By : Muhammad Valdy Nur Fattah
Siapa sahabat itu sebenarnya? Yang
seperti apa kriteria seorang sahabat itu? Apakah dia orang yang selalu ada
untuk kita, atau dia orang yang selalu setia bersama kita dalam setiap keadaan?
Semua pasti memiliki kriteria tersendiri dalam menentukan siapa yang pantas
menjadi sahabatnya. Seperti persahabatanku dengan Fadhil,
sahabatku semenjak aku kecil dahulu. Namun, kisah persahabatan kami tak seindah
kisah persahabatan yang lain. Mungkin ada baiknya aku menceritakan kisah
persahabatan kami ini.
Kisah
ini dimulai dari masa kami SMA. Seperti biasa kami berada di kelas yang sama.
Sedari SD dulu kami tidak pernah berpisah sekolah, bahkan kelas kami pun selalu
sama. Sampai-sampai ada beberapa teman kami yang mengatakan kami ini adalah
sepasang gay[1]
yang memakai seragam sekolah. Betapa piciknya pandangan mereka menilai
persahabatan kami. Tapi bukan itu yang menjadi masalah dalam hubungan
persahabatan antara aku dengan Fadhil.
Saat
itu guru-guru di sekolah sedang mengadakan rapat sehingga semua siswa-siswi di
kelas menganggur. Aku punya ide untuk kabur dari sekolah dan pulang ke rumah
lebih awal sebagaimana anak-anak muda saat itu. Kebetulan aku dan Fadhil
sama-sama memiliki keahlian parkour[2]
sehingga dapat menjadi andalan kami untuk kabur tanpa bisa ditangkap oleh
petugas keamanan sekolah. Lalu aku menghampiri Fadhil dan mengajaknya untuk
kabur lewat gerbang belakang sekolah.
"Fadhil,
kita kabur yuk mumpung guru-guru lagi pada rapat. Lewat pintu belakang aja.
Dengan kemampuan parkour kita, pasti
kita bisa melompati gerbang belakang sekolah yang tinggi itu." pintaku.
"Rizal,
itu bukan tindakan yang baik. Ini bukan jam kita untuk pulang. Sebaiknya kita
menunggu dulu di sini sampai para guru selesai rapat. Jika mereka telah
mengizinkan kita pulang, kita bisa pulang tanpa repot-repot melewati gerbang
belakang sekolah lagi. Apa lu gak inget kata guru agama kita? Dulu para ulama
salaf seperti Imam Bukhari ataupun Imam Syafi'i sampai rela menempuh perjalanan
ratusan mil dalam beberapa bulan hanya demi menuntut ilmu. Apa kita gak mau
ikut jejak mereka dengan rajin menuntut ilmu? Mending kita belajar bersama-sama
saja di sini daripada pulang ke rumah." nasihat Fadhil.
"Ah
ceramah aja lu. Pengang juga nih kuping gua denger celotehan sok ustadz lu
itu!" ucapku.
"Bukan
sok menggurui begitu, tapi gua cuma pengen agar kita bisa melakukan hal-hal
yang terbaik aja daripada yang gak ada manfaatnya. Kasihan kan orang tua kita
biayain sekolah mahal-mahal, kita malah membalasnya dengan bolos sekolah,"
khutbah lanjutan si Fadhil.
Namun,
kala itu aku bersikeras ingin pulang dan kabur lewat gerbang belakang. Aku pun
memalingkan wajahku dari Fadhil. Aku mengetahui Fadhil menatapku dengan kecewa
saat aku memutuskan untuk pergi sendiri. Tapi aku tak peduli, aku hanya ingin
pulang. Toh diriku tidak merugikan siapa pun. Aku melompat dari lantai atas
sekolah ke bawah dengan menuruni sebuah tangki air. Tangki air itu tidak
terlalu dekat dengan balkon sehingga aku harus melompat untuk menggapainya.
Untung saja aku punya keahlian parkour
sehingga aku terbantu. Saat aku telah berada di bawah, aku mendongakkan kepala
dan kulihat Fadhil sedang melongok ke bawah melihatku. Aku kesal sekali
dengannya karena dia tidak mau mendengarkan aku. Aku langsung berlari ke
belakang sekolah.
Saat
berlari ke belakang, dua orang petugas keamanan memergoki aku. Dengan kaget,
aku berlari lagi menjauhi mereka. Keduanya mengejarku. Aku berlari ke arah
sebuah selokan besar di belakang sekolah yang memisahkan antara lapangan dan
gedung sekolahan. Dua petugas yang sedang mengejarku pun berhenti. Mereka
mengira aku sudah tersudut dan tak mungkin bisa ke mana-mana karena selokan itu
penuh air dan jarak antar dindingnya cukup jauh. Saat mereka mulai berpikir aku
sudah menyerah, mereka mendekatiku. Namun, aku langsung melompat sejauh mungkin
melewati selokan itu dan tanganku berhasil meraih dinding selokan di seberang
hingga kakiku hampir terpeleset jatuh ke selokan. Beruntung, dengan sekali
hentakan kakiku, aku bisa melompat ke atas dan kini aku telah berada di
seberang. Para petugas itu pun kebingungan dan tampak heran, keduanya saling
berpandangan. Keduanya tak bisa melewati selokan tersebut dan mereka berlari
untuk mencari jalan berputar. Saat itu, aku langsung berlari lagi menuju
gerbang belakang sekolah.
Aku
sudah dekat dengan gerbang belakang. Tiba-tiba, seseorang melompat dan
menghadang di hadapanku. Aku terkejut karena itu Fadhil. Dia mengejarku dengan
kemampuan parkour-nya yang setara
denganku.
"Zal,
jangan lari! Sebaiknya lu kembali ke kelas kita aja! Tidak ada gunanya lu kabur
dari sini, gak akan ada manfaatnya. Mending kita belajar bareng aja kayak
biasanya," ujar Fadhil padaku.
"Ahh...
udah bosen belajar melulu. Saatnya kita seneng-seneng, kita ini udah SMA Dhil
... bukan anak-anak lagi. Kalau lu gak mau ikut, jangan halangi gua,
minggir!" pintaku.
Aku
mencoba bergerak menuju gerbang. Akan tetapi Fadhil menahan tanganku. Aku
menepisnya, namun ia tetap mengikutiku dan menarik lenganku. Aku berusaha
melepaskan diri. Sementara itu, dua petugas tadi sudah berada di dekatku. Aku
mencoba terus memberontak agar Fadhil melepas cengkeramannya dari lenganku.
Tapi sungguh kuat cengkaramannya. Fadhil memang lebih kuat dariku sejak dulu.
Tapi
tiba-tiba seseorang menendang Fadhil hingga terjatuh dan akhirnya lenganku pun
bebas dari genggamannya. Ternyata Fairuz yang menendang Fadhil.
"Cepat
kabur! Aku yang akan menjaga dari sini." teriak Fairuz padaku. Aku pun
menatapnya, mata Fairuz serius. Aku langsung berlari ke gerbang dan hap ...
happ ... aku berhasil melompati gerbang itu. Aku melihat dari celah gerbang,
para petugas itu menangkap Fairuz dan kulihat Fairuz tersenyum kepadaku seraya
mengacungkan jempolnya. Aku pun tersenyum balik kepadanya. Aku melihat roman
kecewa di wajah Fadhil saat itu. Aku tak mempedulikannya.
Berselang
beberapa hari setelah itu, aku mendapat hukuman dari pihak sekolah. Aku kecewa,
Fadhil sama sekali tidak membelaku. Malah Fairuz yang menyemangatiku saat itu.
Fairuz bilang, "Sabar saja kawan, kita kan gak akan lama berada di sini.
Dunia bebas di luar sana masih menantikan kita. Gua akan ada untuk lu!"
Aku terharu mendengarnya, inilah sosok sahabat sejati yang selalu ada untuk
kita. Semenjak itu, aku dan Fairuz menjadi sahabat. Aku mulai menjauh dari
Fadhil.
