bulan surat Fungli kubalas via email. Namun, kabar darinya tak pernah kuterima. Mungkin Fungli bosan menungguku selama
sepuluh tahun. Atau mungkin ia telah menikah dengan orang Arab yang sholehah
nan cantik. Aku pun telah putus
asa berharap balasan suratnya. Ia hanya masa
lalu dan akan tetap menjadi masa lalu. Aku tak boleh mengukir namanya lagi di dalam hatiku.
Sepertinya, aku mendengar seseorang memberi salam.
Aku pun bergegas menjawabnya dan membuka pintu.
Alangkah terperanjatnya aku, Mrs. Filomina datang dengan seseorang yang pernah
aku kenal dulu, Fungli. Dengan gugup aku mempersilahkan mereka masuk dan duduk.
“Kok nggak kasih tahu kalau Mrs. Filomina mau
datang?” Tanyaku.
“Surprise!” Ibu
membawa Fungli alias Muhammad Arif Li.” Jantungku semakin mau copot,
menahan denyutnya yang begitu kencang kurasakan. Perasaanku beraduk-aduk tak
karuan, antara senang dan grogi. Tak banyak yang berubah, ia masih tetap tampan
seperti dulu namun, kini wajahnya
yang putih tampak sangat bersinar.
“Would you marry with me?” Pintanya padaku.
“Why you ask me to marry with you?” Aku ingin tahu alasannya, aku tak ingin ia terjebak
jauh dalam obsesi masa lalunya seperti aku, maybe!
“Cause
you are my first and endless love.” Jawabnya
yang membuatku sangat bingung.
“You are lier! How about Lili?” Aku masih ingat kisah cinta mereka di lapangan
basket.
“Aku pacaran sama Lili hanya karena ikut trend.
Masa sih kapten basket dan ketua OSIS tidak punya pacar? Aku malu di ledek teman-teman apalagi banyak cewek yang nembak. Demi
Allah, aku tak pernah melakukan aktifitas pacaran yang agresif!” Keterangannya terlihat begitu sangat jujur.
“Idih … norak
abis! Pacaran kok biar kelihatan gaya gitu!”,Tawa kami pecah mencairkan suasana.
“Aku jatuh cinta padamu karena keistiqomahanmu dalam menjalankan agama
Allah dengan baik. I ask you last one, Wouldy you marry with me?” Tanyanya lagi dengan lebih serius.
Aku mengangguk pelan, malu dan bercampur bahagia.
“Alhamdulillah.” Fungli dengan fasih mengucap syukur, begitu pula denganku. Buah kesabaran dan keistiqomahan itu sangat indah. Jika
memang jodoh telah berpihak kepadaku dan Fungli, mengapa harus melewati lorong
maksiat? Jodoh akan
menemukan caranya sendiri dengan indah dan misterius. Meski samudera memisahkan benua atau kepercayaan menjadi
sekat. Dengan campur tangan Allah, semuanya tak berarti apapun.
Cinta bukanlah alasan untuk menghalalkan kita
pacaran.
Ya … cinta …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar