Rabu, 12 November 2014

21 Juni di Himalaya

Oleh: Aisyah Asafid Abdullah
Dua puluh satu Juni, hari kelahiranya kembali, ia menjadi lebih tua.  Di luar sana hujan deras, sama halnya dengan hatinya. Di hari kelahirannya, ia tak merasa bahagia tidak seperti yang lain.  Pikirnya melintas pada masa kepedihan yang tak mau pergi selama sepuluh tahun belakangan ini. Lampu-lampu kamarnya tidak begitu terang, Lelaki berbadan besar itu duduk menumpu kepala pada kedua tangannya dekat tepi jendela kamar. Hari-hari ia lewatkan dengan sunyi, menata puzzle hati yang telah hancur karena sebuah takdir.
“Saat itu dan sampai detik ini, engkau masih dalam kisahku sampai aku mati dan menemuimu di keabadian, Evelyn. Duhai Cinta yang sudah lama bersemayam, aku tak peduli aku berapa lama disini. Aku akan menjemputmu di keabadian bersama cinta Tuhan. Evelyn, Cinta kita tak sama yang lain, rasanya melebihi gado-gado melebihi rujak, bahkan makanan dari negara manapun termasuk makanan dari negaramu, Italy.”Ia tuliskan pada buku diary.
            Sudah sepuluh tahun, lelaki itu dalam sunyi tak bertepi masih melalulalang buana mencari senyum untuk bekal di perjalanan sunyinya. Ia tak mau mati sebelum Tuhan menginginkannya, ia mencuar dengan tertawa khas kebapakannya, meski rapuh tak sedikitpun terlihat pada wajahnya. Ia menipu orang-orang dengan badan besarnya itu.
            Lelaki itu bernama Edhi, matanya kerap mengandung air ketika mengingat masa lalunya. Kala itu, ia ditugaskan penelitian di Tibet perbatasan antara India dan Nepal. Ia bertemu dengan senior yang membimbing penelitian, Evelyn Edwardo Delavega.
*****
Swiss, Evelyn Edwardo Delavega, gadis asal Italy yang dipercaya perusahaannya untuk menjemput mahasiswa master ETH Zurich (Swiss Federal Institute of Technology) di Zurich Airport. Ia menunggu Mahasiswa itu bernama Edhi asal Indonesia yang menggunakan maskapai Swiss Internasional Air Lines. Setelah menunggu Satu jam di Airport, akhirnya Edhi menampakan diri dengan membawa satu koper dan tas ransel besar di punggungnya.
“ Edhi Indonesian?”. Tanya Evelyn. “Yes, That Right.” Edhi. “Evelyn” Evelyn sambil mengulurkan tangan pada Edhi. “Edhi” Jawab Edhi pelan. “Ayoo ikut saya” Ucap Evelyn. “Kamu bisa berbahasa Indonesia?” Tanya Edhi. “ Yes, I can. Sea Wacth mengirimku menemanimu karena aku bisa berbahasa Indonesia.” Ungakap Evelyn. Sea Wacth adalah nama perusahaan dimana mereka bekerja. Perusahaan itulah yang membiayai master Edhi di ETH Zurich (Swiss Federal Institute of Technology) dalam program natural sciences. Begitu juga dengan Evelyn, ia master di tempat yang sama dengan Edhi. Hanya saja, Edhi adalah junior Evelyn.
            Kala itu Sea Wacth  mengirim satu team yang di pimpin evelyn untuk melakuakn penelitian di gunung Aconcagua, Argentina. Penelitian di gunung Aconcagua adalah pertama kali Edhi mengikuti penelitian. Dalam pendakian ke puncak gunung Aconcagua. “Are you okey?” Tanya Evelyn sambil melihat edhi, berhenti. “Saya sudah tidak kuat, Ev!” jawab Edhi. “Baiklah, serahkan ranselmu padaku!”. Lalu, Edhi menyerahkan tas ranselnya. Evelyn perempuan yang kuat, sambil menggendong tas ransel Edhi, ia sambil memapah Edhi dengan kuat. “Bawa saja ranselku, Ev Engkau tidak usah memapahku!” pinta Edhi. “Tidak Edh!” Ia tetap memapah Edhi sampai puncak Aconcagua.