Suatu
hari, aku melakukan hal yang sama dan kini dibantu oleh Fairuz. Lagi-lagi
Fadhil hadir di antara kami dan kembali mencegah diriku untuk kabur dari
sekolah. Akhirnya aku ketahuan dan berhasil ditangkap oleh petugas sekolah lalu
aku di-skorsing selama sepekan karena
kejadian itu. Aku amat marah pada Fadhil yang mencoba menghalang-halangiku
hingga akhirnya aku ketahuan dan terkena hukuman.
Aku
marah pada Fadhil. Aku menghampirinya saat pulang sekolah. Aku mengeluarkan
sebuah pin parkour tanda persahabatan
kami dan meletakkannya ke tangan Fadhil. Fadhil tertegun dan menatap ke arahku.
"Kenapa lu kasih pin ini ke gua? Ini kan punya lu, Zal!" tanyanya.
"Anggap saja kita gak pernah bersahabat. Gua udah gak tahan karena lu yang
gak pernah merasa empati lagi sama gua, kita akhiri hubungan persahabatan kita
selama ini. Lupakan semua masa lalu kita, gua udah punya sahabat lain yang lebih
mengerti tentang gua, terima kasih atas semuanya!" lalu aku pun pergi ke
arah Fairuz yang tersenyum melihatku. Kami pun berlalu meninggalkan Fadhil
sendirian. Tanpa terasa air mataku mengalir juga, begitu pula dengan air mata
Fadhil yang turut menetes.
*****
Waktu
telah berlalu, zaman telah berubah, seragam kami pun telah berganti. Dulu kami
berseragam sekolah, kini aku berseragam hitam-hitam sementara Fadhil telah
berganti kostum polisi. Tapi sejak hubungan persahabatan kami tidak berlanjut,
aku juga sudah tidak tahu persis bagaimana kabarnya. Aku hanya tahu kini dia
menjadi seorang polisi dari tweet di twitter-nya.
Malam
ini adalah saatnya aku menjalankan tugas dengan segala perlengkapan kerjaku.
Aku senang bisa menyalurkan bakat parkour-ku
untuk mencari nafkah, di luar pendapat sebagian orang tentang halal dan
haramnya pekerjaanku. Tapi setidaknya, hasil dari pekerjaanku ini lumayan besar
juga. Cukuplah untuk hidup layak di kehidupan metropolitan seperti ini.
Aku
telah siap menunaikan kewajibanku malam ini. Semua peralatan untuk bekerja
telah kubawa di ransel kerjaku. Beberapa menit kemudian, aku dipanggil oleh bos
agar disuruh menemui dia untuk meeting
di tempat yang telah ditentukan.
Hanya
sekitar 30 menit, aku telah tiba di tempat yang disepakati oleh kami bersama.
Selain bos, ada seorang lagi yang bersama dengannya dan ikut menungguku. Orang
tersebut tak lain adalah sahabatku, Fairuz. Bos memberikan briefing sebelum kami melakukan tugas dan pekerjaan kami agar semua
bisa berjalan lancar sesuai rencana.
Selama
beberapa tahun terakhir ini, aku melatih Fairuz untuk belajar parkour agar kami bisa saling bekerja
sama dalam menunaikan tugas dengan lebih baik. Kini kami bukan lagi sekedar
sahabat yang seia sekata, tapi juga partner kerja yang kompak.
Setelah
mendapat pengarahan dari bos sekarang kami telah siap untuk bekerja. Aku dan
Fairuz segera mendekati tempat kerja kami. Aku melepaskan dan membuka ranselku
lalu mengeluarkan isinya, yakni sebuah tali fiber
yang amat kuat. Aku memberikan tali itu kepada Fairuz. Fairuz lalu melempar
tali itu ke atas sebuah pagar baja di hadapan kami. Setelah memastikan tali itu
terpasang dengan kuat, aku pun melompat dengan lihai untuk menggapai tali
tersebut. Aku memanjat dinding baja tersebut. Sesampainya di atas, Fairuz ikut
meraih tali dan memanjat. Saat mendekati atas, aku membantunya naik. Kami
berdua kemudian melompat-lompat menuju ke arah sebuah gedung. Aku mengambil
sebuah alat pengganggu sinyal di ransel dan menempelkannya di sebuah kamera
CCTV[3]
yang ada di dekat kami. Setelah dipasang, semua kamera CCTV yang ada di gedung
pun menjadi kehilangan jaringan. Saat itulah, aku dan Fairuz melompat ke
jendela. Fairuz mengeluarkan alat pelubang kaca jendela berteknologi tinggi
dari ransel kerjanya. Kami juga tak lupa untuk memasang masker penutup wajah.
Setelah jendela berhasil dilubangi, maka kami berdua masuk secara diam-diam.
Karena
kamera CCTV telah dilumpuhkan, maka kami bisa melenggang dengan nyaman masuk ke
gedung tanpa diketahui. Drap ... drapp ... terdengar suara jejak kaki
mengenakan sepatu kulit akan melintasi lorong yang kami lewati. Fairuz
mendangakkan kepala dan melihat sebuah lubang ventilasi dan menarik bajuku
untuk memberitahukan hal itu. Aku ikut melihat. Dengan bantuan Fairuz, aku menaiki
pundaknya dan berhasil membuka ventilasi. Aku masuk ke ventilasi. Suara derap
langkah kaki orang itu semakin mendekat. Fairuz melompat ke dinding yang
mengapitnya di kanan dan kiri lalu berhasil meraih tepian ventilasi lalu segera
masuk ke dalamnya. Tak lama orang yang sedang berjalan itu melewati kami tanpa
tahu jikalau kami tengah berada di atas lubang ventilasi.
Setelah
kami melihat bahwa situasi telah aman terkendali, maka aku menghidupkan flashlight[4]
yang telah terpasang tepat di sebelah jam tanganku. Sementara itu Fairuz
mengambil kertas semacam peta denah ruangan di lantai itu. Jari telunjukku
menunjuk pada sebuah titik yang telah diberi tanda warna merah oleh bos. Lalu
kami berdua memperkirakan ke mana arah yang harus dituju untuk mencapai ruang tersebut
melalui saluran ventilasi di atas ruangan.
Kami
pun berjalan perlahan menuju ke tempat yang telah ditunjukkan oleh denah. Tak
berapa lama, kami pun telah sampai berada tepat di atas ruangan tersebut. Aku
membuka tutup ventilasi dengan hati-hati. Aku dan Fairuz melongok ke bawah dan
melihat ada sebuah brankas dari besi yang berada di tengah-tengah rungan itu.
Namun nampak sekali di sekitarnya terdapat sinar-sinar laser yang digunakan
untuk melindungi brankas tersebut dari pencuri. Kami berdua mengerti bahwa kami
harus berhati-hati agar tak sampai menyentuhnya. Karena salah satu dari anggota
tubuh kami menyentuhnya, maka laser itu bisa memotong tubuh kami. Selain itu,
laser tersebut merupakan sensor yang dapat memicu alarm untuk berbunyi.
Aku
telah mengikatkan tubuhku pada tali fiber
yang kami bawa sebelumnya. Dengan bantuan Fairuz yang memegangi tali tersebut
dari atas. Aku pun bergantungan perlahan. Dalam hatiku, aku bergumam, "Ini
seakan melakukan aksi di film Mission
Impossible. Ini memang impianku semenjak dahulu untuk beraksi seperti
ini." Tampak senyumanku menyungging di pipi.
Di
atas, pada lubang ventilasi, Fairuz membantu menurunkanku ke bawah dengan
perlahan-lahan sekali. Aku semakin mendekati brankas, namun aku harus
berhati-hati dengan sinar laser yang mengerubunginya. Saat itu, aku kebingungan
bagaimana cara agar bisa melewati laser. Sementara itu Fairuz mengecek jam
tangannya dan juga alat pelacak gerakan di sekitar ruangan tersebut. Ada
beberapa gerakan yang sedang menuju ke tempat kami. Fairuz mulai panik dan
pegangannya semakin mengendor. Aku pun terkejut merasa semakin turun ke bawah,
padahal hanya dalam jarak hitungan senti saja, kakiku bisa hilang jika
tersentuh sinar laser. Aku menatap ke Fairuz dan tampak ia sedang berusaha sekuat
tenaga untuk menahan tali tersebut dan menariknya dengan alat yang telah
terpasang di bagian tengah tali. Awalnya tali itu perlahan tertarik ke atas.
Namun karena tangannya, tali itu lepas dan kembali menurun. Tubuhku melesat ke
bawah. Untungnya ketika kakiku hampir menyentuh laser, Fairuz berhasil menahan
tali itu dengan alatnya. Hufff... hampir saja!
Aku
memutuskan untuk berayun pelan ke depan dan ke belakang untuk meraih sebuah
pegangan di dinding ruangan. Setelah beberapa lama aku berayun, aku berhasil
memegang sebuah lengkungan-lengkungan horizontal di dinding. Aku pun menapakkan
kakiku ke sudut lengkungan yang ada di bawah kakiku. Dari situ aku melompat
dengan sangat hati-hati menuju ke tombol-tombol yang dapat mematikan sinar
laser itu. Tombol-tombol itu ada di pinggir-pinggir ruangan. Dengan kelenturan
dan kelincahanku, aku berhasil mematikannya satu per satu. Hampir semua laser
telah kumatikan, hanya tinggal satu yang tersisa.
Fairuz
melihat lagi ke alat pelacak gerakannya, tampak seseorang sudah amat dekat
dengan pintu masuk ruangan. Fairuz pun panik dan tak sengaja melepaskan tali
yang menggantungku. Dengan cepat tubuhku meluncur ke bawah dan sepatu kiriku
mengenai laser sedikit dan terbakar. Jantungku terpacu cepat, perasaanku tak
karuan. Sedikit lagi aku hampir kehilangan kakiku. Mataku membidik ke arah
Fairuz seraya memberi kode kepadanya agar lebih berhati-hati. Fairuz hanya
mengangguk pelan mengiyakan.
Karena
tinggal satu laser saja, maka aku mengayunkan tubuh ke bawah dengan mudah. Aku
memencet tombol untuk mematikan sinar laser yang tersisa. Aku langsung menuju
ke brankas. Tanganku membuka brankas itu dengan membaca kode yang telah
diberikan oleh bosku. Tiba-tiba seseorang masuk ke ruangan itu. Aku kaget dan
bergegas mengambil permata yang ada di dalam brankas. Aku memberi kode pada
Fairuz untuk menarikku ke atas.
"Hei,
jangan lari kalian! Dasar pencuri bejat!" teriak orang tadi sambil berlari
keluar untuk mengejar kami yang masih berada di saluran ventilasi di atas.
Aku
dan Fairuz langsung turun dari lubang ventilasi. Baru beberapa detik kami
menapakkan kaki kami di lantai, orang yang tadi telah membawa beberpa petugas
keamanan gedung untuk menangkap kami. Kami berdua langsung menuju ke jendela.
Kami terjang jendela tersebut hingga pecah berantakan. Saat kami berada di
luar, tak ada jalan lain. Kami terpojok. Kami lari ke arah jendela yang di
sebelahnya lalu turun ke jendela di bawahnya dengan kemampuan parkour kami. Para petugas pun
kebingungan. Mereka buru-buru ke bawah dengan lift.
Di
lantai 3, mereka berhasil memergoki kami lagi. Aku dan Fairuz kembali melompati
balkon-balkon. Dan saat mereka telah begitu dekat, aku mengarahkan pandanganku
ke atap sebuah gedung yang berada di seberang gedung itu. Jarak atap itu dari
balkon memang cukup jauh. Para petugas itu semakin dekat dan mereka menganggap
kami sudah tersudut. Tetapi aku memberi isyarat kepada Fairuz dan kami berdua
pun melompat ke atap gedung di seberang itu. Jemari kami berhasil menangkap
tepi dari atap, tapi kami hampir terjatuh. Namun aku dan Fairuz menghentakkan
kaki kami dan melompat ke atas. Kami berhasil! Para petugas keamanan hanya
tercengang diam tak mampu berbuat apa-apa. Lalu patugas yang lain menelepon
polisi untuk meminta bantuan.
Aku
dan Fairuz berlompat-lompat di atas atap itu menjauhi petugas keamanan itu.
Hanya dalam hitungan menit, terdengar suara sirine polisi menggaung keras di
sekitar kami. Cahaya-cahaya mengitari kami yang masih berada di atas atap
gedung. Aku tak peduli, kami terus melanjutkan pelarian kami. Beberapa polisi
telah naik ke atas atap gedung dan berteriak memberikan peringatan untuk kami.
Kami terus berlari. Kami mendengar suara tembakan ke atas yang keras memberi
peringatan kedua, tapi kami tetap tak menggubrisnya.
Polisi
itu mulai mengejar kami dan menembaki kami dari belakang. Tapi kami cukup
beruntung dapat terhindar dari tembakan-tembakan itu dengan aksi parkour kami. Seseorang yang tak aku
lihat wajahnya, tiba-tiba menahan senjata dari teman polisinya yang lain. Lalu
dia berlari mengejar kami dengan kemampuan yang sama (parkour).
Saat
kami melompati gedung, polisi itu pun berhasil melompati gedung juga. Saat kami
melakukan salto untuk melewati pipa yang menghalangi, polisi itu juga bisa
melakukan dengan sempurna. Aku jadi teringat seseorang yang begitu mahir
melakukannya sama sepertiku. Aku jadi penasaran dengan polisi ini. Aku tak
berani menghadap ke belakang, khawatir dia membawa senjata dan menembak.
Akhirnya
polisi itu pun bersuara, "Berhenti! Sebelum aku melepaskan tembakan!"
Aku
dan Fairuz pun berhenti sejenak. Aku memutar kepalaku menghadap ke arah polisi
itu. Alangkah terkejutnya aku, dugaanku memang benar. Itu memang Fadhil dengan
seragam polisi yang lengkap sedang mengacungkan pistolnya ke atas. Tak mau
berlama-lama, aku dan Fairuz berlari lagi menghindarinya. Dan desingan peluru
pun mulai berderai menuju ke arah kami berdua. Dengan sekuat kemampuanku, aku
mencoba terus menghindar dan berlari. Peluru tersebut belum ada yang mengenaiku
satu pun. Tetapi ketika aku akan melompati atap lagi, Fadhil telah berada cukup
dekat denganku. Fairuz melompat duluan dan telah berhasil mencapai atap
seberang. Giliranku untuk melompat, sayang peluru Fadhil menembus daging di
kaki kiriku. Darah keluar dari kakiku. Aku pun terjatuh.
Seketika
Fadhil menghampiriku lantas ia membuka penutup wajahku. Fadhil nampaknya kaget
dan tak menyangka. Ia tertegun sekali melihatku.
"Ri...
Rizal... E... Elu... Kenapa bisa di sini? Kenapa lu sekarang jadi pencuri
seperti ini? Ini kan pekerjaan kotor dan dilarang ALLAH Subhanahu wa Ta'ala?
Innalillahi wa inna ilaihi raji'un..." ucap Fadhil kepadaku.
Aku
menimpalinya, "Ahh... masih aja lu sok jadi ustadz, banyak bacot lu! Udah
puas kan lu nembak kaki gue?!!"
"Masya
ALLAH, Zal. Gua aja gak tahu kalo ini elu. Maafin gue, tadi gua udah berusaha
ngasih peringatan, tapi lu gak mau denger. Terpaksa gua tembak kaki lu! Lu gak
apa-apa?" tanya Fadhil dengan sopan dan merasa bersalah padaku.
"Gak
apa-apa gimana? Darah gua aja udah muncrat ke mana-mana! Lu buta apa?!!"
kesalku.
"Baiklah
kalau memang lu gak terima, lu bisa gantian nembak gua sekarang! Maafin gua...
sahabatku!" ucapnya seraya menyinggahkan pistolnya ke tanganku.
Aku
bingung dengan sikapnya ini. Aku memegang pistolnya dengan penuh emosi. Rasanya
ingin langsung aku ledakkan tempurung kepalanya itu. Rasa sakit ini telah
merasukiku. Aku tak tahan dengan sakit ini. Aku mengarahkan pistol itu ke
Fadhil, tepat di hadapan wajahnya.
"Jika
memang membunuh gua, bisa menghapus dendam lu selama ini. Gua akan serahin
kepala gua ini agar bisa leluasa lu tembak. Gua janji gak akan ngalangin lu
untuk itu. Tapi sebelum lu ngancurin kepala gua, gua cuma pengen minta satu hal
sama lu," pinta Fadhil.
Aku
bingung harus bagaimana, "Apa yang lu mau?"
"Gua
cuma minta agar hati lu mau maafin gua dan tetap nganggap gua sahabat walau
banyak perbedaan di antara kita! Bisa gak?" tanya Fadhil lagi.
Aku
cuma mengangguk dengan gugup, tapi tak terasa air mataku mulai meleleh
perlahan.
"Dan
ini...," Fadhil sempat ingin mengucap sesuatu sambil tangannya merogoh ke
arah kantong di balik bajunya. Aku kaget dan mengira ia menipuku dengan
menyembunyikan pistol lain di balik bajunya dan berupaya menembakku. Daripada
dia menembakku, sebaiknya aku yang menembaknya duluan. Lalu DUARRR...
DUARRR...!!!
Cairan merah kental mengucur di kepala
Fadhil. Tubuhnya tergeletak tak berdaya ke tanah. Dia tersungkur bersimbah
darah. Sebuah lubang besar menembus tempurungnya. Tanganku gemetar sesaat aku
menghempaskan peluru itu ke arah kepala Fadhil. Aku tak menyangka aku bisa
menembaknya seperti ini.
Aku
melihat tangan kanannya masih berusaha mengambil sesuatu yang nampaknya pistol
dari balik bajunya itu. Saat itu, aku coba meraih tangannya. Penasaran, diriku
ingin melihat apa sebenarnya yang ada di balik bajunya itu. Betapa shock diriku saat mengetahui ternyata
yang ingin dia keluarkan bukanlah pistol. Sesuatu yang membuatku merinding
takut, merasa bersalah, dan bergidik tak percaya. Pin parkour tanda persahabatan kami. Yang pin persahabatan kami yang
masih dia simpan sedari dulu. Pin persahabatan yang aku kira adalah pistol,
kini telah membuatku kehilangan seorang sahabat lamaku.
Aku
menatap ke arah Fairuz, tapi dia malah diam saja. Sementara itu para polisi
yang mendengar suara tembakan itu, kini telah berada di atas dan bersiap
menangkapku. Aku hanya bisa diam. Aku memandang Fairuz kembali, tapi kini dia
memalingkan wajahnya dariku. Dia lari bersama raselnya yang telah berisi
permata hasil curian kami berdua. Fairuz kemudian hilang di kegelapan dengan
kemampuan parkour yang ku ajarkan.
Polisi langsung membekukku. Aku dibawanya pergi dari situ.
Aku
melihat tajam ke jasad kaku Fadhil. Mataku meneteskan air mata dengan derasnya.
Seandainya bisa aku ungkap rasa bersalahku, rasa penyesalanku dan rasa sedihku.
Aku tak tahu apa yang telah merasukiku. Aku memang sudah berubah, bukan seperti
dulu lagi ketika masih bersahabat dengan Fadhil.
Di
saat-saat terakhir saja, Fadhil menunjukkan sikapnya yang benar-benar
bersahabat denganku. Sementara Fairuz yang ku anggap sahabat sejati, malah
kabur tanpa peduli dengan keadaanku. Sahabat macam apa itu?!
Mulai
saat itu, anggapanku tentang arti sahabat menjadi berbeda. Sahabat sejati
mungkin tak selalu hadir untuk kita, tapi dia siap selalu mendukung dan menasihati
kita. Ternyata sahabat sejati itu bukanlah orang yang selalu membenarkan
perkataan dan perbuatan kita. Sahabat sejati itu adalah orang yang selalu
berkata benar tentang kita, berkata benar tentang perbuatan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar