Oleh:
Aisyah Safitri Hayati
Sesudah
pulang bekerja, meskipun jam sudah menunjukan pukul 20.55 WIB. Ia sempatkan
pergi ke Cileduk untuk mengantarkan album pernikahan temannya. Pikirnya kapan
lagi ia bisa mengantarkannya, besok ia harus bekerja, dan pulang malam. Apalagi
ini kali pertama ia mendapat job foto wedding. Pikirnya ia tidak ingin
mengecewakan temannya, pelanggan pertamanya itu. Profil massage ia ganti “Otw
Cileduk anter jepretan wedding my friend”
Tiba-tiba handphone dikantong
celananya bergetar, pesan dari Rahma, teman dekatnya.
“PING!!!”
“PING!!!”
“PING!!!”
“Kek..”
“Kalo
kita nikah siapa yg fotoin”
“Kan
tukang fotonya jadi pengantin”
Selesai
membaca ia hanya tersenyum dan membalas pesan Rahma.
“Hehehehehehe..”
Lalu,
secepat kilat Rahma membalas.
“Ketawa
doang gak bisa ngasih solusi tau!”
Setelah
membaca, ia membalas “Aku lagi djalan”, Ishak mengharu biru jika gadis
pujaannya itu khawatir padanya. Dan seperti biasa Ishak selalu berteka-teki
padanya, Pikirnya ia akan memberikan kenyataan yang indah untuk Rahma, namun
bukan saatnya. Karena dalam waktu dekat ini uang yang dikumpulkan untuk
menikahi Rahma akan terkumpul, ia benar-benar tak sabar menunggu hari itu. Lalu ia langsung tancapkan gas kembali.
Sampai
di Cileduk, belum sampai digang rumah
temannya, ia melihat ada lima unit mobil pemadam kebakaran. “Astagfirullaaladzim,
ada apa ini” Ishak membatin. Lalu ia secepat kilat memarkirkan motornya di
pinggir jalan, dan berjalan dengan langkah lebar menuju gang rumah temannya.
Waktu
jam tangannya, sudah menunjukan jam sepuluh lebih seperempat jam. Ia melihat
pemandangan yang mengerikan, kepulan asap hitam, dan api bermain ayunan di
rumah-rumah, termasuk diatas rumah temannya. Tangisan dan jeritan terdengar
melengking diudara. Petugas pemadam, dengan sekuat tenaga mendorong dan
sesekali mundur mengusir api itu dengan selang besar.
“1,2,3,
semprot…” teriak salah satu komando petugas pemadam.
“Mundur…”
teriak lagi. Karena ada ledakan, serta api berkobar-kobar diayun oleh angin
malam.
Ia
bingung, berusaha mencari temannya dari kerumunan korban kebakaran. Ia melihat
ada seorang ibu yang pingsan yang dibiarkan begitu saja, anak-anak menangis.
Begitupun seorang kakek, ia menangis seperti anak kecil yang kehilangan
mainannya.
“Astagfirullahaladzim..”
Ia berulang-ulang beristigfar dalam hatinya, sambil mencari-cari sosok
temannya. Dan ia pun tertuju pada lelaki yg menaruh kepalanya pada tangannya,
ia menangis terisak-isak.
“Na,
maulana…”
“Maulana,
ini aku Ishak..!”
Lalu
ia mengangkat kepalanya dari tangannya, ia mengusap hidung dan matanya,
langsung ia peluk Ishak dengan erat.
“Rumahku,
Is, rumahku habis..” Maulana sambil menangis dipundak Ishak.
“ Istigfar, na, Istigfar!” Sambil merangkul
erat Maulana.
“Mana
Isterimu?” Tanya Ishak.
“Dia
masuk shift malam.” jawab Maulana.
“Isterimu
belum tau?” tanya Ishak.
“Belum.”
Jawab singkat Maulana.
Akhirnya
pukul dua puluh empat lebih lima menit api berhasil dipadamkan, korban
kebakaran sementara ditampung disebuah masjid di seberang jalan. Karna belum
ada tenda penampungan.
Ishak
mengurungkan niat’tuk pulang ke rumah,
ia memilih menemani temannya tidur di masjid dengan korban lainnya. Paginya,
isteri Maulana pulang.
“Mas,
kenapa tidak memberi kabar?” tanya isteri Maulana.
“Mas,
bingung de.” jawab maulana sambil memegang erat tangan isterinya.
“Kenapa
bingung?, mas ‘kan tidak melakukan dosa, ini musibah mas, cobaan untuk keluarga
baru kita” Isterinya tersenyum tanpa beban.
Melihat
isteri Maulana ia ingat dengan Rahma. Ia benar-benar ingin cepat-cepat menikahi
gadis pujaannya itu. Gadis yang ceriwis yang selalu menaruh kekhawatiran pada
dirinya yang kerap tak memberi kabar, gadis yang mengerti ketika ia sedang
sibuk, gadis yang peduli dan tak menuntut apa-apa. Tiba-tiba ia ingat dengan
perkataan gadis itu ketika ia dalam keadaan sakit.
“Saya
tidak minta lebih dari kamu, kecuali kesembuhan kamu. Tolong jaga diri kamu
baik-baik karena aku begitu mencintai kamu.” kala itu Rahma mengucapkannya
begitu lembut tanpa menoreh pada wajahnya. Sikap seperti itu yang membuatnya tersenyum
sendiri. Tiba-Tiba, ia dikagetkan Maulana.
“Is,
aku minta tolong, pinjamkan aku uang untuk modal jualan, dagangan sembakoku
ludes terbakar” Maulana memelas.
“Iya,
insya Allah aku pinjamkan besok.” jawab Ishak.
“Saya,
pamit mau langsung kerja.” Ishak.
“Iya,
Sob terima kasih” Maulana sambil merangkul Ishak.
Sepanjang
perjalanan ia memikirkan pinjaman untuk Maulana. Ia bingung harus mengurungkan
rencana menikah atau pesantrenin adiknya. Ia memang sudah lama menyiapakan uang
untuk dua rencana itu. Keputusan yang sulit, baginya maulana adalah sahabat
sekaligus saudara untuknya. Pikirnya dia harus menolong, karena saat ibunya
sakit maulana selalu membantu pengobatan ibunya.
Ishak
adalah pemuda yang kreatif, Ia menyukai dunia fotografer. Impiannya adalah mendirikan
sekolah fotografer gratis untuk kaum marjinal. Ia bekerja sebagai fotografer di
salah satu stasiun televisi yang baru
launching tahun kemarin.
Selepas
bekerja, ia kerap memikirkan masalah Maulana menginai pinjaman uang. Pikirannya
terlintas pinjam pada Nurhalimah, adik keduanya yang baru bekerja tiga bulan
sebagai recepsionis di salah satu Bandara di Jakarta. Sontak ia ingat dengan
rencana adiknya, yang sedang mengumpulkan uang muka untuk mengkredit motor,
akhirnya ia mengurungkan niat meminjam uang pada adiknya.
“Apa
yang dapat saya lakukan, ini diluar rencana saya, dan Allah memberi jalan
seperti ini.” Ishak membatin. Pikirnya, apa yang ia kumpulkan selama ini
berarti Allah maksudkan bukan untuk
menikahi Rahma, atau pesantren untuk adiknya.
“
Menikah atau Pesantren ya?” Ishak pikir ulang.
“
Menikah dengan Rahma adalah sebuah pilihan, sedangkan pesantren untuk adik saya
adalah tanggung jawab saya sekarang,
begitupun menolong seorang sahabat yang begitu membutuhkanku” Ishak menemukan
jawabanya. Akhirnya satu tabungan yang semula ia rencanakan untuk menikahi
Rahma, ia pakai untuk menolong sahabatnya.
Pagi-pagi
ia meluncur ke penampungan kebakaran, ia menemui Maulana. Akhirnya ia mengambil
uang yang mulanya untuk rencana menikah dengan Rahma ia serahkan ke Maulana.
“Banyak
sekali Is?” Maulana kaget.
“Sudah
pakai saja, kamu membutuhkannya na!” Pungkas Ishak
“Hmmmm, saya memang membutuhkannya, tapi saya
takut tidak bisa mengembalikannya uang sebanyak ini.” jawab Maulana ragu.
“Sudahlah,
pakai saja, urusan mengembalikan nanti Allah yang ngatur” jawab Ishak sambil
menelan ludah.
“Ahhh,
tidak Is, saya takut.” Jawab Maulana sambil menyerahkan uangnya ke Ishak.
“Tidak
apa-apa tidak perlu takut, saya ikhlas na” Ishak.
“Subhanallah,
Is kamu benar-benar mau membantu saya.” Maulana terharu.
“Iya
na” Ishak.
“Terima
kasih Ishak, terima kasih..!” Maulana dengan mata mengandung air.
Akhirnya
Ishak yakin dengan keputusannya memberi uang tabungan pernikahannya untuk
maulana. Ia lebih memilih mempertahankan uang tabungan untuk anas adik
bungsunya.
Setelah
seharian bekerja ia kembali ke rumah. Hari ini ia pulang cepat, karena besok libur.
Ia berbaring sejenak di sofa ruang tengah, ia tak nafsu makan. Pikirannya tak
karuan, carut marut. Pikirannya merangkun antara kemarin dan hari ini hanya
selisih sehari. Perasaannya berbeda drastis bahagia dan sedih.
“Begitu
cepatkah Allah mengambil kebahagian itu!” Pikirnya layaknya manusia biasa.
Lantas ia berfikir.
“Maulana
kebahagiannya terbakar dalam hitungan detik, hah sudahlah ini cobaan!” batin Ishak.
Dia terdiam mematung seperti disulap penyihir. Ia membenarkan yang terlintas
pada dirinya.
Tak
mau lama-lama mematung dan meratapi nasibnya, ia langsung menuju kamar dan
mengambil handuk baru dilemarinya. Tiba-tiba matanya melirik sebuah catatan
yang ia tempel dua tahun yang lalu, catatan itu dari Rahma.
Mimpi Baruku
Oleh: Rahma Abbasyir
Teruntuk mimpi baruku Muhammad
Ishak
Mimpi Baruku, aku lebih lama
mengenalnya yaitu cinta lama yang tertunda karna usia dini. Aku mengerti bagaimana
ia diam karna marah. Ia benar-benar tergores karna sebuah ucapan yang tak
berarti. Kata-kata jalang di lontarkan orang terkasih lebih menyakitkan
daripada musuh yang melontarkan. Dan aku paham setelah aku beranjak dari usia
dini. Sebelumnya cuma satu yang ku pegang dari diammu yaitu kejahatan. Aku
benar-benar menggali menggali luka begitu dalam. Bukan karena diamnya, tapi aku
menaruh cinta yang begitu banyak. Aku mulai menerima ketika ia memberi sebuah
keputusan. Rasanya jauh lebih baik dari diamnya selama seminggu, rasanya
seperti seribu tahun. Dan benar Tuhan sudah menetapkan hari ini untuk kita.
Bagimana kita dipertemukan tanpa scenario manusia. Ini murni tangan Tuhan. Aku
jauh lebih baik mengenalmu dari usia dini dulu. Kau seperti dipersiapkan menjadi
raja, dan aku ratunya. Kau, adalah mimpi baruku, cinta lama yang tertunda karna
sikap kekanakanku. mari bersama-sama menyelesaikan asa yang sempat tertunda.
Jadikanlah aku jawaban dari tiap persoalanmu.
Rahma
memang berbeda dari sebelumnya, dulu yang tomboy, mau menang sendiri, sedikit
urakan. Kini ia terlihat manis, karena sifat perempuannya kian tumbuh pada
dirinya. Lembut, sopan dan peduli dengan sekelilingnya. Ishak dan Rahma sempat pacaran tapi karena sifat
Rahma yang kanak-kanak dan terlalu protektif, Ishak meninggalkannya. Itulah,
kemungkinan Ishak meninggalkan Rahma dulu. Setelah, membaca catatan Rahma,
Ishak ingat ketika ia dipertemukan lagi dengan cara tak sengaja. Kala itu ada
sebuah seminar Amazing Al-Quran,
secara kebetulan mereka berdua berada dalam seminar tersebut.
Pada akhirnya Ishak mengajak pulang
bersama, dan hal yang paling mengherankan rumahnya saling berdekatan.
“ Sudah berapa lama kamu tinggal
disini?” Tanya Ishak.
“ Hampir 2 tahun ka.” Jawab Rahma.
“ Wah, memang jodohnya hari ini ya,
saya tinggal depan gang rumah kamu mah sudah lebih 2 tahun lagi”
“Hihihihihihihi…” Rahma tertawa
kecil sambil menutup mulutnya.
Adzan Isya berkumandang, menyadarkan
Ishak dari lamunan tentang Rahma, ia segera mandi dan menuju masjid dekat rumahnya.
Setelah shalat di masjid, ia lebih
memilih berbaring di kamarnya, lalu ia membuka handphonenya, dan melihat personal message Rahma “ Setelah On air langsung tancap ke RS. Adella”
Ia
ingin menanyakan pada Rahma, mengenai statusnya itu namun ia takut. Akhirnya
memilih tidak bertanya pada Rahma.
“Siapa yang sakit yaa?” Membatin
Ishak. Tiba-tiba ia melihat recent update,
Rahma changed display picture. Ia terlihat foto dikamar rumah sakit dengan
seorang perempuan yang menggendong bayi.
“Oh, temannya melahirkan.” membatin Ishak
Ishak tidak bisa tidur, jam dinding
dikamarnya berbunyi menunjukan pukul satu. Paginya.
“Is
bangun is, sudah jam 5” ibu Ishak.
“Ayo bangun, biasanya subuh solat di
masjid” ibu.
“Ahhh….” Ishak segera menggulung
selimutnya.
“Semalam Ishak susah tidur bu, jadi
kesiangan” jawab Ishak sambil menggerakan tanganya.
“Yaudah sana solat dulu!” Ibu.
“Iya bu.”Ishak
Ishak adalah anak pertama dari tiga
bersaudara, Ayahnya sudah meninggal lima tahun yang lalu, saat ia baru semester
pertama. Semenjak itu, ia menjadi kepala rumah tangga. Ia kuliah sambil bekerja,
untuk biaya kuliah dan sekolah untuk kedua adiknya. Ibuny membuat kue kering
yang dititipkan di toko kue di pasar-pasar.
Setelah solat subuh, Ishak mendapat
sebuah pesan.“Assalamualaiku, kek..” Pesan Rahma
“Walaikumusalam,
nek” balas Ishak
Pada masa itu memang pasangan muda
yang belum menikah sudah memanggil dengan sebutan pipi mimi, mami papi, mama
papa. Tapi berbeda dengan Rahma dan Ishak. Mereka berdua mengambil nama panggilan
yang unik yaitu kakek dan nenek. Lalu Rahma kembali membalas pesan.
“
Aku buat puisi untuk kamu kek, judulnya rindu. Pesan Rahma.
Rindu: Bagaimana aku bisa
mengatakan kerinduan padamu. Kerinduan itu hanya pada pemilik yang berikar. Dan
kau belum melakukannya untukku. Simpulnya, meski kau tak pernah mendengar
kerinduanku. Hakikatnya aku menanam kerinduan pada satu titik dan letak akarnya
pada hati. Ia tumbuh sampai buahnya masak lalu berjatuhan, ketika kau
tersenyum. Dan sampai saatnya tetap seperti itu. Akan kusemat semua rasa yang
dititipkan Tuhan, bukan ,menjajaki tapi menjaga hati untukmu.
Membaca puisi dari Rahma, Ishak menyeka
matanya. Ia tidak membalas pesan dari teman dekatnya itu. Ia menutup diri,
menunjukan bahwa ia tidak merindukannya. Padahal dalam lubuk hatinya yang
paling dalam ia benar ingin segera menikahi Rahma. Akan tetapi apa daya, entah
apa yang harus dilakukannya.
Hari berganti hari Ishak tidak
pernah membalas pesan Rahma, lantas Rahma memberikan pesan seperti biasa
seperti mengingatkan solat dhuha, ia menganggap seperti tidak ada apa-apa.
Pikirnya, Ishak sedang sibuk atau ia sedang menjaga kehormatanku dengan tidak
membalas pesan, pikir Rahma.
Akhirnya yang ditakutkan Ishak, pada
akhirnya terjadi. Rahma mengajak bertemu, katanya ada satu hal yang dibicarakan
penting. Ia takut menyakiti perasaan Rahma, ia benar-benar mencintai Rahma.
Sore itu, di sebuah taman kota terletak
di jantung Jakarta, Ishak menepati pertemuan yang diminta Rahma.
“Assalamualaikum..” Rahma tersenyum
manis.
“Walaikumusalam..” Ishak menjawab
dengan raut wajah yang tak semangat.
“Kek, aku tak bisa mengendalikan perasaan
apa yang Allah berikan selama dua tahun ini.” Pungkas Rahma.
“ Kapan, kamu main ke rumah setidaknya
sambil menunggu uang yang terkumpul, kamu main ke rumahku. Coba bicarakan
hubungan kita pada ayah.” pinta Rahma.
“ Dan kapan kamu akan mengajak aku
ke rumahmu, meski ibu sudah mengenalku, tapi kapan kamu akan mengenalkan aku
pada ibumu, bahwa aku pilihanmu, calon isterimu?” Rahma penuh harap.
Ishak diam seribu bahasa.
“ Kamu kenapa?’ tanya Rahma cemas.
“Tidak, apa-apa aku hanya bingung apa
yang kamu bicarakan, benar-benar aku tak mengerti Mah” Ishak membohongi Rahma.
Mendengar Ishak berbicara seperti
itu, Rahma sontak kaget.
“ Masya Allah, apakah selama dua
tahun yang ku tunggu-tunggu ini hanya sebuah harapan semu?” Tanya Rahma.
“ Apakah kamu lupa, kamu mengatakan
kamu menyanyangiku lebih dari apapun hanya saja belum siap menikah karena
masalah uang. Dan kamu katakan akan mengumpulkannya untuk menikahiku.” Pungkas
Rahma.
“Tidak, nek maafkan aku setelah di
pikirkan sepertinya aku tidak mencintaimu, maafkan aku.” Ishak memaksa
mengatakan hal yang demikian.
“Kau tega sekali kek!” Rahma menangis.
“Tahukah, aku menjaga semua rasa ini
sudah dua tahun, dan aku mengungkapkan dan mengajakmu berta’aruf karena aku
benar-benar siap menikah, kalau tidak aku tidak akan seperti ini” Rahma marah.
“Kenapa kau tidak mengatakannya
sedari dulu, aku tak tahu apa-apa. Aku cuman menganggapmu teman tidak ada lebih
perasaan padamu”. Pungkas Ishak membohongi dirinya sendiri dengan nada keras.
“Aku kira, kamu lelaki yang baik,
tahu syariat Islam!. Bagaimana aku mengatakan semua hal tentang perasaanku. Sedangkan
aku belum siap untuk menikah.” Rahma membalas dengan nada meninggi.
“Apa kamu benar-benar tak
mengetahui, mendahului kata mencintai dan merindu kepada lelaki bukan muhrim
sama halnya aku menjatuhkan harga diriku.” Rahma tegas, lalu ia pergi begitu
saja.
Ishak
hanya diam, tak berbicara sepatah kata pun, membiarkan Rahma.
*****
Setelah hampir Rahma melupakan kejadian itu ia menemui
sesuatu yang di luar segala dugaannya. Ia baru saja pulang dari Belanda menyelesaikan S2 jurusan hukum di Universiteit Leiden.
Ia menemukan sosok yang dikenal
Nurhalima adik Ishak, saat bertemu Ia berusaha pura-pura tak melihatnya. Namun,
Nurhalimah tercengan dan memanggilnya.
“Kakk…!”
“Kak Rahma…! Nurhalimah teriak.
Rahma
mempercepat langkahnya, namun gadis itu dapat
mengelabui langkahnya.
“Kak, apa kau lupa dengan Imah..?”
tanya Nurhalimah dengan nafas tersenggal-senggal.
“Hmmmmm, Ingat Imah..” Jawab Rahma
sambil menorehkan senyum memaksa.
“ Kak, kenapa kakak menghindar
melihat Imah?” Nurhalimah.
“Tidak sayang, tadi kakak tidak
lihat kamu.” Rahma sambil memegang pundak Alimah.
Akhirnya keduanya memilih mengobrol
duduk di sebuah café di Bandara.
“ Kak, kak Ishak ke Sydney sudah
delapan bulan. Dia mendapat beasiswa master Documentary
Photograpy.” jelas Nurhalimah.
“Syukurlah kalau begitu Imah, kakak
mendengarnya ikut senang.” Jawab Rahma.
“ Kak, kenapa kakak tidak memberi kabar
pada ka Ishak, tentang study ke
Belanda kakak?” tanya Halimah.
“ Saat itu memang tidak direncanakan
untuk melanjutkan master ke Belanda, meskipun kakak tahu mendapatkan beasiswa.
Kakak lebih memilih ingin menikah dengan kakakmu. Tapi sayang, kakak kamu tidak
mencintaiku. Akhirnya kuputuskan pergi ke Belanda, mengambil beasiswa.” Jelas Rahma
dengan mata berkaca-kaca.
“Tidak, kak Ishak bohong, dia bukan
tidak mencintai kakak. Tapi uang untuk menikahi kakak terpakai untuk menolong temannya
yang rumahnya terbakar.” Jelas Nurhalimah.
“Apaaa…?” Tanya Rahma menggantung.
“Ini no kak Ishak, coba hubungi dia
kak!” suruh Nurhalimah.
“Tidak, Imah. Ini sudah terlanjur.
Biarlah Tuhan yang mengingikan kami kembali, bukan campur tangan manusia!”
tegas Rahma.
******
Bandung, ada suara jangkrik sedang
bercakap berisik. Sayup-sayup terdengar merdu lantunan ayat suci al-Quran dari
masjid dekat rumah nenek Rahma. Sekejap ia ingat sedang berbaring di kamarnya
menunggu adzan magrib. Ia sedang ada tugas di Bandung, pikirnya dari pada
menginap di hotel. Ia lebih memilih menginap dirumah neneknya.
Senandung ayat al-Quran menghilang,
tiba-tiba terdengar suara mengucapkan salam mengetuk pintu.
“Tok-tok..”
“Assalamualaikum….”
“Walaikumusalam......”
Suara itu ia seperti mengenalnya,
namun tidak bisa ia jangkau. Nenek membuka pintu dan mempersilakan masuk.
“Siapa yang bertamu magrib-magrib?”Rahma
membatin.
Tiba-tiba nenek mengetuk pintu kamar
Rahma.
“ Itu teman kamu datang dari
Jakarta, tapi dia ke masjid. Katanya abis shalat magrib dia kesini lagi” Nenek.
“Siapa nek, namanya?”
“Oh iya nenek lupa menanyakan
namanya siapa!” Nenek.
Setelahnya suara adzan berkumandang
bersahutan, ia pun segera mengambil wudhu dan segera menunaikan shalat magrib. Selesai,
ia membaca al-Quran dengan tartil. Rahma keluar.
“Nek, mana temanku dia belum
datang?”Rahma.
“Sudah, tapi dia balik lagi ke
masjid karena dia mendengar kamu membaca al-Quran. katanya, ba’dah isya kesini
lagi.” Nenek.
“ Oh, begitu!, nenek sudah tanya
siapa namanya?” tanya Rahma.
“Ohh iya, nenek lupa tanya nama temanmu
itu lagi!” Nenek.
Rahma hanya tersenyum, melihat nenek
yang sudah pikun.
Setelah menunaikan shalat isya, Rahma
memilih membaca buku dikamar. Tiba-tiba nenek mengetuk pintu, memberi tahu
temannya sudah datang.
“Kamu temui temanmu, nenek buatkan
minum dulu.” nenek.
“Baik, nek.” Rahma.
Rahma
menuju ruang tamu, namun ia tak menemukan temannya itu. Di halaman muka rumah
terdapat kolam ikan dengan pancuran buatan. Dan ia menemukan sosok lelaki
berambut panjang sebahu mengenakan kupluk biru muda stelan jeans dan kaos serta jaket hitam
casual. Perawakannya tinggi berisi.
“Assalamualaikum..” salam Rahma.
“Kenapa menunggu diluar?” tanya
Rahma.
“Di dalam terasa panas, jadi saya
pilih menunggu diluar!”. Jawabnya sambil menoleh.
“ Isshaak..” Rahma.
“Kapan kau pulang?” Rahma sambil
memukul pundak Ishak.
“Sebulan yang lalu, nek.” Ishak.
“Apa?, kamu masih ingat dengan
panggilan itu kek.” Rahma tersenyum malu.
“Maafin aku nek..” Ishak sambil
memegang tangan Rahma.
Rahma mendengarnya hanya tersenyum.
“Tak perlu minta maaf, kamu sudah
melakukannya yang terbaik.” Jawab Rahma.
“Aku datang kesini, untuk memenuhi
janjiku padamu nek.” jelas Ishak.
“Aku ingin menikahimu.” Ishak dengan
suara bergetar.
Rahma tersenyum malu mendengarnya.
“Apakah kau mau menikah denganku?”
Tanya Ishak dengan cemas.
“Yes,
I will. when?” jawab Rahma sambil tersenyum bahagia.
“Today” Ishak sambil tertawa.
Akhirnya Rahma dan Ishak menemukan waktu dan tempat yang paling indah,
yaitu sebuah pernikahan. Kini, ia di karuniai seorang anak bernama Raisha,
singkatan nama Rahma dan Ishak.