Sabtu, 14 Maret 2015

SURGA DI WAJAH ANAK-ANAKKU



Oleh: Aisyah Asafid Abdullah
            Tiga tahun telah berlalu, masa-masa sulit ditelan habis dan pada akhirnya menemui hari ini. Setelah berpisah dengan isteri terdahulunya, Hafis memutuskan menikahi gadis usia dua puluh empat tahun. Ia mempunyai alasan kenapa ia menikahi gadis yg usianya jauh dari dia dua belas tahun.
            Kesepakatan Hafis dengan isteri terdahulunya, Rany. Pada setiap bulan di minggu pertama ia akan menemui Kayla dan Dimas, kedua anaknya. Tapi minggu ini Hafis mengajak isteri barunya, Laila. Ternyata diluar dugaan Hafis, kedua anaknya tidak bisa menerima Laila dengan baik.
Ketika Laila membawa hadiah dua buah boneka beruang untuk Kayla dan Dimas.
“Saya tidak suka hadiah darimu!” Kayla sambil melempar boneka beruang berwarna pink  pemberian Laila. Lalu Laila menarik boneka beruang berwarna biru milik Dimas dan kembali ia lempar. Dimas masih belum mengerti apa-apa, karena usianya masih lima tahun.
“Tidak apa-apa sayang kalau kalian tidak suka.”Laila tersenyum sambil mengusap Kayla dan mencium Dimas. Laila mengambil hadiah di pelataran, lalu ia membisikan suaminya dan pergi.
Harapan Laila, semoga dengan awal perkenalan ini kedua anak dari suaminya itu lebih cepat dewasa dan memahami kondisinya seperti apa. Meskipun mereka bukan darah dagingnya, tapi dari awal ia menerima pinangan Hafis karena menyanyangi kedua anak dari suaminya itu. Dalam diam ia bersikap bijak dan memasang senyum saat meninggalkan Kayla dan Dimas. Karena hakikatnya mereka adalah anak yang tidak mengerti apa-apa, pikir Laila.
Melihat apa yang telah terjadi pada anak dan isteri tercintanya Hafis tak bisa menyimpan kesedihannya, air matanya tumpah. Ia tak bisa membendung air matanya.  Ia tak bisa menyisihakan lara di hati kedua buah hatinya itu.
“Maafkan abi ya nak!” Hafis sambil memeluk kedua anaknya. Hafis ayah berwajah oriental itu memeluk kedua anaknya, dan mengantarkan pulang tanpa ditemanin Laila.
Air mata bukan pemilik tunggal perempuan. Jadi jangan heran ketika engkau melihat lelaki menitihkan air mata. Karena tidak adil, jika lelaki tak boleh menangis. Rasa yang telah dirasakan Hafis begitu perih meringkih.
Begitu mudahnya Tuhan membalikan takdir putih seseorang menjadi hitam, hitam menjadi putih. Begitu yang sedang dirasakan lelaki berusia tiga puluh delapan tahun itu. Kehidupan yang dirasakannya telah sempurna, kini hanya sebuah cerita.
Hakikatnya dia lelaki yang perasa tak mudah ditaklukan, apa saja ia bisa lakukan. Tapi Tuhan maha baik, diambilah yang dititipkan Tuhannya. Rasa yang dimiliki isteri terdahulunya, Rany. dialihkan pada lelaki lain.
            Kebaikan memang tidak akan selalu dibalas kebaikan. Itulah yang dirasakan Hafis, diam-diam teman semasa SMA-nya mencuri madu miliknya dan menghisapnya. Diawal pernikahan Hafis  meskipun Beno sudah berkeluarga ia kerap mengganggu Rany, dengan alasan meminjam uang untuk susu anaknya. Pikir Hafis tak ada salahnya untuk meminjamkannya, hanya saja akivitas meminjam itu berulang kali. Hingga malaikat dalam diri Hafis mengatakan pada sang Isteri. “ Berilah pekerjaan, kasihan Beno bisa meminjam tapi tidak bisa membayar!”. Ungkap Hafis.
            Sebulan kemudian, Rany memberi pekerjaan pada Beno satu divisi dengannya. Di sebuah perusahaan multi nasional. Dengan berjalannnya waktu, Hafis dengan aktivitas yang berbeda dengan posisi manager disebuh perusahaan komunikasi. Ia tidak bisa mengontrol waktu untuk isteri dan anak-anaknya. Ia kerap diberi beban tugas ke luar kota bahkan ke luar negeri.
            Dari situlah madu terlarang itu dihisap. Hingga pada akhirnya terkuak perselingkuhan Rany dan Beno yang memborbardir hati Hafis. Ia tak berdaya, karna rasa dalam kelakar hatinya semua milik sang isteri dan anak-anaknya. Ia tak bisa menyulam rapi luka dihatinya. Otaknya buntu, tidak sehat berfikir. Dampaknya kejayaan kariernya berakhir. Ia meninggalkan pekerjaannya tanpa alasan. Pikirnya tak menjangkau tugas-tugas di perusahaan, karna ia terlalu sibuk menata hatinya yang telah hancur.
            Rumah dan mobilnya dijual habis oleh isterinya. Pikir Hafis tertanam pada hati kedua anaknya, Kayla dan Dimas. Bagaimana ia bisa menceritakan apa yang telah terjadi pada pelipur laranya. Ia tak bisa menyisihakan lara di hati dua buah hatinya itu. Karena kedua anaknya pun masih kecil.
            Sebelum menikahi Laila, Hafis kerap terlihat bersama dengan anak-anak dan Rany. Katanya, demi anak-anak mereka berpura-pura dalam perasaan. Anak-anaknya tahu bahwa ayahnya sekarang bekerja di luar kota sehingga bertemu dengan ayahnya hanya weekend.
            Tetapi setelah kejadian minggu kemarin, bersama Laila. Kedua anaknya tak mau lagi bertemu ayahnya. Ketika Laila tahu, Laila menyarankan untuk pergi setiap minggu bersama anak-anak dengan Rany. Namun Hafis menolaknya, karena ia tak mau menyakiti  perasaan Laila.
            “Tidak sayang, ini tidak adil untukmu!”Hafis.
            “Tidak apa-apa sayang, demi anak-anak kamu mereka membutuhkanmu!” Laila sambil memegang tangan Hafis.
            “Kalau ada orang yang kukenal memergoki kami berjalan bersama, aku tak mau ucapan-ucapan miring yang menyakiti hati kamu sayang.” Hafis khawatir.
“Biar sayang biar kata orang apa, yang terpenting kamu pergi besama anak-anakmu tidak menimbulkan fitnah!” Laila.
“Kau baik sekali sayang.” Hafis sambil memegang janin Laila yang sudah berusia dua bulan.
            Meski awal kesalahannya ada pada Rany, tapi semua masalah seperti diputar balikan. Seakan-akan dalang dari permasalahannya adalah Hafis. Terutama dimata anak-anaknya. Tapi Hafis menerima dengan baik, waktu yang akan menjawabnya. Pikir anak-anaknya, ayahnya telah meninggalkan mereka demi Laila.
Padahal pada kenyataanya, ayahnya telah berpisah dengan ibunya sudah tiga tahun. Bahkan Hafis sudah mengajak untuk rujuk, dan memaafkan apa yang telah dilakukan Rany dengan Beno terhadapnya. Tapi Rany menolaknya, karena Hafis sudah tak mempunyai apa-apa.
            Diputuskanlah hati Hafis pada gadis usia dua puluh empat tahun, Laila. Meski usianya terpaut jauh dua belas tahun. Laila seperti orang tua berwujud muda.
*****
Setelah lima tahun pernikahannya dengan Laila. Hampir Hafis lupakan tentang harapan Kayla dan Dimas bisa menerima Ramzi, anaknya dari Laila. Ia tak bisa hidup berlama-lama dalam dua cabang yang terpisah. Kekuatannya hanya pada anak-anak dan isterinya.
Musim hujan kini telah pergi, kini kembali matahari bertengger pada siang hari Hakikatnya dunia ini berbentuk bola, selalu berputar dan subjeknya adalah Tuhan. Semua sisi dapat dirasakan, adil. 
Hari di bumi Djakarta mulai meninggalkan sore, lembayung kuning menyambut petang. Lelaki yang kini berusia empat puluh tiga tahun itu merasa kesabarannya sia-sia. Meski pekerjaan yang sempat ia abaikan kini ia dapatkan kembali. Pikirnya tak ada gunanya.
 Sudah seminggu ia meninggalkan Laila dan Ramzi ke Balikpapan untuk tugas yang dibebankannya. Lelaki yang rambutnya sebagian memutih itu ragu melangkahkan kakinya ke rumah.
Ia mendapati isterinya sedang menutup jendela kamar. Ia mengagetkan dengan sebuah pelukan hangat. “Aku tidak bisa mengerti tentang dunia ini, sayang” Ucap Hafis pada isterinya. “Jika demikian artinya engkau juga tidak dapat mengertiku?” jawab Laila sambil melepas dasi dari leher suaminya itu. Ia duduk terdiam tidak menjawab seperti mengiyakan.
“La, rokok dilaciku kau buang yaa?” Hafis mengalihkan pembicaraan. “Tidak bang, aku simpan kupindahkan , Ramzi suka membuka lacimu.” jawab Laila sambil beranjak mengambil rokok suaminya. “Tumben, biasanya kau buang diam-diam!”. “Aku sedang berusaha mengertimu, Bang.”ucap lembut Laila. Mendengar ucapan Laila, Hafis mengecup kening isterinya. 
            “Ramzi dimana?” Tanya Hafis. “Dia sedang bermain ayunan di belakang” jawab Laila. Hafis segera ke belakang rumah menemui buah hatinya itu. Ketika keluar ia mendapati ketiga buah hatinya. Kayla menggendong Ramzi, dan Dimas mendorong ayunan dari belakang. Pemandangan surga, ia terhenti dengan rasa yang mengharukan. Laila memeluk Hafis dari belakang pintu. “Apa kau sudah mengerti tentang dunia, sayang?” ucap Laila. Hafis mengecup kening Laila “ Terima kasih sayang.” ucap Hafis sambil membalas pelukan Laila.
            Pikir keduanya, tidak perlu diceritakan tentang ketidakbaikan seseorang apalagi orang terdekat orang yang dicintai. Meski seperti memikul banyak beban yang tak pernah dilakukan. Melangkah seperti dikejar anjing galak. Tapi itulah ilustrasi yang dirasakan orang sabar. Meski perlahan dan masih saja terjatuh, dan perlahan bangkit kembali. Hakikatnya sebuah konsisten dalam bersikap baik dibutuhkan untuk melihat surga di wajah-wahah orang tercinta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar