Rabu, 12 November 2014

Mencintai dalam Diam

Oleh : Aisyah Asafid Abdullah
19-07-2012
Dipan atau biasa kita sebut bale yang terbuat dari kayu itu ditempatkan di tengah ruang. Wajahnya tertutup kain putih transparan. Semua orang tentu dapat melihat wajahnya, wajahnya terang begitu tenang terlihat dari bibirnya tersenyum tanpa beban.
Kubuka al-Quran kecil yang biasa kubawa kemana-mana. Aku bukan satu-satunya tamu yang begitu datang langsung mengaji menghadap bale. Rasanya sangat ganjal baru saja kemarin ia memberi pesan untuk sedikit bersabar mengenai sikapnya. Kini ia dihadapanku terbujur kaku “Siapa yang tahu arti sikapmu beberapa bulan terakhir ini..?”. Dina Membatin
Tiba-tiba muncul seorang wanita berpakaian serba hitam, kukira-kira itu adalah ibunda Rifki. Ia begitu terlihat terpukul, matanya sembab dan masih mengandung air karena menahan tangis.
Aku berusaha mendekati dan membuka pembicaraan namun rasanya tidak nyaman jika aku menayakan hal yang detail mengenai Rifki kepada wanita setengah baya itu.
“ Bu, bersabarlah..” sambil kuulurkan tangan dan menciumi tangannya. Ia hanya membalas dengan senyuman sedikit memaksa, seperti menunjukan bahwa ia kuat.
Lantas, Aku mencari-cari orang yang dekat dengan Rifki, namun aku benar-benar tidak tahu harus menanyakan ke siapa.
“ Mbak Rany, Asisten Rifki..!” Hatiku menebak benar. Namun sayang, aku tak dapat menemukan asistenya itu..
Diluar banyak pemburu berita menunggu almarhum dikebumikan. Ada beberapa wartawan menanyakan kondisi korban yang selamat. Namun tidak ada yang berani membuka mulut, dengan alasan korban masih kritis. Mendengar hal itu, kuberanikan bertanya, “ Siapa yang masih kritis itu..?”, “Asistennya..” Jawab seseorang kepadaku.
“Mbak Rany, Kritis..!” Pikirku tak percaya. Kejadian ini benar-benar diluar dugaan seseorang. Rasanya aku ingin teriak, meluapkan semua apa yang terjadi antara aku dan Rifki, namun siapa yang dapat mempercayaiku.
Tidak kuduga Muhammad Rifki Andhika, Presenter terkenal itu pergi dalam usia begitu muda. Belum tiga puluh tahun.  Terlebih ia pergi meninggalkan kesan tanya, sulit bagiku untuk menerima ia pergi.
Dua bulan terakhir ini Rifki adalah seniorku di ajang pencarian bakat Jurnalistik. Dia mempunyai sikap yang humanis, fleksibel dan mempunyai karismatik yang tinggi. Semua orang yang berada didekatnya begitu nyaman. Termasuk aku sendiri. Selain berkarismatik wajahnya memang tampan, hidung mancung, berkulit putih, perawakaanya tinggi besar.
Pada waktuy itu aku mengikut ajang pencarian bakat jurnalistik, saat itu aku bermasalah dengan jilbab yang ku pakai karena terlalu lebar untuk seorang calon jurnalistik, meski begitu aku lolos karena kegigihan atas cita-citaku sebagai seorang jurnalistik professional. Waktu itu tahap wawancara, kebetulan aku mendapat giliran wawancara dengan presenter kondang tidak lain adalah Rifki. Hatiku senang bukan kepalang mendapatkan kesempatan diwawancari oleh sang idola. Meskipun saat wawancara dag-dig-dug, wawancara berhasil dan aku lolos masuk ke tahap berikutnya.
Kesan pertama waktu itu sangat berarti, aku ingat ketika  itu, aku melihat list wawancara yang aku rancang sendiri, dugaan sementara yang mungkin akan ditanyakan oleh Rifki. Akhirnya waktu wawancara pun tiba, hatiku berdegup kencang.
 “Dina Fauziyah..!” Lalu aku memasuki ruangan
 “Dina Fauziyah..?” Suaranya menggantung wajahnya yang menunduk melihat list nama anggota jurnalis perlahan melihatku
“Iyaa pa, Assalamualaikum Wr. Wb....” Aku semakin terlihat grogi..
Rifki tersenyum seperti menahan geli..
“Tertawa saja pak, tidak usah ditahan..” Aku sambil mengetuk-ngetuk jari-jariku ke meja
“Kenapa tangan kamu gemetaran..?, Bukankah seorang jurnalis harus bisa mengendalikan diri, baru juga wawancara belum terjun ke lapangan..” Rifki Andhika seperti ragu..
“Afwan pa, boleh saya minta satu permintaan sebelum wawancara..?” Aku dengan raut wajah yang tidak mengenakan
“Boleh, apa permintaanmu..?” Rifki menanyakan..
“Saya mau wawancara saya ditemanin dengan panitia perempuan..?” Jawabku
“Kenapa..? Rifki penasaraan
Jika saya tidak di temani saya akan merasa malu dan takut..” aku dengan tegas..
“Malu dan takut..!!,  kamu itu calon jurnalistik jangan mental cemen..!”Rifki menimpaliku
“Bapak benar, meski begitu!,  malu dan takut tetap harus ada. Jika tidak, kejujuran akan semakin menghilang dari kebudayaan kita, keberanian diatas ketidakadilan , itu semua karena malu dan takut kian pudar dari sikap seseorang..” Aku dengan tegas
“Kamu benar, lantas apa yang kamu telah perbuat, sampai kamu minta ditemanin dengan panitia perempuan, apa yang kamu takuti dan merasa malu?” Rifki  kembali menimpaliku

Satu,hanya satu karena hati seorang perempuan, jika tak ada malu dan takut siapa yang dapat melindungi perempuan..!” jawabku dengan tegas
        Mendengar jawabanku, dia terdiam seakan membenarkan..
“Hmmm, baiklah..” Rifki sambil manggut-manggut
“Baik, sebelum saya panggil panitia perempuan masuk. saya akan bertanya satu hal, Apa yang melatar belakangi kamu ikut dalam ajang pencarian bakat mengenai jurnalistik?” Rifki
“Satu, saya ingin belajar  mengabaikan perasaan diri sendiri untuk masyarkat, intinya bukan karna materi bukan ingin terkenal tetapi lebih ke pengabdian..!” Aku menyakinkan Rifki
“Baiklah, jawabanmu menyakinkanku,  kamu, LULUS..!”Rifki tersenyum, ia sambil melayangkan tangannya untuk berjabat tangan
‘Afwan pa, terima kasih banyak..” Aku hanya menyalami tanpa berjabat sambil sedikit membungkukan kepala
Muka Rifki terlihat malu karena tangannya tak disambut.
“Yah sama-sama...?” Rifki dengan senyum memaksa
“Terimaksih pak, terimakasih..” Aku mengulang-ngulang ucapkan terima kasih sambil  melepaskan senyuman termanisku. Itulah asal mula ia tertarik kepadaku.
        Setelah kejadian itu, ia berani mengantarkanku pulang, memberiku coklat, mengirim bunga kerumah. Kesan kedua bersama almarhum.Waktu itu saat pertama kali ia mengajak pulang bersama.
        Saat itu selepas trainer, aku harus segera pulang sebelum magrib. Kalau tidak aku akan buka puasa dijalan. Waktu itu, saat menunggu taxi, tiba-tiba ada mobil mewah berhenti tepat didepanku, lalu aku bergeser, mobil itu kembali berjalan dan berhenti tepat di depanku “Nih orang mau nyulik apa yah..” dalam hati aku membatin.
Tiba-tiba kaca mobil itu terbuka” Din..?” Panggilannya lembut
“Astagfirullahaladzim..Bpk. Rifki..” Dalam hati
“Iya pa, maaf  saya kira bukan bapak..” Aku sedikit tidak enak..
“Mari saya antarkan pulang..?” Rifki menawariku..
“Tidakk usah pa..” jawabku menggantung..
“Kamu tidak bisa menolakku, di mobilku ada asistenku dia perempuan, mari pulang bersama..”Rifki kembali menawariku
Aku  melihat tapi tidak ada sosok  perempuan dimobilnya. Seketika pria yang duduk didepan bersama supir menoleh,
“Saya perempuan mbak, casingnya seperti lelaki yah..” ia tersenyum sambil mengulurkan tangan
“Panggil saja aku mbak Rany..” Ia begitu ramah
“Oh maaf mbak..” Dina langsung menaiki mobil dan duduk di belakang supir bersebelahan dengan Rifki.
“Ayo pa jalan..” Rifki
“Jangan dulu pa..” Aku sedikit tak nyaman
“Kenapa, ada yang tertinggal..?” Tanya Rifki sedikit panik
“Tidak ada, cumannnn.. bapak tidak  pindah ke depan bertukaran dengan mbak Rany..” Aku nyengir
“Ohhh, baiklah dina, maaf.. “Ia tersenyum sedikit terpaksa..
        Suasana didalam  mobil sangat hening, seketika dipecahkan oleh suara adzan magrib dari HPku. Lantas suara Adzan itu, aku  mulai angkat bicara.
“Mbak rany, apakah dimobil ada air ..?” Dina menanyakan pada asisten Rifki
“Tidak ada mbak..”Asisten Rifki
Tiba-tiba Rifki menawariku “ Kamu haus, minum saja punyaku, tidak apa-apa..” Ia sambil menyodorkan air yang berada di botol
“Terima kasih..pa” Jawabku
        Lalu sebelum membatalkan puasa aku membaca doa tanpa bersuara. Kulihat Rifki mengintip dari kaca.
“Oh kamu puasa..?” Tanya Rifki
“Iya pa..”
“Baiklah kalau begitu nanti kita makan terlebih dahulu..”
“Tidak usah pa, langsung pulang aja..” Aku merasa tak enak
“Saya lapar, cuma sebentar..” Rifki mencari alasan
        Lalu mereka turun dirumah makan sunda, Dina dan asisten Rifki beranjak duduk sedangkan Rifki memesan makanan. Saat menunggu Rifki, tiba-tiba asistenya mengajaknya mengobrol.
“Sudah lama lho bapak tidak seperti ini, semenjak ditinggalkan oleh tunangannya yang bekerja diluar negeri..!” Rany dengan gaya lelaki
“Ohh.. saya tidak mengerti mba, maksud mbak..?
        Namun pembicaraanya tidak diteruskan karena Rifki keburu datang. Dari situ aku belum pernah bertemu lagi dengan mbak rany, belum sempat kutanyakan. Sekarang keadaanya sedang kritis. Ini benar-benar membuatku bingung.
        Terakhir ku berkomunikasi denganya, malam sekitar pukul tujuh malam lebih sedikit. Lantas sekitar jam dua pagi ia pergi untuk selamanya karena kecelakan mobil.
        Waktu itu aku merasa risih melihat kelakuan Rifki, Kali ini aku mengcut Rifki bukan di telpon, tetapi langsung didepannya.
“Apa maksud semua itu, pa..?” Aku memberanikan diri ‘tuk bertanya
“Maksud apa din..?” Rifki tersenyum
“Mengirimkan bunga setiap pagi, mengirimi coklat 12 kali..hmmm salah 14 kali..!” Aku sambil mengingat-ingat
“Memang kenapa..?” Rifki tersenyum  menyebalkan
“Bukankah itu hanya dilakukan seorang pria untuk kekasihnya.. ?” Aku dibuat kesal  olehnya
“Benar, tapi bagi saya tidak..!,  memberi coklat dan bunga bukan hanya untuk kekasih, tetapi orang terkasih seperti orang tua saudara, teman, sahabat, rekan bisnis..” jawab Rifki
“Hmm, lantas kamu memberikanku  karna aku siapa..!”
“Hmmm, aku juga bingung..” Rifki tersenyum dan langsung pergi begitu saja
        Melihat kelakuannya aku benar-benar kesal. Akhirnya  ku putuskan untuk mengembalikan bunga dan coklat kepadanya. Dan aku berjanji, tidak akan mengangkat telpon dari Rifki. Beberapa hari Rifki menghubungiku, sms dan telepon namun tidak  aku gubris. Di tempat trainer pun Rifki sulit menemuiku.

Saat ingat itu tangisanku pecah. Pikirku tiada 'kan menanti jika ada kata, setidaknya pembenarannya  aku pegang lalu dijajaki dalam hati meski melakukaknya seperti mencabuti duri dalam dingding hati.

"Bukan tanpa kata, bukan tanpa kata! " dalam batinku sambil menahan tangis

Semua hanya ciptakan keperihan yg tak berarti. Dapatkah berpeluh kesah keperihanku.
 "Bukan tak dapat.., melainkan aku bukan siapa-siapa, aku tak mengerti..!" Aku kembali bersenandung dalam hati

Pesan terakhir darinya, saat itu berisi…

“Din, jangan seperti ini, bersikaplah baik dengannku, baiklah aku berjanji akan berbicara jujur, tapi tidak sekarang ..” isi pesan Rifki
        Sesekali aku mengusap air mata yang keluar yang tak dapat kutahan-tahan. Almarhum mulai diangkat dengan kreta kencana ‘tuk menghadap Ilahi. Saat suara tahlil meliuk-liuk menghantarkan almarhum dikebumikan. Aku benar-benar tak kuat berdiri. Setelahnya kuputuskan untuk pulang kerumah
*****
           Ada suara detik jam berkrik-krik. Sayup-sayup terdengar jama’ah masjid bersenandung shalawat Nabi, lembut melunakkan hati. Sekejap aku ingat sedang duduk diruang tengah, rupannya pikiranku lalu lalang aku masih dengan tanya yang mengganjal dalam hati. Mengenai arti sebuah sikap seseorang. Setelah hampir dua bulan atas perginya Rifki, tanya itu masih tetap bertepi.
        Senandung shalawat Nabi kian menghilang. Jama’ah masjid dekat rumahku  t’lah pulang ke rumah masing-masing. Aku seperti kembali dalam keheningan, diam dan sepi. Memandangi foto Rifki, Lelaki yang t’lah menemui kematian dua bulan lalu.

        Jam berapakah sekarang..? pikirku. Kuperhatikan jam dinding yang berkrik cukup berisik. Pukul Lima pagi lebih sedikit. Aku belum shalat shubuh. Seketika Foto Rifki yang berada di meja terjatuh ke lantai, menyadarkan aku untuk beranjak  menunaikan shalat shubuh. Dalam shalat aku menangis, aku berada dalam tidak kekhusyukan.
“Astagfirullahaladzim…” Aku membatin, sambil menangisi apa yang terjadi. Aku kembali berdiri untuk shalat, namun beberapa kali aku menangis dan entah untuk keberapa kali  aku berdiri dari tangisanku. Akhirnya shalat shubuh pun bisa kudirikan.
        Hari ini aku kembali bertarung dalam mimpi seorang perempuan. Kali ini kegiatan  satu bulan ke depan trainer sebelum tahap ujian menjadi presenter berita. Mengawali hari yang begitu berat dengan kalimat basamalah.
“Bismilahirahmanirahim, mudahkalah urusanku ya Rabb..” Aku bersenandung dalam hati dengan senyuman yang sedikit memaksa.
Saat membuka pintu, aku melihat sosok perempuan berjilbab mengenakan kursi roda. Aku seperti mengenali perempuan itu, namun aku benar-benar tak ingat. Lalu aku hanya mengucapkan salam dan senyum untuk perempuan berjilbab itu.
“Assalamualaikum..” Aku sambil tersenyum
Lalu perempuan itu, memanggilku nampaknya ia mengenaliku..
“Dina..?”
“Ya, kau mengenaliku..?”  Jawabku
Tiba-tiba tangannya langsung merengkuhku dan memelukku dengan erat, perempuan itu menangis. Aku hanya bingung karena  tak tahu siapa perempuan ini.
“Aku Rany asisten Rifki..” Ia menangis
“Asisten  Rifki, Muhammad Rifki Andhika..?” Aku sontak kaget
“Ia benar, din..” Ia sambil melepas tangannya dari pundakku
“Kau memakai jilbab..?” Aku tak percaya atas perubahan yang terjadi pada asisten Rifki
“Apa yang terjadi, ceritalah, bagaimana semua ini terjadi mba..? Aku sambil mengusap air matanya
“ Waktu itu sekitar pukul setengah dua belas malam, kejadianya begitu cepat sekali. semanjak mengantarkan kamu pulang mas Rifki yang biasa duduk di belakang sekarang lebih menyukai duduk di depan samping sopir, sempat aku tanya kenapa, ia hanya bilang menjaga, saat kejadian mas Rifki tertidur..begitulah keajadiannya..” Rany sambil menangis
“Ia sempat kritis selama dua jam, namun nyawanya tak tertolong..” Pungkas Rany
Mendengarnya aku hanya bisa menangis, lantas Rany memberi sebuah buku diary berwarna merah kepadaku..
“Kau pasti mencari tahu mengenai Rifki, bacalah buku diary ini, semua jawabannya ada disini..” Rany tersenyum mencoba menguatkanku
“Terima kasih mbak..” Aku memeluknya erat
 “Kamu jangan pernah menyesalinya, ia lelaki yang baik, sebelum bertemu kamu ia jarang tersenyum karena ditinggal oleh tunangannya yang bekerja diluar negeri. Ia lebih menyukai menulis tentang kamu dari pada mengungkapkanya. Ia ingat apa yang kamu katakan dulu yaitu takut dan malu. Pikirnya takut dan malu bukan hanya perempuan yang harus memiliki rasa itu tetapi lelaki juga penting. Takut dan malu dalam pengertian takut dan malu kepada Allah bukan yang lain. Terakhir ia mengatakan kepadanku baru kali ini ia mencintai seseorang dengan menjaga dan menghormatinya dan rasanya sangat membahagiakan.. itu ia yang katakan kepadaku..” Rany menjelaskan
Mendengar semua penjelasan Rany, aku merasa lega dan bahagia.
*****






        Perlahan ku buka diary itu, lembar pertama berisikan “ Selamat datang bidadariku, sudah lama kau menunggu hari ini..?” Muhammad Rifki Andhika. Aku hanya bisa menangis dan tersenyum membacanya.
                                    Puisi Muhammad Rifki Andhika :
Tiada dimengerti kecuali mengenaliku dalam keheningan
Dalam diamku “kan  terdengar bias-bias kerinduan
Aku ‘kan selamanya menanti panjang, peraduan..!
Peraduan antara  kata mencintai dan kepemilikan.

Biarlah kumenanti panjang, menunggumu.
Kodratku tiada upaya kepemilikan kecuali penitipan.
Aku punya rasa yang dititipkan Tuhan.
Kujaga, bukan ku jajahi lalu menyalahimu..

Biarlah kumenanti panjang, menunggumu.
Janganlah kau pecahkan semua dengan inginmu
Bukan memberiku tempat nyata,tapi semu..!
Singkap gundahmu, ku menanti bersama cinta Tuhan.

Menantimu, bukan hanya menunggu Matahari kembali
Bukan hanya menunggu rembulan dan bintang pada malam hari
Melainkan, aku menantimu menemani pagi, sampai malam-malam
Tak perlu khawatir, Aku menantimu bersama cinta Tuhan.

Meski Matahari datang, Panas!
Aku akan sedikit berpengarah..
Tuhan akan menitipkan kesegaran, sesekali..sesekali
Lalu Tuhan ‘kan turunkan hujan, untuk menguatkanku lagi..
Lalu, seterusnya seperti itu,biarlah ku menanti panjang, menunggumu bersama cinta Tuhan….”.Muhammad Rifki Andhika





Puisi Muhammad Rifki Andhika :

Malam-malam gelap berganti pagi-pagi menyegarkan
Menunggu matahari, sampai ia tak datang lagi
menunggu hujan, sampai ia tak bergermecik lagi
Menunggu rembulan, sampai ia bosan menemui malam
Menunggu bintang-bintang, sampai ia tak lagi berkelip
Menunggu, daun tubuh kembali sampai ia gugur bertebaran..
Menunggu, Angin sampai ia tak kuasa beri kesegaran…
Menunggu, Bunga mekar sekejap layu, lalu punah
Menunggu,  aku akan menunggumu laiknya semua itu, perempuanku..!


" Ia matahariku..!", aku yakin. "Ia matahariku setiap hari tersenyum..!" Penyempurnaan dari semua rasa yg khawatir, takut, sampai sebuah pengakuan. Dan pagi ini seperti dipecahkan, menahan tangis, merajut mimpi atau ke egoisanku " dia tetap matahariku.." sampai kapan pun ia Matahariku.." Aku akan menunggu matahariku tersenyum kembali di syurga-Mu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar