Rabu, 12 November 2014

Berkelahi dalam Mimpi

Oleh : Aisyah Asafid Abdullah


“Sorak-sorai sambut merdeka
Apa daya hati tetap terluka
Meski cita setinggi angkasa
Satu senyuman takkan jadi nyata

Satu penghalang menderu-deru
Ciptakan merdeka seakan semu
Demi mimpi jadi nyata
Demi bunga jadi mekar merekah

Sibak haluan menagih janji
Bukan maksud ‘tuk dipuji
Dipingit bukan penghalang
Menunggu dengan harapan

Tak ada maksud menjadi nomor satu
Pikirku cuma satu
Tiada arti hidup tak berilmu
Meskipun aku, calon seorang ibu!”

Waktu begitu cepat berlalu, setiap waktu aku menari menginjaki bola sekecil biji sawi. Sampai detik ini kulakukan. Jika berhenti aku pasti mati, meninggalkan sebuah nama yaitu “Pecundang”.

Zaman sekarang orang berbicara jujur ditembak mati, pendusta asyik menghitung kerakusan, dan bermain kenistaan! Bergelayat dalam pikiranku.

Kehendak kuingat masa kecilku dulu, kujadikan alarm hati untuk menguatkanku. Bahwa hidup untuk mati. Menjadi korban dan tersangka fitnah bukan alasan untuk goyah tapi lebih menguatkanku. Ini tak berarti apa-apa, jika berpengharap pada anak adam memujiku. Lebih baik aku diam, bahagia dan sedih dalam kesunyian.
Dahulu ketika ku baru menginjakan kakiku ke kelas enam SD, Aku mendapat pelajaran luar biasa.

{ { {
Pukul 11.30 WIB lonceng SD Sampiran berbunyi, menandakan waktu belajar-mengajar selesai. Aku bersama ketiga sahabatku, memulai perjalanan panjang. Yaitu pulang ke rumah berjarak sekitar 1 km.
Saat itu matahari bertengger tepat di busur langit memuntahkan panasnya. Karena merasa terpanggang, keringat pun menetas dari pori-pori seluruh badanku. Tak dipungkiri, dahi dan bawah hidungku bercucurankeringat. Kerap kuusap dengan kerudung putihku yang dekil dan kecut.
Karena tak tahan panas matahari, aku pun mengajak Ranewi, Saidah dan Samiyah. Mengajak mereka berteduh di bibir sawah, di bawah pohon Asam. Keteduhan pun terasa, seakan  Tuhan berbisik, Ia tidak hanya menciptakan panas. Namun kesegaran  melepas dahaga pun Ia ciptakan. Ia pun meniupkan angin, membuat dahan pohon Asam melambai-lambai mengipasi sampai ke hati.
Di pipi sawah, padi masih muda itu ikut senang menari-nari. Tepatnya di bawah  lengkungan langit yang merekah biru.
Andai saja ada mobil angkut melewati jalan ini. Aku akan memberhentikannya dan kami akan menumpang. Meski hanya sampai simpang tiga menuju ke arah kota dan desaku! Aku berandai-andai.
Kami kembali menyusuri jalan, sebentar lagi mencapai setengah perjalanan. Demi membuang rasa lelah dan bosan, sembari berjalan, kebiasaan kami terputar kembali. Bermain mencari capung. Siapa mendapat capung dengan jumlah paling sedikit, akan ditinggal lari. Permainan pun dimulai dengan menggunakan  alat sederhana buatan sendiri yang terbuat dari bambu, kantong plastik dan tali rapia.
Saidah mengambil alat penangkap capung yang sudah tersimpan di tempat aman. Lalu kami bersiap menangkap capung yang bertaburan menciumi kepala padi itu. Waktu begitu cepat berlalu, permainan pun telah usai. Waktunya menghitung capung yang sudah tertangkap oleh masing-masing.
Sepertinya hari ini tak begitu memihakku, capung tangkapanku lebih sedikit dari sahabat-sahabatku. Karena itu ketiga sahabatku meninggalkanku. Mereka berlari sekencang-kencangnya. Sedangkan aku tidak bisa berlari sebelum menyamai jumlah capung yang mereka tangkap.

Setelah ditinggal lari oleh ketiga sahabatku. Aku kembali mencari dan menangkap capung. Tinggal dua capung lagi yang harus kutangkap. Setelahnya aku bisa berlari mengejar mereka. Kupandang kejauhan jalan yang ‘kan kutempuh, batang hidung ketiga sahabatku sudah tak mampu kulihat.
“Wahhh …  cepat sekali mereka!” Lirihku dalam hati.
Tiba-tiba ada mobil pick up mengangkut rumput. Mobil itu melintas dengan pelan, tiba-tiba mobil itu mengklasoniku.
“Tett … tet … teeet ….”
“Dik, mau ikut nggak? mobil mau ke arah kota, nanti kau turun di simpang tiga!” Seseorang yang di samping supir menawariku.
Aku berfikir sejenak lalu melihat capung yang masih kurang dua, langsung  kugelengkan kepala menandakan aku tak mau.
“Ya sudah, hati-hati ya, nih tadi aku menemukan buku, ambil saja untukmu!” Ia sambil menyodorkan  sebuah buku bersampul coklat.
“Iya terima kasih, Pak!” Kataku aku sambil menorehkan senyuman.
Kuambil buku yang sudah kusam dan lusuh itu. 

Sampulnya
berwarna coklat bergambar seorang pahlawan perempuan, yaitu Kartini. Judul buku itu “Habis gelap Terbitlah Terang”[1]. Karena ranselku kecil, buku bersampul Kartini itu akhirnya kujepitkan di pinggang.
Aku kembali mencari capung untuk memenuhi permainan. Sebenarnya bisa saja aku berbohong pada sahabat-sahabatku, berpura-pura sudah menyamai jumlah capung yang mereka tangkap. Lalu berlari mengejar mereka atau ikut mobil yang menawariku tadi. Tetapi ketidakjujuran akan menjadi penyakit yang kuciptakan sendiri. Menciptakan boomerang waktu yang tidak dapat kukendalikan. Akhirnya, dengan susah payah aku mendapat dua capung untuk memenuhi permainan dengan sahabatku.
Meskipun nafsu untuk berlari mengejar mereka telah surut. Aku seperti mendapat ketenangan dan lebih terarik membuka buku bersampul Kartini. Ku bolak balikan buku, sampul belakang tertulis :

“Tiada awan di langit yang tetap selamanya, tiada mungkin akan terus-menerus terang cuaca, sehabis malam gelap gulita lahir pagi membawa keindahan, kehidupan manusia serupa alam, air hujan yang menjadikan sebatang tumbuh-tumbuhan, berdaun dan bertunas menumbangkan yang lainnya, dan menjadikan tumbuhan itu busuk, tiap-tiap hari harus kita doakan kepada Tuhan: Kekuatan![2]”.
Meski tidak bisa kupahami apa arti keseluruhan kalimat, namun dalam hati, sedikit tertegun  seperti tahu kalimat syarat makna.
Belum satu halaman kubaca, aku menutup buku, bukan tidak menarik tetapi panas matahari membuat mataku sakit dan sedikit pusing.

{ { {
Selepas mengarungi perjalanan panjang menuntut ilmu, sesampai dirumah aku langsung menanggalkan baju seragamku.
Assalamu’alaikum ….” Sambil membantingkan tas kecilku ke lantai, mencari-cari sosok ibu.
Wa’alaikumussalam … Pasti kamu kalah lagi ya?” Kata Ibu sambil tersenyum.
Aku menganggut menaruh muka keletihan.          
“Apa itu, Ki, yang kamu kempitkan di pinggang?” Tutur Ibu seraya menyambut tanganku untuk bersalaman.
 “Buku, bu.” Aku sedikit kesal karena lelah.
“Oh ya sudah, kamu istirahat, tungguin rumah,  jangan lupa shalat yah, kalau  mau makan ada panjelan[3], daun Pepaya rebus dan sambal terasi, Ibu mau jualan dulu!” Ibu sembari menguatkan ikatan kain dagangan di pungggungnya.
 “Iya bu.” Jawabku.
Sebelum menunaikan shalat Dzuhur aku  merebahkan badanku ke lantai semen. Ces, begitu bunyi dalam hati, badanku seperti masuk dalam lemari es. Setelah beberapa menit berbaring saja, badanku terasa segar. Kerap kuulangi setiap hari selepas pulang sekolah. Meski hanya dengan lantai semen, semua itu bisa menjadi penghiburan, pelipur lelahku setelah berjalan berjarak 1 km.
Usai menunaikan shalat, aku kembali merebahkan badanku lagi, sambil membuka kembali buku yang diberi oleh orang asing tadi.
Menurutku, kalimat buku Habis Gelap Terbitlah Terang begitu berat untuk ukuran seusiaku, sehingga sulit kupahami. Tetapi, ada satu kalimat yang dapat kupahami, kalimatnya sederhana namun berpengaruh terhadap cita-citaku.
     “Bahwa dia lain daripada anak gadis Eropa, lain dari laki-laki, bahwa nasib anak gadis Jawa ialah menurut saja, cuma satu tujuan hidupnya, ialah nikah dengan orang yang tidak dikenalnya.”[4]
Tidak lama terdengar suara dibalik pintu rumah “Zakiyah … Zakiyah ….” Suara Ranewi dan Saidah.
Mereka datang bertiga dengan Samiyah. Mengajakku menaiki pohon Jambu biji yang terdapat di kebun depan rumahku, tepat di pinggir balong[5]  ikan gurame milik bapakku.          
Aku pun segera menutup buku. Karena terburu-buru, buku kukempitkan di pinggang lalu kututupi dengan kaosku. Jika Ranewi tahu, pasti ia akan merebutnya dariku. Lalu aku segera berlari menemui mereka.
     “Lama banget, Ki ….” Ranewi kesal.
“Maaf  ya, aku habis shalat.” Aku berbohong.
     Kami berempat bermain di kebun depan rumah.  Satu persatu menaiki pohon Jambu. Lain dengan Samiyah, ia tidak bisa memanjat. Ia hanya duduk di batu dekat pohon yang kunaiki. Siang menjelang sore itu, meskipun mentari cukup terik, namun kami tidak merasa gersang, karena menaiki pohon dan duduk di bawah pohon menyejukkan tiada tara.
Kesejukan alam pun tidak hanya membawa kami dalam kesegaran, namun sedikit bersitegang.
“Ki, memang kamu shalat, sudah bisa baca doanya!” Ranewi dengan nada menantang, seakan-akan ia menyepelekanku.
Karena aku belum hafal doa Iftitah, aku bingung mau menjawab apa.
“Hayoo …! Tidak baca doa ya, Ki?” Saidah menyudutkanku.
“Baca Surat Al-Fatihah dan Al-Ikhlas.” Kataku dengan nada rendah. Aku ketakutan.
“Dihhh …! Tidak sah-lah shalatnya!” Ranewi mengagetkanku.
Setelah itu aku hanya diam seribu bahasa, terpojok pertanyaan konyol. Pada saat itu, buatku, ini adalah masalah besar. Tidak membaca do’a Iftitah pada saat shalat adalah hal yang memalukan.
     Lalu setelahnya Ranewi kembali lagi menanyakan, kali ini Samiyah disudutkan dengan pertanyaan yang sama, yang membedakan, Samiyah mengaku kalau dirinya hafal doa Iftitah, namun ketika disuruh Saidah untuk membacakannya, ia tidak mau. Semakin kesal-lah Ranewi, teman kecilku yang  merasa paling benar itu.
“Ngaku aja Sam! Kalau kamu tidak  bisa baca doa iftitah! Seperti Zakiyah tuh     ngaku …!” Ranewi bergemul kesal.
Gadis yang rajin berpuasa Senin Kamis itu tidak menjawab, Ia hanya diam tak menghiraukan pertanyaan Ranewi.
     Hatiku masih panas, tersulut pertanyaan Ranewi, aku yakin Samiyah pun merasakan hal yang sama. Meski begitu lambat laun susana tercairkan oleh pertanyaan Saidah, gadis yang tiap kali mendapat peringkat pertama di kelas.
     “Ingin kemana kita? Setengah tahun lagi kita lulus.” Saidah antusias.
Pertanyaan itu mengingatkan aku dengan kalimat yang kubaca dari buku “Habis Gelap Terbitlah Terang"
     “Bahwa dia lain daripada anak gadis Eropa, lain dari laki-laki, bahwa nasib anak gadis Jawa ialah menurut saja, cuma satu tujuan hidupnya, ialah nikah dengan orang yang tidak dikenalnya”[6]
     “Kalau aku sudah jelas , mau masuk ke SMP Negeri!” Tukas Ranewi dengan nada tinggi.
     “Wah, kalau aku mau masuk pondok[7]!” Saidah mengungkapkan senang.
Aku dan Samiyah diam seribu bahasa. Bukan bertahan dengan sulutan Ranewi yang pertama, tapi aku bingung mau jawab apa. Keinginanku masih beradu, antara keinginanku untuk sekolah dengan keinginan ibu untuk berjualan membantu ibu, entah dengan Samiyah.
“Kalau kamu mau rencana kemana, Ki?” Ranewi penasaran.
Pertanyaan Ranewi membuatku gelagapan, salah tingkah karena buku yang kukempitkan di pinggang seperti mau jatuh.
Plakk …
Bukuku jatuh tepat di hadapan Samiyah.
Aku berpura-pura menengok ke kanan kiriku, seakan mencari sumber suara tadi.
“Sudah  jangan  pura-pura  celingak-celinguk[8], ayo mau masuk kemana?” Pungkas Ranewi tidak sabar.
“Hmmmm, masih bingung antara sekolah atau berjualan tahu gejrot![9]” Aku antara sedih dan sedikit lega karena Ranewi tidak melihat bukuku yang jatuh.
 “Kalau kamu Sam?” Saidah memalingkan mukanya ke bawah arah Samiyah
 “Ehmm … Aku tidak melanjutkan sekolah! Belum lulus sekolah SD saja orang tuaku sudah gelagapan cari uang!” Samiyah dengan mengepitkan bukuku antara perut dan pahanya.
Adzan berkumandang, menandakan waktu shalat Ashar telah datang. Tidak lama, setelah adzan itu terhenti, Bapakku pulang dari sawah. Ranewi dan Saidah langsung bergegas pulang. Lain dengan Samiyah yang rumahnya berdekatan denganku.
 “Ki, aku pinjem dulu  yah bukunya …” Samiyah meminta padaku, dan aku mengiyakan dengan menganggukkan kepala.
“Kalau kau punya mimpi, sepertinya buku itu berisi tentang mimpi-mimpi perempuan.” Pungkasku.
“Kau sudah selesai membacanya?” Tanya Samiyah.
“Belum, kalimatnya terlalu sulit kupahami. Selesaikan membacanya Sam, lalu terangkan isinya padaku.” Jawabku dengan tersenyum.
“Baiklah.” Jawabnya sambil membalas senyumku.
Samiyah adalah seorang gadis pencinta buku, karena hobinya membaca. Ia gadis paling cantik di Desa Sampiran. Gadis yang pintar meskipun tidak sepintar Saidah dan Ranewi. Ia tergolong gadis yang mempunyai semangat dalam menuntut ilmu. Namun karena keadaan ekonomi keluarganya, ia tidak terlalu memaksakan.
Setelahnya, aku langsung menuju dapur menyiapkan makanan untuk bapakku. Maklum Ibu belum pulang dari jualan tahu gejrot. Setelah itu aku menimba  air dari sumur tua yang berada di belakang rumah. Ku isi bak dan padasan[10]  yang sudah berlumut itu sampai penuh. Lalu, kulanjutkan mandi dan mengambil wudhu. Setelahnya mulailah Aku bermunajat cinta kepada Allah berjama’ah dengan bapak.

{ { {

Jam dinding di ruang tamu berbunyi meskipun secara fisik bisa dikatakan cacat namun masih terdengar nyaring dan nyaris tak pernah ngaco. Pukul 17.13  WIB, ibu baru datang.
Assalamu’alaikum  .…” Salam Ibu sembari melepaskan kain gendongannya.
Wa’alaikumussalam  ….” Aku dan Bapak menjawab salam sembari menyalami ibu.
“Tumben Pulangnya lama, bu? Biasanya  jam setengah lima sudah pulang sampai rumah, bu?” Bapak menayakan.
“Sepi, pa.” Ibu sembari lari kecil.
“Aduh ibu belum shalat nih, pa!” Ibu sediki ribet, karena kain yang ia pakai menghalangi melangkah lebih cepat.
Ibu dan Bapak terpaut usia sangat jauh. Kini ibu berusia dua puluh lima tahun sedangkan bapak tiga puluh delapan tahun. Ibu menikah dengan Bapak berusia sebelas tahun, umur tiga belas tahun ia melahirkanku. Aku anak semata wayang, karena setelah melahirkanku ibu empat kali hamil namun selalu pendarahan.
Meski aku anak semata wayang, aku tak dimanja. Aku tergolong anak yang penurut dan pendiam. Jika sesuatu keinginanku berbeda dengan Bapak dan Ibu. Pasti aku akan merubahnya menyamakan keinginanku dengan keinginan mereka.
     Setelah Ibu shalat, ia bercerita pada Bapak bahwa Samiyah, temanku telah dilamar oleh pria kaya yang sudah beristeri dan orangtuanya  menerima lamaran itu. Aku mendengarnya sontak kaget. Kakiku segera berlari ke rumah Samiyah yang tidak jauh dari rumahku.
     Di rumahnya tidak terlalu ramai, namun ada seorang pria dewasa berkulit putih sekitar usia dua puluh delapan tahun mungkin pria itu yang melamar Samiyah. Aku pun segera menuju tepi rumah Samiyah mengintip dari jendela  kamarnya, menunggu ia masuk ke kamar. Tiba-tiba Samiyah masuk ke kamarnya. Langsung kuketuk jendela kamarnya, ia pun membukanya.
“Apa kamu dilamar, Sam?” Kataku sambil menangis.
“Iya, Ki.” Tutur Samiyah sambil memasang senyum terpaksa.
Mendengar dari mulut gadis kecil itu, hatiku serasa tergores perih. Perkiraanku tidak meleset. Benar dugaanku, meski ia punya mimpi namun tak  pernah memaksakan menjadi kenyataan.
“Apa kamu menerimanya, Sam?” Aku mengusap airmataku dengan lenganku.
“Iya. Aku menerimanya, tiga bulan lagi ia akan menikahiku ....” Samiyah mulai tak bisa menahan tangisnya.
“Tiga bulan lagi? Lantas bagaimana dengan sekolahmu?” Aku dengan suara serak karna menahan tangis.
“Tak usah kau pikirkan masalah sekolah, Ki. Orangtuaku saja tak mempedulikan hal itu!” Jawabnya sambil mengusap airmatanya yang mulai membasahi pipinya.
“Oh ya, Habis Gelap Terbitlah Terang, mimpi-mimpi seorang perempuan sudahkah kau membacanya?” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan untuk menghiburnya.
“Ini bukumu, sudah selesai kubaca!” Jawabnya sambil mengembalikan bukuku.
“Kau bohong, kau pasti belum selesai membacanya!” Aku sedikit menggertaknya.
“Tidak Ki, aku sudah selesai membacanya.” Jawabnya.
Aku hanya diam mendengar jawabannya, Tiba-tiba Samiyah membaca salah satu kalimat dari buku yang ia pinjam dariku.
“Bahwa dia lain daripada anak gadis Eropa, lain dari laki-laki, bahwa nasib anak gadis Jawa ialah menurut saja, cuma satu tujuan hidupnya, ialah nikah dengan orang yang tidak dikenalnya”[11]
Setelah ia membacakannya untukku, Samiyah pergi dari kamarnya begitu saja.
“Bukan, itu bukan isi dari buku itu!” Aku teriak, namun ia tetap saja beranjak dari hadapanku. Dan aku hanya bisa menangis tanpa berkata apa-apa lagi

{ { {

Aku yakin sampai detik ini. Saat itu, ia belum selesai membacanya. Ia  berbohong agar aku tak mengkhawatirkanya. Ketika kuingat masa itu, mengingat suara tangisanya hatiku seperti teriris-iris. Inikah yang dialami bagi perempuan, berkelahi dalam mimpi? Dan sebagian mereka hanya mengatakan bahwa ini masalah klasik.

Tak dapatku mengerti jika kuingat kisah sahabatku, pikiranku merangkum antara perempuan dan keadilan. Antara cinta yang kian memudar maknanya, kejujuran kian terletak di bawah kaki pendusta. Aku masih berkelahi dalam mimpi, menari di atas bola sekecil biji sawi, menari dan berputar sampai mati tetap berkelahi dalam mimpi, Perempuan!







[1] Habis Gelap Terbitlah Terang karya Armijn Pane, Penerbit Balai Pustaka
[2] Salah satu Penggalan Puisi RA. Kartini : Habis Gelap Terbitlah Terang
[3] Panjelan sebutan orang Cirebon untuk ikan jambal
[4] Habis Gelap Terbitlah Terang Karya Armijn Pane, Penerbit Balai Pustaka
[5] Balong sama seperti empang
[6] Habis Gelap Terbitlah Terang Karya Armijn Pane, Penerbit Balai Pustaka
[7] Pesantren
[8] Clingak clinguk sama seperti tengok kanan-kiri
[9] Tahu gejrot adalah makanan khas cirebon
[10] Padasan adalah alat yang digunakan untuk berwudhu yang terbuat dari gentong
[11] Habis Gelap Terbitlah Terang Karya Armijn Pane, Penerbit Balai Pustaka





Tidak ada komentar:

Posting Komentar