            “Evelyn seorang Leader yang baik, kepada semua anggota teamnya” Pikir Edhi. Kala itu di Penelitian kedua Edhi dilakukan di hutan Kambochia, negara Kamboja. Penelitian ini untuk mengetahui pengaruh peningkatan gas asam bumi pada tumbuhan hutan. Sea Wacth hanya mengirim satu team yang dipimpin oleh Evelyn. Agung Jabrik Sutiasono senior sekaligus sahabat edhi asal Indonesia itu pun satu team dengan Evelyn. Ia yang biasanya menjadi leader kini ia bergabung dengan Evelyn. Kala itu hanya delapan anggota, salah satu dari mereka, Jack asal Polandia bermasalah dengan kulitnya yang alergi dengan gigitan nyamuk hutan. Evelyn benar-benar memperhatikan anggota teamnya. Diam-diam Edhi, junior asal Indonesia memperhatikan sikap seniornya itu. Lalu, Edhi mulai bertanya pada Evelyn, yang perawakannya tinggi berkulit putih berhidung mancung, berambut pirang itu. “Evelyn, you’re very good to us”. Pungkas Edhi, Evelyn hanya membalas senyum. Ia tidak banyak bicara, tiba-tiba seniornya mendekati edhi tanpa ragu ia meraih tangan edhi. Edhi menapiknya pelan, ia “Why do you care to me?” Tanya Edhi kembali. Kini Evelyn diam. “Are you okey?” Tanya Edhi. “Yes, Because, I love u, Edh.” Jawab Evelyn. Tak terduga Evelyn pemimpin team yang baik kepada anggotanya, bertanggung jawab atas teamnya. Dan kebaikan Evelyn pada Edhi yang semula Edi kira karena ia seorang leader. Ternyata salah. Evelyn mencintainya.

            “Aku juga mencintaimu, Ev.” Edhi. Mendengar jawaban Edhi, Evelyn tanpa ragu dan lebih berani langsung memeluk Edhi. “No..no..no..!” Edhi sambil menampik  tangan Evelyn pelan. “Why?” Evelyn terkejut. “Dalam agamaku, tidak boleh lelaki dan perempuan saling bersentuhan kecuali sudah menikah.” Edhi. “Okey, no problem, yang terpenting kamu mencintaiku” Ia sambil tersenyum.
“Tapi..?” Edhi. “But..! Why Edh?” Tanya Evelyn. “Agamaku juga melarang lelaki beragama Islam menikahi perempuan non muslim, begitupun sebaliknya.” Jelas Edhi. Mendengar penjelasn Edhi, Evelyn diam seribu bahasa.
Hari-hari setelah itu sudah terlewati, mereka telah kembali ke Swiss. Namun perubahan pada Evelyn terjadi, ia tidak seperti biasa ia pendiam tidak banyak bicara dengan Edhi. Dalam sebuah lamunan Edhi terbesit apa ia harus pindah agama, lalu bagaimana dengan keluarganya  di Indonesia.
“Astagfirullahaladzim..” Ia mengulang-ngulang kalimat istigfar. Pikirnya, Evelyn perempuan yang begitu baik, ia berani mencintai apa adanya. Tapi di sisi lain, ia mempunyai Tuhan yang agung yang senantiasa memberikan kasih sayang sampai ia bertemu dengan Evelyn.
            Tiga bulan berlalu, Edhi tak mendapat perubahan dari sikap Evelyn. Ia mengayuh panjang pada kebimbangan. Ia senantiasa shalat di sepertiga malam untuk mencari solusi yang terbaik. Meminta akhir cerita yang damai meski tak akan dipersatukan dengan Evelyn. Ia tak menginginkan sebuah pengertian yang salah ada dalam pikiran Evelyn tentang agamanya tentang perasaaan yang sebenarnya.
Pada akhinya pun berakhir, Edhi berada di Zurich Airport untuk kembali sementara ke Indonesia. Jawaban pun tak ada, sampai ia mau kembali ke Jakarta, Indonesia. Ia duduk di terminal 3 penerbangan internasional menggunakan Swiss Internasional Air Lines .  Tiba-tiba dalam lamunannya ia dikagetkan seorang gadis. Edhi menggeryitkan kedua matanya, tak percaya Evelyn menghampirinya dengan fashion muslim, Ia berjilbab. Evelyn mengulurkan tangan pada Edhi. “ I am Moslem”. Tegas Evelyn.
            Sontak kaget ketika mendengar pengakuan Evelyn “ Really?” Edhi. Evelyn hanya tersenyum dan mengangguk mengedipkan matanya. Edhi langsung sujud syukur, tak menghiraukan yang lainnya.
*****
Sebuah pernikahan pun ditemukan Edhi dan Evelyn, untuk mendapatkannya tidak begitu mudah. Karena Ibu Edhi melarang hubungan mereka, ia tak menyukai gadis bule seperti evelyn. Sebenarnya ibu Edhi tidak mempunyai alasan yang jelas untuk tidak suka dengan Evelyn, karena selama ini ia hanya meragukan keislaman Evelyn. Namun yakin betul, Edhi sudah merasakan  kesungguhan keislaman Evelyn, bahkan ia tidak menemui keislaman pada teman gadis sejawatnya yang memang terlahir islam. Pikir Edhi, semua akan berlalu dengan waktu, biarlah ibunya akan mengenal Evelyn dengan sendirinya. Berbeda dengan ayah Edhi yang begitu menyukai mantunya itu, ia begitu bangga melihat Evelyn yang sungguh-sungguh masuk agama Islam, ia kerap melihat menantunya itu membaca al-Quran dengan tartil, perempuan yang mandiri, berjiwa besar dan mau belajar.
Bulan beganti bulan pun evelyn melaluinya dengan baik meski kerap setiap hari ia menemui muka masam ibu mertuanya. Ia tetap bersikap baik terhadap ibu mertuanya itu. Suatu ketika evelyn menemui kembali titik kejenuhan, hari itu ia benar-benar melayani keluarga kecil yang ia bangun dengan Edhi, untuk menunjukan kepatutannya terhadap Edhi. Edhi adalah anak terakhir dari lima bersaudara, keempat saudaranya adalah perempuan. Saudara-saudara Edhi menerima Evelyn dengan baik, laiknya seorang adik kandung.
Kala itu acara nujuh bulan kehamilan Evelyn, di rumah semua sanak-saudara berkumpul. Ibu Edhi hatinya benar-benar keras bagai batu, Ia tak bisa menjaga perasaan Evelyn. Di depan anak-anaknya ia mendiami Evelyn, meski tanpa kata namun makna sebuah kebencian itu begitu mendalam. Bahkan terlontar kata keraguan yang ditusukan untuk mepermalukan memantunya yang berasal dari Italy itu. “Apa ia akan terlahir seorang anak yang beragama baik, kalau orang tuanya saja baru mengenal dan belajar islam!” Ia sambil melirik Evelyn. Mendengar mertuanya berbicara seperti itu, ia langsung pergi meninggalkan yang lainnya, Evelyn menuju kamarnya.
Lalu, “Tok..tok..tok..” ada yang mengetuk pintu kamar Evelyn. “ Siapa?” Tanya Evelyn. “Ka Bilqis, Ev!”. Evelyn langsung membukakan pintu untuk kakak tertua Edhi. “Ev, jangan kamu masukan hati, Ibu memang seperti itu.” Balqis. Lalu Evelyn langsung memeluk kakak iparnya itu, “Saya ingin menangis, Ka!”. pungkas Evelyn sambil merengkung pundak kakak iparnya, gayung pun bersambut pelukan erat dari Balqis. “Kita semua sayang kamu, Evelyn.”pungkas lembut Balqis.
Hari yang ditunggu-tunggu ayah Edhi pun datang. Ia berharap setelah kelahiran cucunya, ada perubahan pada isterinya itu. Di ruang tunggu rumah sakit Adella, lelaki separuh baya itu menunggu cemas, karena ayah si jabang bayi sedang berada di luar kota. Saat suster membawa keluar sang bayi. Sang kakek sontak kaget, ia mendapati cucunya tak sempurna seperti anak yang lainnya. ia langsung menggendong cucunya itu, ia menahan tangis, memeluk dan menciumi cucunya. menangis tersedu-sedu, memeluknya, menciuminya. Lalu si jabang bayi kembali dibawa suster.
Ayah Edhi masih menahan tangis, melihat keadaan cucunya. Tiba-tiba  Edhi datang mendapati ayahnya menangis. “Kenapa ayah menangis?” Tanya Edhi. Tanpa bicara apa-apa ia langsung menarik tangan Edhi ke ruangan bayi.Tanpa memasuki rungan, mereka melihat bayi-bayi berjejer lewat kaca pembatas.
“Cucu ayah, yang mana yah?” Tanya Edhi. Ayahnya masih menangis tersedu-sedu, lalu menyeka matanya berusaha untuk menegarkan di depan anaknya.
“Itu anakmu, anakku.” Sambil menunjuk bayi di sudut paling kanan. Edhi sontak kaget dan menerawang hingga matanya mengandung air. Edhi cukup lama diam memperhatikan anak pertamanya itu lalu ia mulai bicara pada ayahnya. “Ayah, jangan menangis, lihatlah ia begitu cantik ia mempunyai hidung yang mancung bulu mata yang lentik, meski bibirnya tak sempurna seperti kita tapi tetap dia cantik ayah diantara yang lain.” Edhi sambil menahan tangis. Mendengar Edhi berbicara seperti itu, Ayahnya memeluk Edhi dengan erat. Pelukan ayahnya meneduhkan hati Edhi yang begitu nestapa kalut.
Hari-hari pun terlewati dengan suka duka, mereka mulai memahami arti sebuah kehidupan. Bayi Edhi kini sudah berusia sebelas bulan, bayi yang sehat, ceria. Kini ia sedang memulai belajar berjalan. Ternyata dugaan ayah Edhi salah yang mulanya ia menduga setelah kelahiran cucucnya itu isterinya berubah, ia semakin menjadi - jadi. Bahkan ia melimpahkan apa yang terjadi pada cucunya sekarang adalah sebuah karma, karena Edhi tidak menuruti perkataanya. Edhi begitu menyayangkan atas apa yang dilakukan ibunya kepada evelyn dan anaknya.
Masa cuti Evelyn pun telah berlalu, kini ia harus kembali melakukan penelitian yang diusung Sea Wacth. Edhi pun meminta pada Sea Wacth selama Evelyn cuti, ia ditempatkan di Indonesia. Karena ia tidak ingin melewati masa-masa bersama Evelyn saat mengandung dan melahirkan anak pertamanaya itu.
Setelah cuti, Evelyn dan Edhi ditugaskan kembali. Kini mereka kembali untuk melakukan penelitian lanjutan di gunung Es Himalaya, Tibet. Bayinya ia titipkan ke ayah mertuanya, yang menyewa seorang Baby Sister professional yang di datangkan dari Australia yang di kirim oleh Ayah Evelyn. Ayah Evelyn memang sudah lama meninggalkan Italy semenjak ibu Evelyn meninggal, kini dia sudah menetap di Australia.
            Pagi itu pembagian team yang menentukan Sea Wacth. Edhi yang biasa satu team dengan Evelyn kali ini mereka di pisahkan. Edhi satu team dengan Agung Jabrik Sutiasono Leader asal Indonesia. Mereka memulai perjalanan ke puncak Himalaya dari Katmandu, Nepal. Sedangkan team yang dipimpin Evelyn memulai perjalanan ke puncak Himalaya dari India.
Kala itu tanggal dua puluh Juni mereka mendaki, akan bertemu dipuncak Himalaya  pagi dua puluh satu juni, itu hari lahir Edhi. Edhi dan Evelyn berencana akan mengadakan pesta ulang tahun Edhi di puncak Himalaya.
“Sayang, be careful” Pungkas Evelyn sambil tersenyum manis. “Okey, sayang kamu juga” jawab Edhi lalu memeluk isterinya. “Kita bertemu di puncak, Baby?” Edhi sambil mengeratkan pelukannya.
                                                            *****
Dalam perjalan menuju puncak Himalaya, Edhi sudah hampir menuju puncak seribu kaki Himalaya. Tiba-tiba handphone Edhi bergetar, ia mendapat telepon dari ibunya. Lalu terputus, ia mendapati handpone-nya sebelas miscall. Ia kembali menghubungi namun tidak bisa, karena signal payah. Lalu, Handphone  Edhi kembali bergetar, namun seperti biasa telepon terputus setelah diangkat, no signal karena cuaca buruk. Lalu, handphone Edhi bergetar kembali, kali ini ia mendapati sebuah sms dari kakaknya.
“Edh, Ayah jatuh di kamar mandi, ia koma selama tiga jam, namun ia tak tertolong. Do’akan ayah Edh. Kamu hati2 disana, salam untuk Evelyn.” pesan dari kakaknya Balqis.
            Membaca pesan dari kakaknya, Edhi menangis tersimpuh, lalu teman-temannya memapahnya dan mengajak Edhi untuk berdoa bersama-sama mendoakan ayahnya. Pikirannya carut marut, ia ingin memberi kabar pada Evelyn, tapi ia takut menggangu Evelyn dalam pendakian. Akhirnya ia urungkan untuk menghubungi Evelyn.
 Sepanjang perjalanan, Edhi membaca al-Fatihah untuk ayahnya. Dalam perjalanannya ia seperti mendikte kisah masa kecilnya berasama ayahnya sampai terakhir sebelum ke Himalaya. Begitu banyak hal yang dilakukan bersama ayahnya, sesekali air mata dari lelaki keturunan jawa itu menetas dari kedua matanya yang sendu. Terlebih ayahnya adalah orang yang pertama mensuport kehidupan baru bersama Evelyn. Antara percaya dan tidak percaya kini ayahnya sudah tidak ada lagi di dunia ini.
 Sampai di Bascamp kedua di ketinggian dua ribu kaki team mendapat sebuah panggilan dari team operator pemandu untuk berhati-hati karena cuaca buruk. Hatinya bercabang antara kepiluannya di tinggal sang ayah selamanya dengan kekhawatiran pada isterinya, Evelyn. Pendakian pun tetap berlanjut dengan penuh kehati-hatian team Agung Jabrik Sutiasono sampai pada basecamp terakhir di ketinggian lima ribu meter dari atas permukaan laut.
            Sampailah kekhawatiran itu pada sebuah jawaban, di basecamp terakhir. Saat itu suhu berkisar empat derajat di bawah nol sampai dengan empat derajat diatas nol. Pada akhirnya, ia tahu bawa apa yang ia khawatirkan terjadi.
            “Edh, maafkan saya, saya harus memberitahumu yang sebenarnya”Jack.
            Edhi tercengang, “Apa maksudmu Jack?”tanya Edhi bingung.
Team yang dipimpin Evelyn, Edh…” Suara Jack menggantung.
“Evelyn, George, tomy, Naila, Rocky, Fai, Ray, Mike, dan Alex. Mereka terkena badai.” Jack sambil menunjukan monitor yang meng-update perjalanan setiap team. Dalam monitor tersebut, terlihat badai begitu besar menghantam team Evelyn, berikut cameraman-nya, sampai losing contact.
            Saat itu posisi Edhi sedang breafing dengan team-nya. Mendengar berita tersebut, Edhi langsung kalap, ia menjerit dan tak sadarkan diri. Sepertinya Lelaki itu tak kuasa menahan kepedihan  yang begitu mendalam.
*****
            Dua puluh satu Juni, semenjak kejadian itu ia seperti menyulam puzzle yang tercecer, kian hari tersusun meski hingga mencapai puluhan tahun, namun bentuknya tak sama seperti semula.
Suara lonceng jam dinding di ruang makan, menyadarkanya. Seketika ia melihat jam dinding di kamar, sudah jam setengah dua. Ia belum menunaikan shalat Dzuhur, ia langsung mengambil air wudhu.
Ketika sampai di ruang shalat, ia menemui Yasmin sedang membaca al-Quran dengan tartil. Tiba-tiba anak semata wayangnya sekaligus pelipur laranya itu beranjak dan menemui neneknya di ruang makan. “ Nek, kalo ini dibaca apa nek?”. Tanzilal ‘aziizir rohim”. Coba kamu baca kembali.Alaa shiroothim mustaqim,Tanzilal ‘aziizir rohim”Yasmin. “Pintar anak mami Evelyn” Ibu Edhi sambil mencium kening cucunya itu. Mendengar pujian Ibunya kepada anaknya, ia tersenyum dan berbicara pada hatinya, “ini yang di tunggu Ayah dan kamu Evelyn, Kalian melihatnya kan di surga?” Edhi tersenyum bersyukur.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar