Sabtu, 14 Maret 2015

SIAPA SAHABAT?

By : Muhammad Valdy Nur Fattah






       Siapa sahabat itu sebenarnya? Yang seperti apa kriteria seorang sahabat itu? Apakah dia orang yang selalu ada untuk kita, atau dia orang yang selalu setia bersama kita dalam setiap keadaan? Semua pasti memiliki kriteria tersendiri dalam menentukan siapa yang pantas menjadi sahabatnya. Seperti persahabatanku dengan Fadhil, sahabatku semenjak aku kecil dahulu. Namun, kisah persahabatan kami tak seindah kisah persahabatan yang lain. Mungkin ada baiknya aku menceritakan kisah persahabatan kami ini.
       Kisah ini dimulai dari masa kami SMA. Seperti biasa kami berada di kelas yang sama. Sedari SD dulu kami tidak pernah berpisah sekolah, bahkan kelas kami pun selalu sama. Sampai-sampai ada beberapa teman kami yang mengatakan kami ini adalah sepasang gay[1] yang memakai seragam sekolah. Betapa piciknya pandangan mereka menilai persahabatan kami. Tapi bukan itu yang menjadi masalah dalam hubungan persahabatan antara aku dengan Fadhil.
       Saat itu guru-guru di sekolah sedang mengadakan rapat sehingga semua siswa-siswi di kelas menganggur. Aku punya ide untuk kabur dari sekolah dan pulang ke rumah lebih awal sebagaimana anak-anak muda saat itu. Kebetulan aku dan Fadhil sama-sama memiliki keahlian parkour[2] sehingga dapat menjadi andalan kami untuk kabur tanpa bisa ditangkap oleh petugas keamanan sekolah. Lalu aku menghampiri Fadhil dan mengajaknya untuk kabur lewat gerbang belakang sekolah.
       "Fadhil, kita kabur yuk mumpung guru-guru lagi pada rapat. Lewat pintu belakang aja. Dengan kemampuan parkour kita, pasti kita bisa melompati gerbang belakang sekolah yang tinggi itu." pintaku.
       "Rizal, itu bukan tindakan yang baik. Ini bukan jam kita untuk pulang. Sebaiknya kita menunggu dulu di sini sampai para guru selesai rapat. Jika mereka telah mengizinkan kita pulang, kita bisa pulang tanpa repot-repot melewati gerbang belakang sekolah lagi. Apa lu gak inget kata guru agama kita? Dulu para ulama salaf seperti Imam Bukhari ataupun Imam Syafi'i sampai rela menempuh perjalanan ratusan mil dalam beberapa bulan hanya demi menuntut ilmu. Apa kita gak mau ikut jejak mereka dengan rajin menuntut ilmu? Mending kita belajar bersama-sama saja di sini daripada pulang ke rumah." nasihat Fadhil.

       "Ah ceramah aja lu. Pengang juga nih kuping gua denger celotehan sok ustadz lu itu!" ucapku.
       "Bukan sok menggurui begitu, tapi gua cuma pengen agar kita bisa melakukan hal-hal yang terbaik aja daripada yang gak ada manfaatnya. Kasihan kan orang tua kita biayain sekolah mahal-mahal, kita malah membalasnya dengan bolos sekolah," khutbah lanjutan si Fadhil.
       Namun, kala itu aku bersikeras ingin pulang dan kabur lewat gerbang belakang. Aku pun memalingkan wajahku dari Fadhil. Aku mengetahui Fadhil menatapku dengan kecewa saat aku memutuskan untuk pergi sendiri. Tapi aku tak peduli, aku hanya ingin pulang. Toh diriku tidak merugikan siapa pun. Aku melompat dari lantai atas sekolah ke bawah dengan menuruni sebuah tangki air. Tangki air itu tidak terlalu dekat dengan balkon sehingga aku harus melompat untuk menggapainya. Untung saja aku punya keahlian parkour sehingga aku terbantu. Saat aku telah berada di bawah, aku mendongakkan kepala dan kulihat Fadhil sedang melongok ke bawah melihatku. Aku kesal sekali dengannya karena dia tidak mau mendengarkan aku. Aku langsung berlari ke belakang sekolah.
       Saat berlari ke belakang, dua orang petugas keamanan memergoki aku. Dengan kaget, aku berlari lagi menjauhi mereka. Keduanya mengejarku. Aku berlari ke arah sebuah selokan besar di belakang sekolah yang memisahkan antara lapangan dan gedung sekolahan. Dua petugas yang sedang mengejarku pun berhenti. Mereka mengira aku sudah tersudut dan tak mungkin bisa ke mana-mana karena selokan itu penuh air dan jarak antar dindingnya cukup jauh. Saat mereka mulai berpikir aku sudah menyerah, mereka mendekatiku. Namun, aku langsung melompat sejauh mungkin melewati selokan itu dan tanganku berhasil meraih dinding selokan di seberang hingga kakiku hampir terpeleset jatuh ke selokan. Beruntung, dengan sekali hentakan kakiku, aku bisa melompat ke atas dan kini aku telah berada di seberang. Para petugas itu pun kebingungan dan tampak heran, keduanya saling berpandangan. Keduanya tak bisa melewati selokan tersebut dan mereka berlari untuk mencari jalan berputar. Saat itu, aku langsung berlari lagi menuju gerbang belakang sekolah.
       Aku sudah dekat dengan gerbang belakang. Tiba-tiba, seseorang melompat dan menghadang di hadapanku. Aku terkejut karena itu Fadhil. Dia mengejarku dengan kemampuan parkour-nya yang setara denganku.
       "Zal, jangan lari! Sebaiknya lu kembali ke kelas kita aja! Tidak ada gunanya lu kabur dari sini, gak akan ada manfaatnya. Mending kita belajar bareng aja kayak biasanya," ujar Fadhil padaku.
       "Ahh... udah bosen belajar melulu. Saatnya kita seneng-seneng, kita ini udah SMA Dhil ... bukan anak-anak lagi. Kalau lu gak mau ikut, jangan halangi gua, minggir!" pintaku.
       Aku mencoba bergerak menuju gerbang. Akan tetapi Fadhil menahan tanganku. Aku menepisnya, namun ia tetap mengikutiku dan menarik lenganku. Aku berusaha melepaskan diri. Sementara itu, dua petugas tadi sudah berada di dekatku. Aku mencoba terus memberontak agar Fadhil melepas cengkeramannya dari lenganku. Tapi sungguh kuat cengkaramannya. Fadhil memang lebih kuat dariku sejak dulu.
       Tapi tiba-tiba seseorang menendang Fadhil hingga terjatuh dan akhirnya lenganku pun bebas dari genggamannya. Ternyata Fairuz yang menendang Fadhil.
       "Cepat kabur! Aku yang akan menjaga dari sini." teriak Fairuz padaku. Aku pun menatapnya, mata Fairuz serius. Aku langsung berlari ke gerbang dan hap ... happ ... aku berhasil melompati gerbang itu. Aku melihat dari celah gerbang, para petugas itu menangkap Fairuz dan kulihat Fairuz tersenyum kepadaku seraya mengacungkan jempolnya. Aku pun tersenyum balik kepadanya. Aku melihat roman kecewa di wajah Fadhil saat itu. Aku tak mempedulikannya.
       Berselang beberapa hari setelah itu, aku mendapat hukuman dari pihak sekolah. Aku kecewa, Fadhil sama sekali tidak membelaku. Malah Fairuz yang menyemangatiku saat itu. Fairuz bilang, "Sabar saja kawan, kita kan gak akan lama berada di sini. Dunia bebas di luar sana masih menantikan kita. Gua akan ada untuk lu!" Aku terharu mendengarnya, inilah sosok sahabat sejati yang selalu ada untuk kita. Semenjak itu, aku dan Fairuz menjadi sahabat. Aku mulai menjauh dari Fadhil.
       Suatu hari, aku melakukan hal yang sama dan kini dibantu oleh Fairuz. Lagi-lagi Fadhil hadir di antara kami dan kembali mencegah diriku untuk kabur dari sekolah. Akhirnya aku ketahuan dan berhasil ditangkap oleh petugas sekolah lalu aku di-skorsing selama sepekan karena kejadian itu. Aku amat marah pada Fadhil yang mencoba menghalang-halangiku hingga akhirnya aku ketahuan dan terkena hukuman.
       Aku marah pada Fadhil. Aku menghampirinya saat pulang sekolah. Aku mengeluarkan sebuah pin parkour tanda persahabatan kami dan meletakkannya ke tangan Fadhil. Fadhil tertegun dan menatap ke arahku. "Kenapa lu kasih pin ini ke gua? Ini kan punya lu, Zal!" tanyanya. "Anggap saja kita gak pernah bersahabat. Gua udah gak tahan karena lu yang gak pernah merasa empati lagi sama gua, kita akhiri hubungan persahabatan kita selama ini. Lupakan semua masa lalu kita, gua udah punya sahabat lain yang lebih mengerti tentang gua, terima kasih atas semuanya!" lalu aku pun pergi ke arah Fairuz yang tersenyum melihatku. Kami pun berlalu meninggalkan Fadhil sendirian. Tanpa terasa air mataku mengalir juga, begitu pula dengan air mata Fadhil yang turut menetes.

*****

       Waktu telah berlalu, zaman telah berubah, seragam kami pun telah berganti. Dulu kami berseragam sekolah, kini aku berseragam hitam-hitam sementara Fadhil telah berganti kostum polisi. Tapi sejak hubungan persahabatan kami tidak berlanjut, aku juga sudah tidak tahu persis bagaimana kabarnya. Aku hanya tahu kini dia menjadi seorang polisi dari tweet di twitter-nya.
       Malam ini adalah saatnya aku menjalankan tugas dengan segala perlengkapan kerjaku. Aku senang bisa menyalurkan bakat parkour-ku untuk mencari nafkah, di luar pendapat sebagian orang tentang halal dan haramnya pekerjaanku. Tapi setidaknya, hasil dari pekerjaanku ini lumayan besar juga. Cukuplah untuk hidup layak di kehidupan metropolitan seperti ini.
       Aku telah siap menunaikan kewajibanku malam ini. Semua peralatan untuk bekerja telah kubawa di ransel kerjaku. Beberapa menit kemudian, aku dipanggil oleh bos agar disuruh menemui dia untuk meeting di tempat yang telah ditentukan.
       Hanya sekitar 30 menit, aku telah tiba di tempat yang disepakati oleh kami bersama. Selain bos, ada seorang lagi yang bersama dengannya dan ikut menungguku. Orang tersebut tak lain adalah sahabatku, Fairuz. Bos memberikan briefing sebelum kami melakukan tugas dan pekerjaan kami agar semua bisa berjalan lancar sesuai rencana.
       Selama beberapa tahun terakhir ini, aku melatih Fairuz untuk belajar parkour agar kami bisa saling bekerja sama dalam menunaikan tugas dengan lebih baik. Kini kami bukan lagi sekedar sahabat yang seia sekata, tapi juga partner kerja yang kompak.
       Setelah mendapat pengarahan dari bos sekarang kami telah siap untuk bekerja. Aku dan Fairuz segera mendekati tempat kerja kami. Aku melepaskan dan membuka ranselku lalu mengeluarkan isinya, yakni sebuah tali fiber yang amat kuat. Aku memberikan tali itu kepada Fairuz. Fairuz lalu melempar tali itu ke atas sebuah pagar baja di hadapan kami. Setelah memastikan tali itu terpasang dengan kuat, aku pun melompat dengan lihai untuk menggapai tali tersebut. Aku memanjat dinding baja tersebut. Sesampainya di atas, Fairuz ikut meraih tali dan memanjat. Saat mendekati atas, aku membantunya naik. Kami berdua kemudian melompat-lompat menuju ke arah sebuah gedung. Aku mengambil sebuah alat pengganggu sinyal di ransel dan menempelkannya di sebuah kamera CCTV[3] yang ada di dekat kami. Setelah dipasang, semua kamera CCTV yang ada di gedung pun menjadi kehilangan jaringan. Saat itulah, aku dan Fairuz melompat ke jendela. Fairuz mengeluarkan alat pelubang kaca jendela berteknologi tinggi dari ransel kerjanya. Kami juga tak lupa untuk memasang masker penutup wajah. Setelah jendela berhasil dilubangi, maka kami berdua masuk secara diam-diam.
       Karena kamera CCTV telah dilumpuhkan, maka kami bisa melenggang dengan nyaman masuk ke gedung tanpa diketahui. Drap ... drapp ... terdengar suara jejak kaki mengenakan sepatu kulit akan melintasi lorong yang kami lewati. Fairuz mendangakkan kepala dan melihat sebuah lubang ventilasi dan menarik bajuku untuk memberitahukan hal itu. Aku ikut melihat. Dengan bantuan Fairuz, aku menaiki pundaknya dan berhasil membuka ventilasi. Aku masuk ke ventilasi. Suara derap langkah kaki orang itu semakin mendekat. Fairuz melompat ke dinding yang mengapitnya di kanan dan kiri lalu berhasil meraih tepian ventilasi lalu segera masuk ke dalamnya. Tak lama orang yang sedang berjalan itu melewati kami tanpa tahu jikalau kami tengah berada di atas lubang ventilasi.
       Setelah kami melihat bahwa situasi telah aman terkendali, maka aku menghidupkan flashlight[4] yang telah terpasang tepat di sebelah jam tanganku. Sementara itu Fairuz mengambil kertas semacam peta denah ruangan di lantai itu. Jari telunjukku menunjuk pada sebuah titik yang telah diberi tanda warna merah oleh bos. Lalu kami berdua memperkirakan ke mana arah yang harus dituju untuk mencapai ruang tersebut melalui saluran ventilasi di atas ruangan.
       Kami pun berjalan perlahan menuju ke tempat yang telah ditunjukkan oleh denah. Tak berapa lama, kami pun telah sampai berada tepat di atas ruangan tersebut. Aku membuka tutup ventilasi dengan hati-hati. Aku dan Fairuz melongok ke bawah dan melihat ada sebuah brankas dari besi yang berada di tengah-tengah rungan itu. Namun nampak sekali di sekitarnya terdapat sinar-sinar laser yang digunakan untuk melindungi brankas tersebut dari pencuri. Kami berdua mengerti bahwa kami harus berhati-hati agar tak sampai menyentuhnya. Karena salah satu dari anggota tubuh kami menyentuhnya, maka laser itu bisa memotong tubuh kami. Selain itu, laser tersebut merupakan sensor yang dapat memicu alarm untuk berbunyi.
       Aku telah mengikatkan tubuhku pada tali fiber yang kami bawa sebelumnya. Dengan bantuan Fairuz yang memegangi tali tersebut dari atas. Aku pun bergantungan perlahan. Dalam hatiku, aku bergumam, "Ini seakan melakukan aksi di film Mission Impossible. Ini memang impianku semenjak dahulu untuk beraksi seperti ini." Tampak senyumanku menyungging di pipi.
       Di atas, pada lubang ventilasi, Fairuz membantu menurunkanku ke bawah dengan perlahan-lahan sekali. Aku semakin mendekati brankas, namun aku harus berhati-hati dengan sinar laser yang mengerubunginya. Saat itu, aku kebingungan bagaimana cara agar bisa melewati laser. Sementara itu Fairuz mengecek jam tangannya dan juga alat pelacak gerakan di sekitar ruangan tersebut. Ada beberapa gerakan yang sedang menuju ke tempat kami. Fairuz mulai panik dan pegangannya semakin mengendor. Aku pun terkejut merasa semakin turun ke bawah, padahal hanya dalam jarak hitungan senti saja, kakiku bisa hilang jika tersentuh sinar laser. Aku menatap ke Fairuz dan tampak ia sedang berusaha sekuat tenaga untuk menahan tali tersebut dan menariknya dengan alat yang telah terpasang di bagian tengah tali. Awalnya tali itu perlahan tertarik ke atas. Namun karena tangannya, tali itu lepas dan kembali menurun. Tubuhku melesat ke bawah. Untungnya ketika kakiku hampir menyentuh laser, Fairuz berhasil menahan tali itu dengan alatnya. Hufff... hampir saja!
       Aku memutuskan untuk berayun pelan ke depan dan ke belakang untuk meraih sebuah pegangan di dinding ruangan. Setelah beberapa lama aku berayun, aku berhasil memegang sebuah lengkungan-lengkungan horizontal di dinding. Aku pun menapakkan kakiku ke sudut lengkungan yang ada di bawah kakiku. Dari situ aku melompat dengan sangat hati-hati menuju ke tombol-tombol yang dapat mematikan sinar laser itu. Tombol-tombol itu ada di pinggir-pinggir ruangan. Dengan kelenturan dan kelincahanku, aku berhasil mematikannya satu per satu. Hampir semua laser telah kumatikan, hanya tinggal satu yang tersisa.
       Fairuz melihat lagi ke alat pelacak gerakannya, tampak seseorang sudah amat dekat dengan pintu masuk ruangan. Fairuz pun panik dan tak sengaja melepaskan tali yang menggantungku. Dengan cepat tubuhku meluncur ke bawah dan sepatu kiriku mengenai laser sedikit dan terbakar. Jantungku terpacu cepat, perasaanku tak karuan. Sedikit lagi aku hampir kehilangan kakiku. Mataku membidik ke arah Fairuz seraya memberi kode kepadanya agar lebih berhati-hati. Fairuz hanya mengangguk pelan mengiyakan.
       Karena tinggal satu laser saja, maka aku mengayunkan tubuh ke bawah dengan mudah. Aku memencet tombol untuk mematikan sinar laser yang tersisa. Aku langsung menuju ke brankas. Tanganku membuka brankas itu dengan membaca kode yang telah diberikan oleh bosku. Tiba-tiba seseorang masuk ke ruangan itu. Aku kaget dan bergegas mengambil permata yang ada di dalam brankas. Aku memberi kode pada Fairuz untuk menarikku ke atas.
       "Hei, jangan lari kalian! Dasar pencuri bejat!" teriak orang tadi sambil berlari keluar untuk mengejar kami yang masih berada di saluran ventilasi di atas.
       Aku dan Fairuz langsung turun dari lubang ventilasi. Baru beberapa detik kami menapakkan kaki kami di lantai, orang yang tadi telah membawa beberpa petugas keamanan gedung untuk menangkap kami. Kami berdua langsung menuju ke jendela. Kami terjang jendela tersebut hingga pecah berantakan. Saat kami berada di luar, tak ada jalan lain. Kami terpojok. Kami lari ke arah jendela yang di sebelahnya lalu turun ke jendela di bawahnya dengan kemampuan parkour kami. Para petugas pun kebingungan. Mereka buru-buru ke bawah dengan lift.
       Di lantai 3, mereka berhasil memergoki kami lagi. Aku dan Fairuz kembali melompati balkon-balkon. Dan saat mereka telah begitu dekat, aku mengarahkan pandanganku ke atap sebuah gedung yang berada di seberang gedung itu. Jarak atap itu dari balkon memang cukup jauh. Para petugas itu semakin dekat dan mereka menganggap kami sudah tersudut. Tetapi aku memberi isyarat kepada Fairuz dan kami berdua pun melompat ke atap gedung di seberang itu. Jemari kami berhasil menangkap tepi dari atap, tapi kami hampir terjatuh. Namun aku dan Fairuz menghentakkan kaki kami dan melompat ke atas. Kami berhasil! Para petugas keamanan hanya tercengang diam tak mampu berbuat apa-apa. Lalu patugas yang lain menelepon polisi untuk meminta bantuan.
       Aku dan Fairuz berlompat-lompat di atas atap itu menjauhi petugas keamanan itu. Hanya dalam hitungan menit, terdengar suara sirine polisi menggaung keras di sekitar kami. Cahaya-cahaya mengitari kami yang masih berada di atas atap gedung. Aku tak peduli, kami terus melanjutkan pelarian kami. Beberapa polisi telah naik ke atas atap gedung dan berteriak memberikan peringatan untuk kami. Kami terus berlari. Kami mendengar suara tembakan ke atas yang keras memberi peringatan kedua, tapi kami tetap tak menggubrisnya.
       Polisi itu mulai mengejar kami dan menembaki kami dari belakang. Tapi kami cukup beruntung dapat terhindar dari tembakan-tembakan itu dengan aksi parkour kami. Seseorang yang tak aku lihat wajahnya, tiba-tiba menahan senjata dari teman polisinya yang lain. Lalu dia berlari mengejar kami dengan kemampuan yang sama (parkour).
       Saat kami melompati gedung, polisi itu pun berhasil melompati gedung juga. Saat kami melakukan salto untuk melewati pipa yang menghalangi, polisi itu juga bisa melakukan dengan sempurna. Aku jadi teringat seseorang yang begitu mahir melakukannya sama sepertiku. Aku jadi penasaran dengan polisi ini. Aku tak berani menghadap ke belakang, khawatir dia membawa senjata dan menembak.
       Akhirnya polisi itu pun bersuara, "Berhenti! Sebelum aku melepaskan tembakan!"
       Aku dan Fairuz pun berhenti sejenak. Aku memutar kepalaku menghadap ke arah polisi itu. Alangkah terkejutnya aku, dugaanku memang benar. Itu memang Fadhil dengan seragam polisi yang lengkap sedang mengacungkan pistolnya ke atas. Tak mau berlama-lama, aku dan Fairuz berlari lagi menghindarinya. Dan desingan peluru pun mulai berderai menuju ke arah kami berdua. Dengan sekuat kemampuanku, aku mencoba terus menghindar dan berlari. Peluru tersebut belum ada yang mengenaiku satu pun. Tetapi ketika aku akan melompati atap lagi, Fadhil telah berada cukup dekat denganku. Fairuz melompat duluan dan telah berhasil mencapai atap seberang. Giliranku untuk melompat, sayang peluru Fadhil menembus daging di kaki kiriku. Darah keluar dari kakiku. Aku pun terjatuh.
       Seketika Fadhil menghampiriku lantas ia membuka penutup wajahku. Fadhil nampaknya kaget dan tak menyangka. Ia tertegun sekali melihatku.
       "Ri... Rizal... E... Elu... Kenapa bisa di sini? Kenapa lu sekarang jadi pencuri seperti ini? Ini kan pekerjaan kotor dan dilarang ALLAH Subhanahu wa Ta'ala? Innalillahi wa inna ilaihi raji'un..." ucap Fadhil kepadaku.
       Aku menimpalinya, "Ahh... masih aja lu sok jadi ustadz, banyak bacot lu! Udah puas kan lu nembak kaki gue?!!"
       "Masya ALLAH, Zal. Gua aja gak tahu kalo ini elu. Maafin gue, tadi gua udah berusaha ngasih peringatan, tapi lu gak mau denger. Terpaksa gua tembak kaki lu! Lu gak apa-apa?" tanya Fadhil dengan sopan dan merasa bersalah padaku.
       "Gak apa-apa gimana? Darah gua aja udah muncrat ke mana-mana! Lu buta apa?!!" kesalku.
       "Baiklah kalau memang lu gak terima, lu bisa gantian nembak gua sekarang! Maafin gua... sahabatku!" ucapnya seraya menyinggahkan pistolnya ke tanganku.
       Aku bingung dengan sikapnya ini. Aku memegang pistolnya dengan penuh emosi. Rasanya ingin langsung aku ledakkan tempurung kepalanya itu. Rasa sakit ini telah merasukiku. Aku tak tahan dengan sakit ini. Aku mengarahkan pistol itu ke Fadhil, tepat di hadapan wajahnya.
       "Jika memang membunuh gua, bisa menghapus dendam lu selama ini. Gua akan serahin kepala gua ini agar bisa leluasa lu tembak. Gua janji gak akan ngalangin lu untuk itu. Tapi sebelum lu ngancurin kepala gua, gua cuma pengen minta satu hal sama lu," pinta Fadhil.
       Aku bingung harus bagaimana, "Apa yang lu mau?"
       "Gua cuma minta agar hati lu mau maafin gua dan tetap nganggap gua sahabat walau banyak perbedaan di antara kita! Bisa gak?" tanya Fadhil lagi.
       Aku cuma mengangguk dengan gugup, tapi tak terasa air mataku mulai meleleh perlahan.
       "Dan ini...," Fadhil sempat ingin mengucap sesuatu sambil tangannya merogoh ke arah kantong di balik bajunya. Aku kaget dan mengira ia menipuku dengan menyembunyikan pistol lain di balik bajunya dan berupaya menembakku. Daripada dia menembakku, sebaiknya aku yang menembaknya duluan. Lalu DUARRR... DUARRR...!!!
Cairan merah kental mengucur di kepala Fadhil. Tubuhnya tergeletak tak berdaya ke tanah. Dia tersungkur bersimbah darah. Sebuah lubang besar menembus tempurungnya. Tanganku gemetar sesaat aku menghempaskan peluru itu ke arah kepala Fadhil. Aku tak menyangka aku bisa menembaknya seperti ini.
       Aku melihat tangan kanannya masih berusaha mengambil sesuatu yang nampaknya pistol dari balik bajunya itu. Saat itu, aku coba meraih tangannya. Penasaran, diriku ingin melihat apa sebenarnya yang ada di balik bajunya itu. Betapa shock diriku saat mengetahui ternyata yang ingin dia keluarkan bukanlah pistol. Sesuatu yang membuatku merinding takut, merasa bersalah, dan bergidik tak percaya. Pin parkour tanda persahabatan kami. Yang pin persahabatan kami yang masih dia simpan sedari dulu. Pin persahabatan yang aku kira adalah pistol, kini telah membuatku kehilangan seorang sahabat lamaku.
       Aku menatap ke arah Fairuz, tapi dia malah diam saja. Sementara itu para polisi yang mendengar suara tembakan itu, kini telah berada di atas dan bersiap menangkapku. Aku hanya bisa diam. Aku memandang Fairuz kembali, tapi kini dia memalingkan wajahnya dariku. Dia lari bersama raselnya yang telah berisi permata hasil curian kami berdua. Fairuz kemudian hilang di kegelapan dengan kemampuan parkour yang ku ajarkan. Polisi langsung membekukku. Aku dibawanya pergi dari situ.
       Aku melihat tajam ke jasad kaku Fadhil. Mataku meneteskan air mata dengan derasnya. Seandainya bisa aku ungkap rasa bersalahku, rasa penyesalanku dan rasa sedihku. Aku tak tahu apa yang telah merasukiku. Aku memang sudah berubah, bukan seperti dulu lagi ketika masih bersahabat dengan Fadhil.
       Di saat-saat terakhir saja, Fadhil menunjukkan sikapnya yang benar-benar bersahabat denganku. Sementara Fairuz yang ku anggap sahabat sejati, malah kabur tanpa peduli dengan keadaanku. Sahabat macam apa itu?!
       Mulai saat itu, anggapanku tentang arti sahabat menjadi berbeda. Sahabat sejati mungkin tak selalu hadir untuk kita, tapi dia siap selalu mendukung dan menasihati kita. Ternyata sahabat sejati itu bukanlah orang yang selalu membenarkan perkataan dan perbuatan kita. Sahabat sejati itu adalah orang yang selalu berkata benar tentang kita, berkata benar tentang perbuatan kita.



[1] Penyuka sesama jenis (untuk lelaki)
[2] Semacam olahraga extreme yang memadukan antara kekuatan serta ketangkasan gerak tubuh
[3] Kamera yang digunakan untuk mengawasi keamanan suatu gedung atau bangunan
[4] Lampu senter

Tidak ada komentar:

Posting Komentar