Oleh
: Aisyah Asafid Abdullah
19-07-2012
Dipan
atau biasa kita sebut bale yang
terbuat dari kayu itu ditempatkan di tengah ruang. Wajahnya tertutup kain putih
transparan. Semua orang tentu dapat melihat wajahnya, wajahnya terang begitu
tenang terlihat dari bibirnya tersenyum tanpa beban.
Kubuka
al-Quran kecil yang biasa kubawa kemana-mana. Aku bukan satu-satunya tamu yang
begitu datang langsung mengaji menghadap bale.
Rasanya sangat ganjal baru saja kemarin ia memberi pesan untuk sedikit bersabar
mengenai sikapnya. Kini ia dihadapanku terbujur kaku “Siapa yang tahu arti
sikapmu beberapa bulan terakhir ini..?”. Dina Membatin
Tiba-tiba
muncul seorang wanita berpakaian serba hitam, kukira-kira itu adalah ibunda
Rifki. Ia begitu terlihat terpukul, matanya sembab dan masih mengandung air
karena menahan tangis.
Aku
berusaha mendekati dan membuka pembicaraan namun rasanya tidak nyaman jika aku
menayakan hal yang detail mengenai Rifki kepada wanita setengah baya itu.
“
Bu, bersabarlah..” sambil kuulurkan tangan dan menciumi tangannya. Ia hanya
membalas dengan senyuman sedikit memaksa, seperti menunjukan bahwa ia kuat.
Lantas,
Aku mencari-cari orang yang dekat dengan Rifki, namun aku benar-benar tidak
tahu harus menanyakan ke siapa.
“
Mbak Rany, Asisten Rifki..!” Hatiku menebak benar. Namun sayang, aku tak dapat
menemukan asistenya itu..
Diluar
banyak pemburu berita menunggu almarhum dikebumikan. Ada beberapa wartawan
menanyakan kondisi korban yang selamat. Namun tidak ada yang berani membuka mulut,
dengan alasan korban masih kritis. Mendengar hal itu, kuberanikan bertanya, “
Siapa yang masih kritis itu..?”, “Asistennya..” Jawab seseorang kepadaku.
“Mbak
Rany, Kritis..!” Pikirku tak percaya. Kejadian ini benar-benar diluar dugaan
seseorang. Rasanya aku ingin teriak, meluapkan semua apa yang terjadi antara
aku dan Rifki, namun siapa yang dapat mempercayaiku.
Tidak
kuduga Muhammad Rifki Andhika, Presenter terkenal itu pergi dalam usia begitu
muda. Belum tiga puluh tahun. Terlebih
ia pergi meninggalkan kesan tanya, sulit bagiku untuk menerima ia pergi.
Dua
bulan terakhir ini Rifki adalah seniorku di ajang pencarian bakat Jurnalistik.
Dia mempunyai sikap yang humanis, fleksibel dan mempunyai karismatik yang
tinggi. Semua orang yang berada didekatnya begitu nyaman. Termasuk aku sendiri.
Selain berkarismatik wajahnya memang tampan, hidung mancung, berkulit putih,
perawakaanya tinggi besar.
Pada
waktuy itu aku mengikut ajang pencarian bakat jurnalistik, saat itu aku
bermasalah dengan jilbab yang ku pakai karena terlalu lebar untuk seorang calon
jurnalistik, meski begitu aku lolos karena kegigihan atas cita-citaku sebagai
seorang jurnalistik professional. Waktu itu tahap wawancara, kebetulan aku
mendapat giliran wawancara dengan presenter kondang tidak lain adalah Rifki.
Hatiku senang bukan kepalang mendapatkan kesempatan diwawancari oleh sang
idola. Meskipun saat wawancara dag-dig-dug, wawancara berhasil dan aku lolos
masuk ke tahap berikutnya.
Kesan
pertama waktu itu sangat berarti, aku ingat ketika itu, aku melihat list wawancara yang aku
rancang sendiri, dugaan sementara yang mungkin akan ditanyakan oleh Rifki. Akhirnya
waktu wawancara pun tiba, hatiku berdegup kencang.
“Dina Fauziyah..!” Lalu aku memasuki ruangan
“Dina Fauziyah..?” Suaranya menggantung
wajahnya yang menunduk melihat list nama anggota jurnalis perlahan melihatku
“Iyaa pa, Assalamualaikum
Wr. Wb....” Aku semakin terlihat grogi..
Rifki tersenyum seperti
menahan geli..
“Tertawa saja pak,
tidak usah ditahan..” Aku sambil mengetuk-ngetuk jari-jariku ke meja
“Kenapa tangan kamu
gemetaran..?, Bukankah seorang jurnalis harus bisa mengendalikan diri, baru
juga wawancara belum terjun ke lapangan..” Rifki Andhika seperti ragu..
“Afwan pa,
boleh saya minta satu permintaan sebelum wawancara..?” Aku dengan raut wajah
yang tidak mengenakan
“Boleh, apa
permintaanmu..?” Rifki menanyakan..
“Saya mau wawancara
saya ditemanin dengan panitia perempuan..?” Jawabku
“Kenapa..? Rifki
penasaraan
“Jika saya tidak di temani saya akan merasa malu dan takut..” aku
dengan tegas..
“Malu dan
takut..!!, kamu itu calon jurnalistik
jangan mental cemen..!”Rifki menimpaliku
“Bapak
benar, meski begitu!, malu dan takut
tetap harus ada. Jika tidak, kejujuran akan semakin menghilang dari kebudayaan
kita, keberanian diatas ketidakadilan , itu semua karena malu dan takut kian
pudar dari sikap seseorang..” Aku dengan tegas
“Kamu benar, lantas apa
yang kamu telah perbuat, sampai kamu minta ditemanin dengan panitia perempuan,
apa yang kamu takuti dan merasa malu?” Rifki
kembali menimpaliku
“Satu,hanya satu karena hati seorang perempuan, jika tak ada malu dan
takut siapa yang dapat melindungi perempuan..!” jawabku dengan tegas
Mendengar jawabanku, dia terdiam seakan membenarkan..
“Hmmm, baiklah..” Rifki
sambil manggut-manggut
“Baik, sebelum saya
panggil panitia perempuan masuk. saya akan bertanya satu hal, Apa yang melatar
belakangi kamu ikut dalam ajang pencarian bakat mengenai jurnalistik?” Rifki
“Satu, saya ingin
belajar mengabaikan perasaan diri sendiri
untuk masyarkat, intinya bukan karna materi bukan ingin terkenal tetapi lebih
ke pengabdian..!” Aku menyakinkan Rifki
“Baiklah, jawabanmu
menyakinkanku, kamu, LULUS..!”Rifki
tersenyum, ia sambil melayangkan tangannya untuk berjabat tangan
‘Afwan pa, terima kasih
banyak..” Aku hanya menyalami tanpa berjabat sambil sedikit membungkukan kepala
Muka Rifki terlihat
malu karena tangannya tak disambut.
“Yah sama-sama...?”
Rifki dengan senyum memaksa
“Terimaksih pak,
terimakasih..” Aku mengulang-ngulang ucapkan terima kasih sambil melepaskan senyuman termanisku. Itulah asal
mula ia tertarik kepadaku.
Setelah kejadian itu, ia berani mengantarkanku pulang,
memberiku coklat, mengirim bunga kerumah. Kesan kedua bersama almarhum.Waktu
itu saat pertama kali ia mengajak pulang bersama.
Saat itu selepas trainer, aku harus
segera pulang sebelum magrib. Kalau tidak aku akan buka puasa dijalan. Waktu
itu, saat menunggu taxi, tiba-tiba ada mobil mewah berhenti tepat didepanku,
lalu aku bergeser, mobil itu kembali berjalan dan berhenti tepat di depanku
“Nih orang mau nyulik apa yah..” dalam hati aku membatin.
Tiba-tiba
kaca mobil itu terbuka” Din..?” Panggilannya lembut
“Astagfirullahaladzim..Bpk.
Rifki..” Dalam hati
“Iya
pa, maaf saya kira bukan bapak..” Aku
sedikit tidak enak..
“Mari
saya antarkan pulang..?” Rifki menawariku..
“Tidakk
usah pa..” jawabku menggantung..
“Kamu
tidak bisa menolakku, di mobilku ada asistenku dia perempuan, mari pulang
bersama..”Rifki kembali menawariku
Aku melihat tapi tidak ada sosok perempuan dimobilnya. Seketika pria yang
duduk didepan bersama supir menoleh,
“Saya
perempuan mbak, casingnya seperti lelaki yah..” ia tersenyum sambil mengulurkan
tangan
“Panggil
saja aku mbak Rany..” Ia begitu ramah
“Oh
maaf mbak..” Dina langsung menaiki mobil dan duduk di belakang supir bersebelahan
dengan Rifki.
“Ayo
pa jalan..” Rifki
“Jangan
dulu pa..” Aku sedikit tak nyaman
“Kenapa,
ada yang tertinggal..?” Tanya Rifki sedikit panik
“Tidak
ada, cumannnn.. bapak tidak pindah ke
depan bertukaran dengan mbak Rany..” Aku nyengir
“Ohhh,
baiklah dina, maaf.. “Ia tersenyum sedikit terpaksa..
Suasana didalam mobil sangat hening, seketika dipecahkan oleh
suara adzan magrib dari HPku. Lantas suara Adzan itu, aku mulai angkat bicara.
“Mbak
rany, apakah dimobil ada air ..?” Dina menanyakan pada asisten Rifki
“Tidak
ada mbak..”Asisten Rifki
Tiba-tiba
Rifki menawariku “ Kamu haus, minum saja punyaku, tidak apa-apa..” Ia sambil
menyodorkan air yang berada di botol
“Terima
kasih..pa” Jawabku
Lalu sebelum membatalkan puasa aku
membaca doa tanpa bersuara. Kulihat Rifki mengintip dari kaca.
“Oh
kamu puasa..?” Tanya Rifki
“Iya
pa..”
“Baiklah
kalau begitu nanti kita makan terlebih dahulu..”
“Tidak
usah pa, langsung pulang aja..” Aku merasa tak enak
“Saya
lapar, cuma sebentar..” Rifki mencari alasan
Lalu mereka turun dirumah makan sunda,
Dina dan asisten Rifki beranjak duduk sedangkan Rifki memesan makanan. Saat
menunggu Rifki, tiba-tiba asistenya mengajaknya mengobrol.
“Sudah
lama lho bapak tidak seperti ini, semenjak ditinggalkan oleh tunangannya yang
bekerja diluar negeri..!” Rany dengan gaya lelaki
“Ohh..
saya tidak mengerti mba, maksud mbak..?
Namun pembicaraanya tidak diteruskan
karena Rifki keburu datang. Dari situ aku belum pernah bertemu lagi dengan mbak
rany, belum sempat kutanyakan. Sekarang keadaanya sedang kritis. Ini
benar-benar membuatku bingung.
Terakhir ku berkomunikasi denganya,
malam sekitar pukul tujuh malam lebih sedikit. Lantas sekitar jam dua pagi ia
pergi untuk selamanya karena kecelakan mobil.
Waktu itu aku merasa risih melihat kelakuan Rifki, Kali
ini aku mengcut Rifki bukan di
telpon, tetapi langsung didepannya.
“Apa maksud semua itu, pa..?” Aku memberanikan diri ‘tuk
bertanya
“Maksud apa din..?” Rifki tersenyum
“Mengirimkan bunga setiap pagi, mengirimi coklat 12 kali..hmmm
salah 14 kali..!” Aku sambil mengingat-ingat
“Memang kenapa..?” Rifki tersenyum menyebalkan
“Bukankah itu hanya dilakukan seorang pria untuk kekasihnya.. ?”
Aku dibuat kesal olehnya
“Benar, tapi bagi saya tidak..!,
memberi coklat dan bunga bukan hanya untuk kekasih, tetapi orang
terkasih seperti orang tua saudara, teman, sahabat, rekan bisnis..” jawab Rifki
“Hmm,
lantas kamu memberikanku karna aku
siapa..!”
“Hmmm,
aku juga bingung..” Rifki tersenyum dan langsung pergi begitu saja
Melihat kelakuannya aku benar-benar
kesal. Akhirnya ku putuskan untuk
mengembalikan bunga dan coklat kepadanya. Dan aku berjanji, tidak akan
mengangkat telpon dari Rifki. Beberapa hari Rifki menghubungiku, sms dan
telepon namun tidak aku gubris. Di
tempat trainer pun Rifki sulit menemuiku.
Saat ingat itu tangisanku pecah. Pikirku
tiada 'kan menanti jika ada kata, setidaknya pembenarannya aku pegang lalu dijajaki dalam hati meski
melakukaknya seperti mencabuti duri dalam dingding hati.
"Bukan tanpa kata, bukan tanpa kata! " dalam
batinku sambil menahan tangis
Semua hanya ciptakan keperihan yg tak
berarti. Dapatkah berpeluh kesah keperihanku.
"Bukan tak dapat.., melainkan aku bukan
siapa-siapa, aku tak mengerti..!" Aku kembali bersenandung dalam hati
Pesan terakhir darinya, saat itu berisi…
“Din, jangan seperti ini,
bersikaplah baik dengannku, baiklah aku berjanji akan berbicara jujur, tapi
tidak sekarang ..” isi pesan Rifki
Sesekali aku mengusap air mata yang keluar yang tak dapat
kutahan-tahan. Almarhum mulai diangkat dengan kreta kencana ‘tuk menghadap
Ilahi. Saat suara tahlil meliuk-liuk menghantarkan almarhum dikebumikan. Aku
benar-benar tak kuat berdiri. Setelahnya kuputuskan untuk pulang kerumah
*****
Ada suara detik jam berkrik-krik.
Sayup-sayup terdengar jama’ah masjid bersenandung shalawat Nabi, lembut
melunakkan hati. Sekejap aku ingat sedang duduk diruang tengah, rupannya pikiranku
lalu lalang aku masih dengan tanya yang mengganjal dalam hati. Mengenai arti
sebuah sikap seseorang. Setelah hampir dua bulan atas perginya Rifki, tanya itu
masih tetap bertepi.
Senandung shalawat Nabi kian menghilang.
Jama’ah masjid dekat rumahku t’lah
pulang ke rumah masing-masing. Aku seperti kembali dalam keheningan, diam dan
sepi. Memandangi foto Rifki, Lelaki yang t’lah menemui kematian dua bulan lalu.
Jam berapakah sekarang..? pikirku. Kuperhatikan jam dinding
yang berkrik cukup berisik. Pukul Lima pagi lebih sedikit. Aku belum shalat
shubuh. Seketika Foto Rifki yang berada di meja terjatuh ke lantai, menyadarkan
aku untuk beranjak menunaikan shalat
shubuh. Dalam shalat aku menangis, aku berada dalam tidak kekhusyukan.
“Astagfirullahaladzim…”
Aku membatin, sambil menangisi apa yang terjadi. Aku kembali berdiri untuk
shalat, namun beberapa kali aku menangis dan entah untuk keberapa kali aku berdiri dari tangisanku. Akhirnya shalat
shubuh pun bisa kudirikan.
Hari ini aku kembali bertarung dalam mimpi
seorang perempuan. Kali ini kegiatan satu
bulan ke depan trainer sebelum tahap ujian menjadi presenter berita. Mengawali
hari yang begitu berat dengan kalimat basamalah.
“Bismilahirahmanirahim,
mudahkalah urusanku ya Rabb..” Aku bersenandung dalam hati dengan senyuman yang
sedikit memaksa.
Saat
membuka pintu, aku melihat sosok perempuan berjilbab mengenakan kursi roda. Aku
seperti mengenali perempuan itu, namun aku benar-benar tak ingat. Lalu aku
hanya mengucapkan salam dan senyum untuk perempuan berjilbab itu.
“Assalamualaikum..”
Aku sambil tersenyum
Lalu
perempuan itu, memanggilku nampaknya ia mengenaliku..
“Dina..?”
“Ya,
kau mengenaliku..?” Jawabku
Tiba-tiba
tangannya langsung merengkuhku dan memelukku dengan erat, perempuan itu
menangis. Aku hanya bingung karena tak
tahu siapa perempuan ini.
“Aku
Rany asisten Rifki..” Ia menangis
“Asisten
Rifki, Muhammad Rifki Andhika..?” Aku
sontak kaget
“Ia
benar, din..” Ia sambil melepas tangannya dari pundakku
“Kau
memakai jilbab..?” Aku tak percaya atas perubahan yang terjadi pada asisten
Rifki
“Apa
yang terjadi, ceritalah, bagaimana semua ini terjadi mba..? Aku sambil mengusap
air matanya
“
Waktu itu sekitar pukul setengah dua belas malam, kejadianya begitu cepat
sekali. semanjak mengantarkan kamu pulang mas Rifki yang biasa duduk di
belakang sekarang lebih menyukai duduk di depan samping sopir, sempat aku tanya
kenapa, ia hanya bilang menjaga, saat
kejadian mas Rifki tertidur..begitulah keajadiannya..” Rany sambil menangis
“Ia
sempat kritis selama dua jam, namun nyawanya tak tertolong..” Pungkas Rany
Mendengarnya
aku hanya bisa menangis, lantas Rany memberi sebuah buku diary berwarna merah
kepadaku..
“Kau
pasti mencari tahu mengenai Rifki, bacalah buku diary ini, semua jawabannya ada
disini..” Rany tersenyum mencoba menguatkanku
“Terima
kasih mbak..” Aku memeluknya erat
“Kamu jangan pernah menyesalinya, ia lelaki
yang baik, sebelum bertemu kamu ia jarang tersenyum karena ditinggal oleh
tunangannya yang bekerja diluar negeri. Ia lebih menyukai menulis tentang kamu
dari pada mengungkapkanya. Ia ingat apa yang kamu katakan dulu yaitu takut dan
malu. Pikirnya takut dan malu bukan hanya perempuan yang harus memiliki rasa
itu tetapi lelaki juga penting. Takut dan malu dalam pengertian takut dan malu
kepada Allah bukan yang lain. Terakhir ia mengatakan kepadanku baru kali ini ia
mencintai seseorang dengan menjaga dan menghormatinya dan rasanya sangat membahagiakan..
itu ia yang katakan kepadaku..” Rany menjelaskan
Mendengar
semua penjelasan Rany, aku merasa lega dan bahagia.
*****
Perlahan ku buka diary itu, lembar
pertama berisikan “ Selamat datang
bidadariku, sudah lama kau menunggu hari ini..?” Muhammad Rifki Andhika. Aku
hanya bisa menangis dan tersenyum membacanya.
Puisi
Muhammad Rifki Andhika :
“Tiada dimengerti kecuali mengenaliku dalam
keheningan
Dalam diamku “kan terdengar bias-bias kerinduan
Aku ‘kan selamanya menanti panjang,
peraduan..!
Peraduan antara kata mencintai dan kepemilikan.
Biarlah kumenanti panjang,
menunggumu.
Kodratku tiada upaya kepemilikan
kecuali penitipan.
Aku punya rasa yang dititipkan
Tuhan.
Kujaga, bukan ku jajahi lalu
menyalahimu..
Biarlah kumenanti panjang,
menunggumu.
Janganlah kau pecahkan semua dengan
inginmu
Bukan memberiku tempat nyata,tapi
semu..!
Singkap gundahmu, ku menanti
bersama cinta Tuhan.
Menantimu, bukan hanya menunggu
Matahari kembali
Bukan hanya menunggu rembulan dan
bintang pada malam hari
Melainkan, aku menantimu menemani
pagi, sampai malam-malam
Tak perlu khawatir, Aku menantimu
bersama cinta Tuhan.
Meski Matahari datang, Panas!
Aku akan sedikit berpengarah..
Tuhan akan menitipkan kesegaran,
sesekali..sesekali
Lalu Tuhan ‘kan turunkan hujan,
untuk menguatkanku lagi..
Lalu, seterusnya seperti
itu,biarlah ku menanti panjang, menunggumu bersama cinta Tuhan….”.Muhammad
Rifki Andhika
Puisi
Muhammad Rifki Andhika :
Malam-malam
gelap berganti pagi-pagi menyegarkan
Menunggu matahari,
sampai ia tak datang lagi
menunggu hujan,
sampai ia tak bergermecik lagi
Menunggu
rembulan, sampai ia bosan menemui malam
Menunggu
bintang-bintang, sampai ia tak lagi berkelip
Menunggu, daun
tubuh kembali sampai ia gugur bertebaran..
Menunggu, Angin
sampai ia tak kuasa beri kesegaran…
Menunggu, Bunga
mekar sekejap layu, lalu punah
Menunggu, aku akan menunggumu laiknya semua itu,
perempuanku..!
"
Ia matahariku..!", aku yakin. "Ia matahariku setiap hari
tersenyum..!" Penyempurnaan dari semua rasa yg khawatir, takut, sampai
sebuah pengakuan. Dan pagi ini seperti dipecahkan, menahan tangis, merajut
mimpi atau ke egoisanku " dia tetap matahariku.." sampai kapan pun ia
Matahariku.." Aku akan menunggu matahariku tersenyum kembali di syurga-Mu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar