Oleh : Aisyah
Asafid Abdullah
“Sorak-sorai sambut merdeka
Apa daya hati tetap terluka
Meski cita setinggi angkasa
Satu senyuman takkan jadi nyata
Satu penghalang menderu-deru
Ciptakan merdeka seakan semu
Demi mimpi jadi nyata
Demi bunga jadi mekar merekah
Sibak haluan menagih janji
Bukan maksud ‘tuk dipuji
Dipingit bukan penghalang
Menunggu dengan harapan
Tak ada maksud menjadi nomor satu
Pikirku cuma satu
Tiada arti hidup tak berilmu
Meskipun aku, calon seorang ibu!”
Waktu begitu cepat berlalu, setiap waktu
aku menari menginjaki bola sekecil biji sawi. Sampai detik ini kulakukan. Jika
berhenti aku pasti mati, meninggalkan sebuah nama yaitu “Pecundang”.
Zaman sekarang orang berbicara
jujur ditembak mati, pendusta asyik menghitung kerakusan, dan bermain
kenistaan! Bergelayat dalam
pikiranku.
Kehendak kuingat masa kecilku dulu, kujadikan
alarm hati untuk menguatkanku. Bahwa hidup untuk mati. Menjadi korban dan
tersangka fitnah bukan alasan untuk goyah tapi lebih menguatkanku. Ini tak
berarti apa-apa, jika berpengharap pada anak adam memujiku. Lebih baik aku
diam, bahagia dan sedih dalam kesunyian.
Dahulu ketika ku baru menginjakan kakiku
ke kelas enam SD, Aku mendapat pelajaran luar biasa.
{ { {
Pukul 11.30 WIB lonceng SD Sampiran
berbunyi, menandakan waktu belajar-mengajar selesai. Aku bersama ketiga
sahabatku, memulai perjalanan panjang. Yaitu pulang ke rumah berjarak sekitar 1
km.
Saat itu matahari bertengger tepat di
busur langit memuntahkan panasnya. Karena merasa terpanggang, keringat pun
menetas dari pori-pori seluruh badanku. Tak dipungkiri, dahi dan bawah hidungku bercucurankeringat. Kerap kuusap dengan kerudung putihku yang dekil dan kecut.
Karena tak tahan panas matahari, aku pun
mengajak Ranewi, Saidah dan Samiyah. Mengajak mereka berteduh di bibir sawah,
di bawah pohon Asam. Keteduhan pun terasa, seakan Tuhan berbisik, Ia tidak hanya menciptakan
panas. Namun kesegaran melepas dahaga pun
Ia ciptakan. Ia pun meniupkan angin, membuat dahan pohon Asam melambai-lambai
mengipasi sampai ke hati.
Di pipi sawah, padi masih muda itu ikut
senang menari-nari. Tepatnya di bawah
lengkungan langit yang merekah biru.
Andai saja ada mobil angkut
melewati jalan ini. Aku akan memberhentikannya dan kami akan menumpang. Meski
hanya sampai simpang tiga menuju ke arah kota dan desaku! Aku berandai-andai.
Kami kembali menyusuri jalan, sebentar
lagi mencapai setengah perjalanan. Demi membuang rasa lelah dan bosan, sembari
berjalan, kebiasaan kami terputar kembali. Bermain mencari capung. Siapa
mendapat capung dengan jumlah paling sedikit, akan ditinggal lari. Permainan
pun dimulai dengan menggunakan alat
sederhana buatan sendiri yang terbuat dari bambu, kantong plastik dan tali
rapia.
Saidah mengambil alat penangkap capung
yang sudah tersimpan di tempat aman. Lalu kami bersiap menangkap capung yang
bertaburan menciumi kepala padi itu. Waktu begitu cepat berlalu, permainan pun
telah usai. Waktunya menghitung capung yang sudah tertangkap oleh
masing-masing.
Sepertinya hari ini tak begitu memihakku,
capung tangkapanku lebih sedikit dari sahabat-sahabatku. Karena itu ketiga
sahabatku meninggalkanku. Mereka berlari sekencang-kencangnya. Sedangkan aku
tidak bisa berlari sebelum menyamai jumlah capung yang mereka tangkap.
Setelah ditinggal lari oleh ketiga
sahabatku. Aku kembali mencari dan menangkap capung. Tinggal dua capung lagi
yang harus kutangkap. Setelahnya aku bisa berlari mengejar mereka. Kupandang
kejauhan jalan yang ‘kan kutempuh, batang hidung ketiga sahabatku sudah tak
mampu kulihat.
“Wahhh …
cepat sekali mereka!” Lirihku dalam hati.
Tiba-tiba ada mobil pick up mengangkut rumput. Mobil itu melintas
dengan pelan, tiba-tiba mobil itu mengklasoniku.
“Tett … tet … teeet ….”
“Dik, mau ikut nggak? mobil mau ke arah
kota, nanti kau turun di simpang tiga!” Seseorang yang di samping supir
menawariku.
Aku berfikir sejenak lalu melihat capung
yang masih kurang dua, langsung
kugelengkan kepala menandakan aku tak mau.
“Ya sudah, hati-hati ya, nih tadi aku
menemukan buku, ambil saja untukmu!” Ia sambil menyodorkan sebuah buku bersampul coklat.
“Iya terima kasih, Pak!” Kataku aku
sambil menorehkan senyuman.
Kuambil buku yang sudah kusam dan lusuh
itu.
Sampulnya
berwarna coklat bergambar seorang pahlawan perempuan, yaitu
Kartini. Judul buku itu “Habis gelap Terbitlah Terang”[1]. Karena ranselku kecil, buku bersampul
Kartini itu akhirnya kujepitkan di pinggang.
Sampulnya
Aku kembali mencari capung untuk memenuhi
permainan. Sebenarnya bisa saja aku berbohong pada sahabat-sahabatku,
berpura-pura sudah menyamai jumlah capung yang mereka tangkap. Lalu berlari
mengejar mereka atau ikut mobil yang menawariku tadi. Tetapi ketidakjujuran
akan menjadi penyakit yang kuciptakan sendiri. Menciptakan boomerang waktu yang
tidak dapat kukendalikan. Akhirnya, dengan susah payah aku mendapat dua capung
untuk memenuhi permainan dengan sahabatku.
Meskipun nafsu untuk berlari mengejar
mereka telah surut. Aku seperti mendapat ketenangan dan lebih terarik membuka
buku bersampul Kartini. Ku bolak balikan buku, sampul belakang tertulis :
“Tiada awan di langit yang tetap selamanya, tiada mungkin akan
terus-menerus terang cuaca, sehabis malam gelap gulita lahir pagi membawa
keindahan, kehidupan manusia serupa alam, air hujan yang menjadikan sebatang
tumbuh-tumbuhan, berdaun dan bertunas menumbangkan yang lainnya, dan menjadikan
tumbuhan itu busuk, tiap-tiap hari harus kita doakan kepada Tuhan: Kekuatan![2]”.
Meski tidak bisa kupahami apa arti
keseluruhan kalimat, namun dalam hati, sedikit tertegun seperti tahu kalimat syarat makna.
Belum satu halaman kubaca, aku menutup
buku, bukan tidak menarik tetapi panas matahari membuat mataku sakit dan
sedikit pusing.
{ { {
Selepas mengarungi perjalanan panjang menuntut
ilmu, sesampai dirumah aku langsung menanggalkan baju seragamku.
“Assalamu’alaikum ….” Sambil membantingkan tas kecilku ke
lantai, mencari-cari sosok ibu.
“Wa’alaikumussalam … Pasti kamu kalah lagi ya?” Kata Ibu
sambil tersenyum.
Aku menganggut menaruh muka keletihan.
“Apa itu, Ki, yang kamu kempitkan di
pinggang?” Tutur Ibu seraya menyambut tanganku untuk bersalaman.
“Buku, bu.” Aku sedikit kesal karena lelah.
“Oh ya sudah, kamu istirahat, tungguin
rumah, jangan lupa shalat yah,
kalau mau makan ada panjelan[3], daun Pepaya rebus dan sambal terasi,
Ibu mau jualan dulu!” Ibu sembari menguatkan ikatan kain dagangan di
pungggungnya.
“Iya bu.” Jawabku.
Sebelum menunaikan shalat Dzuhur aku merebahkan badanku ke lantai semen. Ces,
begitu bunyi dalam hati, badanku seperti masuk dalam lemari es. Setelah
beberapa menit berbaring saja, badanku terasa segar. Kerap kuulangi setiap hari
selepas pulang sekolah. Meski hanya dengan lantai semen, semua itu bisa menjadi
penghiburan, pelipur lelahku setelah berjalan berjarak 1 km.
Usai menunaikan shalat, aku kembali
merebahkan badanku lagi, sambil membuka kembali buku yang diberi oleh orang
asing tadi.
Menurutku, kalimat buku Habis Gelap Terbitlah Terang begitu berat untuk ukuran seusiaku,
sehingga sulit kupahami. Tetapi, ada satu kalimat yang dapat kupahami,
kalimatnya sederhana namun berpengaruh terhadap cita-citaku.
“Bahwa
dia lain daripada anak gadis Eropa, lain dari laki-laki, bahwa nasib anak gadis
Jawa ialah menurut saja, cuma satu tujuan hidupnya, ialah nikah dengan orang
yang tidak dikenalnya.”[4]
Tidak lama terdengar suara dibalik pintu
rumah “Zakiyah … Zakiyah ….” Suara Ranewi dan Saidah.
Mereka datang bertiga dengan Samiyah.
Mengajakku menaiki pohon Jambu biji yang terdapat di kebun depan rumahku, tepat
di pinggir balong[5] ikan gurame milik bapakku.
Aku pun segera menutup buku. Karena
terburu-buru, buku kukempitkan di pinggang lalu kututupi dengan kaosku. Jika
Ranewi tahu, pasti ia akan merebutnya dariku. Lalu aku segera berlari menemui
mereka.
“Lama
banget, Ki ….” Ranewi kesal.
“Maaf
ya, aku habis shalat.” Aku berbohong.
Kami
berempat bermain di kebun depan rumah.
Satu persatu menaiki pohon Jambu. Lain dengan Samiyah, ia tidak bisa
memanjat. Ia hanya duduk di batu dekat pohon yang kunaiki. Siang menjelang sore
itu, meskipun mentari cukup terik, namun kami tidak merasa gersang, karena
menaiki pohon dan duduk di bawah pohon menyejukkan tiada tara.
Kesejukan alam pun tidak hanya membawa
kami dalam kesegaran, namun sedikit bersitegang.
“Ki, memang kamu shalat, sudah bisa baca
doanya!” Ranewi dengan nada menantang, seakan-akan ia menyepelekanku.
Karena aku belum hafal doa Iftitah, aku
bingung mau menjawab apa.
“Hayoo …! Tidak baca doa ya, Ki?” Saidah
menyudutkanku.
“Baca Surat Al-Fatihah dan Al-Ikhlas.”
Kataku dengan nada rendah. Aku ketakutan.
“Dihhh …! Tidak sah-lah shalatnya!”
Ranewi mengagetkanku.
Setelah itu aku hanya diam seribu bahasa,
terpojok pertanyaan konyol. Pada saat itu, buatku, ini adalah masalah besar.
Tidak membaca do’a Iftitah pada saat shalat adalah hal yang memalukan.
Lalu
setelahnya Ranewi kembali lagi menanyakan, kali ini Samiyah disudutkan dengan
pertanyaan yang sama, yang membedakan, Samiyah mengaku kalau dirinya hafal doa
Iftitah, namun ketika disuruh Saidah untuk membacakannya, ia tidak mau. Semakin
kesal-lah Ranewi, teman kecilku yang
merasa paling benar itu.
“Ngaku aja Sam! Kalau kamu tidak bisa baca doa iftitah! Seperti Zakiyah
tuh ngaku …!” Ranewi bergemul kesal.
Gadis yang rajin berpuasa Senin Kamis itu
tidak menjawab, Ia hanya diam tak menghiraukan pertanyaan Ranewi.
Hatiku
masih panas, tersulut pertanyaan Ranewi, aku yakin Samiyah pun merasakan hal
yang sama. Meski begitu lambat laun susana tercairkan oleh pertanyaan Saidah,
gadis yang tiap kali mendapat peringkat pertama di kelas.
“Ingin
kemana kita? Setengah tahun lagi kita lulus.” Saidah antusias.
Pertanyaan itu mengingatkan aku dengan
kalimat yang kubaca dari buku “Habis Gelap Terbitlah Terang"
“Bahwa
dia lain daripada anak gadis Eropa, lain dari laki-laki, bahwa nasib anak gadis
Jawa ialah menurut saja, cuma satu tujuan hidupnya, ialah nikah dengan orang
yang tidak dikenalnya”[6]
“Kalau
aku sudah jelas , mau masuk ke SMP Negeri!” Tukas Ranewi dengan nada tinggi.
Aku dan Samiyah diam seribu bahasa. Bukan
bertahan dengan sulutan Ranewi yang pertama, tapi aku bingung mau jawab apa.
Keinginanku masih beradu, antara keinginanku untuk sekolah dengan keinginan ibu
untuk berjualan membantu ibu, entah dengan Samiyah.
“Kalau kamu mau rencana kemana, Ki?”
Ranewi penasaran.
Pertanyaan Ranewi membuatku gelagapan,
salah tingkah karena buku yang kukempitkan di pinggang seperti mau jatuh.
Plakk …
Bukuku jatuh tepat di hadapan Samiyah.
Aku berpura-pura menengok ke kanan
kiriku, seakan mencari sumber suara tadi.
“Hmmmm, masih bingung antara sekolah atau
berjualan tahu
gejrot![9]” Aku antara sedih dan sedikit lega
karena Ranewi tidak melihat bukuku yang jatuh.
“Kalau kamu Sam?” Saidah memalingkan mukanya
ke bawah arah Samiyah
“Ehmm … Aku tidak melanjutkan sekolah! Belum
lulus sekolah SD saja orang tuaku sudah gelagapan cari uang!” Samiyah dengan
mengepitkan bukuku antara perut dan pahanya.
Adzan berkumandang, menandakan waktu
shalat Ashar telah datang. Tidak lama, setelah adzan itu terhenti, Bapakku
pulang dari sawah. Ranewi dan Saidah langsung bergegas pulang. Lain dengan
Samiyah yang rumahnya berdekatan denganku.
“Ki, aku pinjem dulu yah bukunya …” Samiyah meminta padaku, dan aku mengiyakan dengan menganggukkan
kepala.
“Kalau kau punya mimpi, sepertinya buku
itu berisi tentang mimpi-mimpi perempuan.” Pungkasku.
“Kau sudah selesai membacanya?” Tanya
Samiyah.
“Belum, kalimatnya terlalu sulit
kupahami. Selesaikan membacanya Sam, lalu terangkan isinya padaku.” Jawabku
dengan tersenyum.
“Baiklah.” Jawabnya sambil membalas
senyumku.
Samiyah adalah seorang gadis pencinta
buku, karena hobinya membaca. Ia gadis paling cantik di Desa Sampiran. Gadis
yang pintar meskipun tidak sepintar Saidah dan Ranewi. Ia tergolong gadis yang
mempunyai semangat dalam menuntut ilmu. Namun karena keadaan ekonomi
keluarganya, ia tidak terlalu memaksakan.
Setelahnya, aku langsung menuju dapur
menyiapkan makanan untuk bapakku. Maklum Ibu belum pulang dari jualan tahu
gejrot. Setelah itu aku menimba air dari sumur tua yang berada di belakang
rumah. Ku isi bak dan padasan[10] yang sudah berlumut itu sampai penuh. Lalu,
kulanjutkan mandi dan mengambil wudhu. Setelahnya mulailah Aku bermunajat cinta kepada Allah berjama’ah dengan bapak.
{ { {
Jam dinding di ruang tamu berbunyi meskipun secara
fisik bisa dikatakan cacat namun masih terdengar nyaring dan nyaris tak pernah
ngaco. Pukul 17.13 WIB, ibu baru datang.
“Assalamu’alaikum .…” Salam Ibu sembari melepaskan kain
gendongannya.
“Wa’alaikumussalam ….” Aku dan Bapak menjawab salam sembari
menyalami ibu.
“Tumben Pulangnya lama, bu? Biasanya jam setengah lima sudah pulang sampai rumah,
bu?” Bapak menayakan.
“Sepi, pa.” Ibu sembari lari kecil.
“Aduh ibu belum shalat nih, pa!” Ibu sediki ribet,
karena kain yang ia pakai menghalangi melangkah lebih cepat.
Ibu dan Bapak terpaut usia sangat jauh. Kini ibu
berusia dua puluh lima tahun sedangkan bapak tiga puluh delapan tahun. Ibu
menikah dengan Bapak berusia sebelas tahun, umur tiga belas tahun ia
melahirkanku. Aku anak semata wayang, karena setelah melahirkanku ibu empat
kali hamil namun selalu pendarahan.
Meski aku anak semata wayang, aku tak dimanja. Aku
tergolong anak yang penurut dan pendiam. Jika sesuatu keinginanku berbeda
dengan Bapak dan Ibu. Pasti aku akan merubahnya menyamakan keinginanku dengan
keinginan mereka.
Setelah
Ibu shalat, ia bercerita pada Bapak bahwa Samiyah, temanku telah dilamar oleh
pria kaya yang sudah beristeri dan orangtuanya
menerima lamaran itu. Aku mendengarnya sontak kaget. Kakiku segera
berlari ke rumah Samiyah yang tidak jauh dari rumahku.
Di
rumahnya tidak terlalu ramai, namun ada seorang pria dewasa berkulit putih
sekitar usia dua puluh delapan tahun mungkin pria itu yang melamar Samiyah. Aku
pun segera menuju tepi rumah Samiyah mengintip dari jendela kamarnya, menunggu ia masuk ke kamar.
Tiba-tiba Samiyah masuk ke kamarnya. Langsung kuketuk jendela kamarnya, ia pun
membukanya.
“Apa kamu dilamar, Sam?” Kataku sambil
menangis.
“Iya, Ki.” Tutur Samiyah sambil memasang
senyum terpaksa.
Mendengar dari mulut gadis kecil itu,
hatiku serasa tergores perih. Perkiraanku tidak meleset. Benar dugaanku, meski
ia punya mimpi namun tak pernah
memaksakan menjadi kenyataan.
“Apa kamu menerimanya, Sam?” Aku mengusap
airmataku dengan lenganku.
“Iya. Aku menerimanya, tiga bulan lagi ia
akan menikahiku ....” Samiyah mulai tak bisa menahan tangisnya.
“Tiga bulan lagi? Lantas bagaimana dengan
sekolahmu?” Aku dengan suara serak karna menahan tangis.
“Tak usah kau pikirkan masalah sekolah,
Ki. Orangtuaku saja tak mempedulikan hal itu!” Jawabnya sambil mengusap airmatanya
yang mulai membasahi pipinya.
“Oh ya, Habis Gelap Terbitlah Terang, mimpi-mimpi seorang perempuan sudahkah
kau membacanya?” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan untuk menghiburnya.
“Ini bukumu, sudah selesai kubaca!”
Jawabnya sambil mengembalikan bukuku.
“Kau bohong, kau pasti belum selesai
membacanya!” Aku sedikit menggertaknya.
“Tidak Ki, aku sudah selesai membacanya.”
Jawabnya.
Aku hanya diam mendengar jawabannya,
Tiba-tiba Samiyah membaca salah satu kalimat dari buku yang ia pinjam dariku.
“Bahwa dia lain daripada anak
gadis Eropa, lain dari laki-laki, bahwa nasib anak gadis Jawa ialah menurut
saja, cuma satu tujuan hidupnya, ialah nikah dengan orang yang tidak
dikenalnya”[11]
Setelah ia membacakannya untukku, Samiyah
pergi dari kamarnya begitu saja.
“Bukan, itu bukan isi dari buku itu!” Aku
teriak, namun ia tetap saja beranjak dari hadapanku. Dan aku hanya bisa
menangis tanpa berkata apa-apa lagi
{ { {
Aku yakin sampai detik ini. Saat itu, ia
belum selesai membacanya. Ia berbohong
agar aku tak mengkhawatirkanya. Ketika kuingat masa itu, mengingat suara
tangisanya hatiku seperti teriris-iris. Inikah yang dialami bagi perempuan,
berkelahi dalam mimpi? Dan sebagian mereka hanya mengatakan bahwa ini masalah
klasik.
Tak dapatku mengerti jika
kuingat kisah sahabatku, pikiranku merangkum antara perempuan dan keadilan.
Antara cinta yang kian memudar maknanya, kejujuran kian terletak di bawah kaki
pendusta. Aku masih berkelahi dalam mimpi, menari di atas bola sekecil biji
sawi, menari dan berputar sampai mati tetap berkelahi dalam mimpi, Perempuan!
[1] Habis Gelap Terbitlah Terang karya Armijn Pane, Penerbit
Balai Pustaka
[3] Panjelan sebutan orang Cirebon untuk ikan jambal
[5] Balong sama seperti empang
[7] Pesantren
[8] Clingak clinguk sama seperti tengok kanan-kiri
[10] Padasan adalah alat yang digunakan untuk berwudhu yang
terbuat dari gentong
Tidak ada komentar:
Posting Komentar