Oleh: Aisyah Asafid Abdullah
Dua
puluh satu Juni, hari kelahiranya kembali, ia menjadi lebih tua. Di luar sana hujan deras, sama halnya dengan
hatinya. Di hari kelahirannya, ia tak merasa bahagia tidak seperti yang lain. Pikirnya melintas pada masa kepedihan yang tak
mau pergi selama sepuluh tahun belakangan ini. Lampu-lampu kamarnya tidak
begitu terang, Lelaki berbadan besar itu duduk menumpu kepala pada kedua
tangannya dekat tepi jendela kamar. Hari-hari ia lewatkan dengan sunyi, menata
puzzle hati yang telah hancur karena sebuah takdir.
“Saat itu dan sampai
detik ini, engkau masih dalam kisahku sampai aku mati dan menemuimu di
keabadian, Evelyn. Duhai Cinta yang sudah lama bersemayam, aku tak peduli aku
berapa lama disini. Aku akan menjemputmu di keabadian bersama cinta Tuhan.
Evelyn, Cinta kita tak sama yang lain,
rasanya melebihi gado-gado melebihi rujak, bahkan makanan dari negara manapun
termasuk makanan dari negaramu, Italy.”Ia tuliskan pada buku diary.
Sudah sepuluh tahun, lelaki itu
dalam sunyi tak bertepi masih melalulalang buana mencari senyum untuk bekal di
perjalanan sunyinya. Ia tak mau mati sebelum Tuhan menginginkannya, ia mencuar
dengan tertawa khas kebapakannya, meski rapuh tak sedikitpun terlihat pada
wajahnya. Ia menipu orang-orang dengan badan besarnya itu.
Lelaki itu bernama Edhi, matanya
kerap mengandung air ketika mengingat masa lalunya. Kala itu, ia ditugaskan
penelitian di Tibet perbatasan antara India dan Nepal. Ia bertemu dengan senior
yang membimbing penelitian, Evelyn Edwardo Delavega.
*****
Swiss,
Evelyn Edwardo Delavega, gadis asal Italy yang dipercaya perusahaannya untuk
menjemput mahasiswa master ETH Zurich (Swiss Federal Institute of Technology)
di Zurich Airport. Ia menunggu Mahasiswa itu bernama Edhi asal Indonesia yang
menggunakan maskapai Swiss Internasional Air Lines. Setelah menunggu Satu jam
di Airport, akhirnya Edhi menampakan diri dengan membawa satu koper dan tas
ransel besar di punggungnya.
“
Edhi Indonesian?”. Tanya Evelyn. “Yes, That Right.” Edhi. “Evelyn” Evelyn
sambil mengulurkan tangan pada Edhi. “Edhi” Jawab Edhi pelan. “Ayoo ikut saya”
Ucap Evelyn. “Kamu bisa berbahasa Indonesia?” Tanya Edhi. “ Yes, I can. Sea
Wacth mengirimku menemanimu karena aku bisa berbahasa Indonesia.” Ungakap Evelyn.
Sea Wacth adalah nama perusahaan dimana mereka bekerja. Perusahaan itulah yang
membiayai master Edhi di ETH Zurich (Swiss Federal Institute of Technology)
dalam program natural sciences. Begitu juga dengan Evelyn, ia master di tempat
yang sama dengan Edhi. Hanya saja, Edhi adalah junior Evelyn.
Kala itu Sea Wacth mengirim satu team yang di pimpin evelyn
untuk melakuakn penelitian di gunung Aconcagua, Argentina. Penelitian di gunung
Aconcagua adalah pertama kali Edhi mengikuti penelitian. Dalam pendakian ke
puncak gunung Aconcagua. “Are you okey?”
Tanya Evelyn sambil melihat edhi, berhenti. “Saya sudah tidak kuat, Ev!” jawab
Edhi. “Baiklah, serahkan ranselmu padaku!”. Lalu, Edhi menyerahkan tas
ranselnya. Evelyn perempuan yang kuat, sambil menggendong tas ransel Edhi, ia
sambil memapah Edhi dengan kuat. “Bawa saja ranselku, Ev Engkau tidak usah
memapahku!” pinta Edhi. “Tidak Edh!” Ia tetap memapah Edhi sampai puncak
Aconcagua.
“Evelyn seorang Leader yang baik, kepada semua anggota teamnya” Pikir Edhi. Kala
itu di Penelitian kedua Edhi dilakukan di hutan Kambochia, negara Kamboja.
Penelitian ini untuk mengetahui pengaruh peningkatan gas asam bumi pada
tumbuhan hutan. Sea Wacth hanya mengirim satu team yang dipimpin oleh Evelyn.
Agung Jabrik Sutiasono senior sekaligus sahabat edhi asal Indonesia itu pun
satu team dengan Evelyn. Ia yang biasanya menjadi leader kini ia bergabung dengan Evelyn. Kala itu hanya delapan
anggota, salah satu dari mereka, Jack asal Polandia bermasalah dengan kulitnya
yang alergi dengan gigitan nyamuk hutan. Evelyn benar-benar memperhatikan
anggota teamnya. Diam-diam Edhi, junior asal Indonesia memperhatikan sikap
seniornya itu. Lalu, Edhi mulai bertanya pada Evelyn, yang perawakannya tinggi
berkulit putih berhidung mancung, berambut pirang itu. “Evelyn, you’re very good to us”. Pungkas Edhi, Evelyn hanya
membalas senyum. Ia tidak banyak bicara, tiba-tiba seniornya mendekati edhi
tanpa ragu ia meraih tangan edhi. Edhi menapiknya pelan, ia “Why do you care to me?” Tanya Edhi
kembali. Kini Evelyn diam. “Are you okey?” Tanya Edhi. “Yes, Because, I love u,
Edh.” Jawab Evelyn. Tak terduga Evelyn pemimpin team yang baik kepada
anggotanya, bertanggung jawab atas teamnya. Dan kebaikan Evelyn pada Edhi yang
semula Edi kira karena ia seorang leader. Ternyata salah. Evelyn mencintainya.
“Aku juga mencintaimu, Ev.” Edhi.
Mendengar jawaban Edhi, Evelyn tanpa ragu dan lebih berani langsung memeluk
Edhi. “No..no..no..!” Edhi sambil menampik
tangan Evelyn pelan. “Why?” Evelyn terkejut. “Dalam agamaku, tidak boleh
lelaki dan perempuan saling bersentuhan kecuali sudah menikah.” Edhi. “Okey, no
problem, yang terpenting kamu mencintaiku” Ia sambil tersenyum.
“Tapi..?”
Edhi. “But..! Why Edh?” Tanya Evelyn. “Agamaku juga melarang lelaki beragama
Islam menikahi perempuan non muslim, begitupun sebaliknya.” Jelas Edhi.
Mendengar penjelasn Edhi, Evelyn diam seribu bahasa.
Hari-hari
setelah itu sudah terlewati, mereka telah kembali ke Swiss. Namun perubahan
pada Evelyn terjadi, ia tidak seperti biasa ia pendiam tidak banyak bicara
dengan Edhi. Dalam sebuah lamunan Edhi terbesit apa ia harus pindah agama, lalu
bagaimana dengan keluarganya di
Indonesia.
“Astagfirullahaladzim..”
Ia mengulang-ngulang kalimat istigfar. Pikirnya, Evelyn perempuan yang begitu
baik, ia berani mencintai apa adanya. Tapi di sisi lain, ia mempunyai Tuhan
yang agung yang senantiasa memberikan kasih sayang sampai ia bertemu dengan
Evelyn.
Tiga bulan berlalu, Edhi tak
mendapat perubahan dari sikap Evelyn. Ia mengayuh panjang pada kebimbangan. Ia
senantiasa shalat di sepertiga malam untuk mencari solusi yang terbaik. Meminta
akhir cerita yang damai meski tak akan dipersatukan dengan Evelyn. Ia tak
menginginkan sebuah pengertian yang salah ada dalam pikiran Evelyn tentang
agamanya tentang perasaaan yang sebenarnya.
Pada
akhinya pun berakhir, Edhi berada di Zurich Airport untuk kembali sementara ke
Indonesia. Jawaban pun tak ada, sampai ia mau kembali ke Jakarta, Indonesia. Ia
duduk di terminal 3 penerbangan internasional menggunakan Swiss Internasional
Air Lines . Tiba-tiba dalam lamunannya
ia dikagetkan seorang gadis. Edhi menggeryitkan kedua matanya, tak percaya
Evelyn menghampirinya dengan fashion muslim, Ia berjilbab. Evelyn mengulurkan
tangan pada Edhi. “ I am Moslem”. Tegas Evelyn.
Sontak kaget ketika mendengar
pengakuan Evelyn “ Really?” Edhi. Evelyn
hanya tersenyum dan mengangguk mengedipkan matanya. Edhi langsung sujud syukur,
tak menghiraukan yang lainnya.
*****
Sebuah pernikahan pun
ditemukan Edhi dan Evelyn, untuk mendapatkannya tidak begitu mudah. Karena Ibu Edhi melarang hubungan mereka, ia tak
menyukai gadis bule seperti evelyn. Sebenarnya ibu Edhi tidak mempunyai alasan
yang jelas untuk tidak suka dengan Evelyn, karena selama ini ia hanya meragukan
keislaman Evelyn. Namun yakin betul, Edhi sudah merasakan kesungguhan keislaman Evelyn, bahkan ia tidak
menemui keislaman pada teman gadis sejawatnya yang memang terlahir islam. Pikir
Edhi, semua akan berlalu dengan waktu, biarlah ibunya akan mengenal Evelyn
dengan sendirinya. Berbeda dengan ayah Edhi yang begitu menyukai mantunya itu,
ia begitu bangga melihat Evelyn yang sungguh-sungguh masuk agama Islam, ia
kerap melihat menantunya itu membaca al-Quran dengan tartil, perempuan yang
mandiri, berjiwa besar dan mau belajar.
Bulan beganti bulan pun evelyn melaluinya dengan baik
meski kerap setiap hari ia menemui muka masam ibu mertuanya. Ia tetap bersikap
baik terhadap ibu mertuanya itu. Suatu ketika evelyn menemui kembali titik
kejenuhan, hari itu ia benar-benar melayani keluarga kecil yang ia bangun
dengan Edhi, untuk menunjukan kepatutannya terhadap Edhi. Edhi adalah anak
terakhir dari lima bersaudara, keempat saudaranya adalah perempuan.
Saudara-saudara Edhi menerima Evelyn dengan baik, laiknya seorang adik kandung.
Kala itu acara nujuh bulan kehamilan Evelyn, di rumah
semua sanak-saudara berkumpul. Ibu Edhi hatinya benar-benar keras bagai batu,
Ia tak bisa menjaga perasaan Evelyn. Di depan anak-anaknya ia mendiami Evelyn,
meski tanpa kata namun makna sebuah kebencian itu begitu mendalam. Bahkan
terlontar kata keraguan yang ditusukan untuk mepermalukan memantunya yang
berasal dari Italy itu. “Apa ia akan terlahir seorang anak yang beragama baik,
kalau orang tuanya saja baru mengenal dan belajar islam!” Ia sambil melirik
Evelyn. Mendengar mertuanya berbicara seperti itu, ia langsung pergi
meninggalkan yang lainnya, Evelyn menuju kamarnya.
Lalu, “Tok..tok..tok..” ada yang mengetuk pintu kamar
Evelyn. “ Siapa?” Tanya Evelyn. “Ka Bilqis, Ev!”. Evelyn langsung membukakan
pintu untuk kakak tertua Edhi. “Ev, jangan kamu masukan hati, Ibu memang
seperti itu.” Balqis. Lalu Evelyn langsung memeluk kakak iparnya itu, “Saya
ingin menangis, Ka!”. pungkas Evelyn sambil merengkung pundak kakak iparnya,
gayung pun bersambut pelukan erat dari Balqis. “Kita semua sayang kamu,
Evelyn.”pungkas lembut Balqis.
Hari yang ditunggu-tunggu ayah Edhi pun datang. Ia
berharap setelah kelahiran cucunya, ada perubahan pada isterinya itu. Di ruang
tunggu rumah sakit Adella, lelaki separuh baya itu menunggu cemas, karena ayah
si jabang bayi sedang berada di luar kota. Saat
suster membawa keluar sang bayi. Sang kakek sontak
kaget, ia mendapati cucunya tak sempurna seperti anak yang lainnya. ia langsung
menggendong cucunya itu, ia menahan tangis, memeluk dan menciumi cucunya. menangis
tersedu-sedu, memeluknya, menciuminya. Lalu
si jabang bayi kembali dibawa suster.
Ayah Edhi masih menahan tangis, melihat keadaan
cucunya. Tiba-tiba Edhi datang
mendapati ayahnya menangis. “Kenapa ayah menangis?” Tanya Edhi. Tanpa bicara apa-apa
ia langsung menarik tangan Edhi ke ruangan bayi.Tanpa memasuki rungan, mereka melihat bayi-bayi
berjejer lewat kaca pembatas.
“Cucu
ayah, yang mana yah?” Tanya Edhi. Ayahnya masih menangis tersedu-sedu, lalu
menyeka matanya berusaha untuk menegarkan di depan anaknya.
“Itu
anakmu, anakku.” Sambil menunjuk bayi di sudut paling kanan. Edhi sontak kaget
dan menerawang hingga matanya mengandung air. Edhi cukup lama diam memperhatikan anak pertamanya itu lalu ia mulai
bicara pada ayahnya. “Ayah, jangan menangis, lihatlah ia
begitu cantik ia mempunyai hidung yang mancung bulu mata yang lentik, meski
bibirnya tak sempurna seperti kita tapi tetap dia cantik ayah diantara yang
lain.” Edhi sambil menahan tangis. Mendengar Edhi berbicara seperti itu,
Ayahnya memeluk Edhi dengan
erat. Pelukan ayahnya meneduhkan hati Edhi yang begitu
nestapa kalut.
Hari-hari pun terlewati dengan suka duka, mereka mulai
memahami arti sebuah kehidupan. Bayi Edhi kini sudah berusia sebelas bulan,
bayi yang sehat, ceria. Kini ia sedang memulai belajar berjalan. Ternyata
dugaan ayah Edhi salah yang mulanya ia menduga setelah kelahiran cucucnya itu
isterinya berubah, ia semakin menjadi - jadi. Bahkan ia melimpahkan apa yang
terjadi pada cucunya sekarang adalah sebuah karma, karena Edhi tidak menuruti
perkataanya. Edhi begitu menyayangkan atas apa yang dilakukan ibunya kepada
evelyn dan anaknya.
Masa cuti Evelyn pun telah berlalu, kini ia harus
kembali melakukan penelitian yang diusung Sea Wacth. Edhi pun meminta pada Sea
Wacth selama Evelyn cuti, ia ditempatkan di Indonesia. Karena ia tidak ingin
melewati masa-masa bersama Evelyn saat mengandung dan melahirkan anak
pertamanaya itu.
Setelah cuti, Evelyn dan Edhi ditugaskan kembali. Kini
mereka kembali untuk melakukan
penelitian lanjutan di gunung Es Himalaya, Tibet. Bayinya ia titipkan ke ayah
mertuanya, yang menyewa seorang Baby Sister professional yang di
datangkan dari Australia yang di kirim oleh Ayah Evelyn. Ayah Evelyn memang
sudah lama meninggalkan Italy semenjak ibu Evelyn meninggal, kini dia sudah
menetap di Australia.
Pagi itu pembagian team yang menentukan Sea Wacth.
Edhi yang biasa satu team
dengan Evelyn kali ini mereka di
pisahkan. Edhi satu team dengan
Agung
Jabrik Sutiasono Leader asal
Indonesia. Mereka memulai perjalanan ke puncak Himalaya
dari Katmandu, Nepal.
Sedangkan team yang dipimpin Evelyn memulai perjalanan ke puncak
Himalaya dari India.
Kala itu tanggal dua puluh Juni
mereka mendaki, akan bertemu dipuncak Himalaya
pagi dua puluh satu juni, itu hari lahir Edhi. Edhi dan Evelyn berencana akan
mengadakan pesta ulang tahun Edhi di puncak Himalaya.
“Sayang,
be careful” Pungkas Evelyn sambil
tersenyum manis. “Okey, sayang kamu juga” jawab Edhi lalu memeluk isterinya.
“Kita bertemu di puncak, Baby?”
Edhi sambil mengeratkan pelukannya.
*****
Dalam
perjalan menuju puncak Himalaya, Edhi
sudah hampir menuju puncak seribu kaki Himalaya. Tiba-tiba handphone
Edhi bergetar, ia mendapat telepon
dari ibunya. Lalu terputus, ia mendapati
handpone-nya sebelas miscall. Ia kembali menghubungi namun
tidak bisa, karena signal payah. Lalu, Handphone Edhi kembali
bergetar, namun seperti biasa telepon terputus setelah diangkat, no signal
karena cuaca buruk. Lalu,
handphone Edhi bergetar kembali, kali ini ia mendapati sebuah sms dari kakaknya.
“Edh,
Ayah jatuh di kamar mandi, ia koma selama tiga
jam, namun ia tak tertolong. Do’akan
ayah Edh. Kamu hati2 disana, salam untuk Evelyn.” pesan dari kakaknya Balqis.
Membaca pesan dari kakaknya, Edhi
menangis tersimpuh, lalu teman-temannya memapahnya dan mengajak Edhi untuk
berdoa bersama-sama mendoakan ayahnya. Pikirannya carut marut, ia ingin memberi
kabar pada Evelyn,
tapi ia takut menggangu Evelyn
dalam pendakian. Akhirnya ia urungkan untuk menghubungi Evelyn.
Sepanjang perjalanan, Edhi membaca al-Fatihah untuk ayahnya. Dalam
perjalanannya ia seperti mendikte kisah masa kecilnya berasama ayahnya sampai
terakhir sebelum ke Himalaya. Begitu banyak hal yang dilakukan bersama ayahnya,
sesekali air mata dari lelaki keturunan jawa itu menetas dari kedua matanya
yang sendu. Terlebih ayahnya adalah orang yang pertama mensuport kehidupan baru
bersama Evelyn. Antara percaya dan tidak percaya kini ayahnya sudah tidak ada
lagi di dunia ini.
Sampai
di Bascamp kedua di ketinggian dua ribu kaki team mendapat sebuah panggilan dari team
operator pemandu untuk berhati-hati karena cuaca buruk. Hatinya bercabang
antara kepiluannya di tinggal sang ayah selamanya dengan kekhawatiran pada
isterinya, Evelyn.
Pendakian pun tetap berlanjut dengan penuh
kehati-hatian team Agung
Jabrik Sutiasono sampai
pada basecamp terakhir di ketinggian
lima ribu meter dari atas permukaan laut.
Sampailah kekhawatiran itu pada
sebuah jawaban, di basecamp terakhir.
Saat itu suhu berkisar empat derajat di bawah nol sampai dengan empat derajat
diatas nol. Pada akhirnya, ia tahu bawa apa yang ia khawatirkan terjadi.
“Edh, maafkan saya, saya harus memberitahumu
yang sebenarnya”Jack.
Edhi tercengang, “Apa maksudmu Jack?”tanya Edhi bingung.
“Team
yang dipimpin Evelyn, Edh…” Suara Jack menggantung.
“Evelyn, George, tomy, Naila,
Rocky, Fai, Ray, Mike, dan Alex.
Mereka terkena badai.” Jack
sambil menunjukan monitor yang meng-update
perjalanan setiap team.
Dalam monitor tersebut, terlihat badai begitu besar
menghantam team
Evelyn, berikut cameraman-nya, sampai losing contact.
Saat itu posisi Edhi sedang breafing dengan team-nya. Mendengar berita
tersebut, Edhi langsung kalap, ia
menjerit dan tak sadarkan diri. Sepertinya Lelaki itu tak kuasa menahan kepedihan yang begitu mendalam.
*****
Dua puluh satu Juni, semenjak kejadian itu ia seperti menyulam
puzzle yang tercecer, kian hari tersusun meski
hingga
mencapai puluhan tahun, namun
bentuknya tak sama seperti semula.
Suara lonceng jam dinding di ruang
makan, menyadarkanya. Seketika ia melihat jam dinding di kamar, sudah jam setengah dua. Ia belum menunaikan shalat Dzuhur, ia
langsung mengambil air wudhu.
Ketika sampai di ruang
shalat, ia menemui Yasmin sedang membaca al-Quran dengan tartil. Tiba-tiba anak
semata wayangnya sekaligus pelipur laranya itu beranjak dan menemui neneknya di
ruang makan. “ Nek, kalo ini dibaca apa nek?”. “Tanzilal ‘aziizir rohim”. Coba kamu baca kembali. “Alaa
shiroothim mustaqim,Tanzilal ‘aziizir rohim”Yasmin. “Pintar anak mami Evelyn” Ibu Edhi sambil
mencium kening cucunya itu. Mendengar pujian Ibunya kepada anaknya, ia
tersenyum dan berbicara pada hatinya, “ini yang di tunggu Ayah dan kamu Evelyn,
Kalian melihatnya kan di surga?” Edhi tersenyum bersyukur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar