Oleh : Aisyah Asafid
Abdullah
Aku berharap engkau bisa membaca cerita ini, sahabatku,
tentu keadaan setiap harinya berbeda. Sekarang, besok dan nanti kita takkan tahu keadaan yang kita
lalui itu seperti apa. Mungkin engkau
pada saat itu akan menjadi orang terhormat, disegani semua orang atau
sebaliknya. Semua itu tak penting, yang terpenting bagaimana engkau menjalani
hari ini. Sudah baikkah atau belum? Jawabanya simpan dalam hatimu, yang
menentukan hari esok adalah jawabanmu hari ini.
Sahabatku, aku yakin permasalahanmu tak sama lagi
denganku. Mungkin hari ini aku bisa menyuarakan mengenai hijab. Tapi aku yakin
saat engkau membaca cerita ini, engkau tidak bisa memakai jilbab sebebas
zamanku dulu. Bukan karena seorang pemimpin yang tidak amanah, ‘kan tetapi masa
itu orang malu mengenakan jilbab dianggap kuno. Bukan itu saja, hari ini aku
bisa memakan nasi sehari tiga kali, mungkin hari itu engkau tak makan nasi,
yang engkau makan ubi jalar, singkong atau kentang. Dan saat engkau membaca ini
keadilan sulit didapatkan bukan hanya karna seorang pemimpin yang rakus
melainkan orang-orang pada saat itu kufur nikmat.
Sahabatku waktu itu selepas shalat ied aku mencoba
bersilaturahim dengan jama’ah lain meski kutak mengenali mereka. Aku memberanikan
diri melakukannya. Tahukah engkau, awal yang baik itu berakhir baik. Aku
bertemu sahabat kecilku dulu.
Tahukah
engkau, Larut malam aku baru bisa menuliskan cerita ini untukmu, sahabatku.
Setelah seharian aku lalu lalang disibukan beberapa tugas kesadaran, maklum aku
anak pertama selain mengerjakan tugas kuliahku. Aku harus mengerjakan beberapa
tugas rumah seperti memasak, merapikan baju hasil setrikaan bibiku, menyuapi
adikku yang baru berusia dua tahun belum lagi keluar ke ATM untuk mentransfer
kolega-kolega mamaku. Aku benar benar sibuk sampai malam ini kubisa menuliskan
cerita untukmu.
Begini ceritanya, nama sahabatku itu Khaisha Khanza, ia
sahabat kecilku dari TK. Saat SD sempat mengenyam pendidikan bersama namun
setelah lulus aku tak tahu ia melanjutkan sekolah kemana.
Ingatanku masih terngiang-ngiang mengenai kepribadian
Khaisha Khanza ia anak yang manis, periang, cerdas, baik, dan penurut. Kesan perfect untuk ukuran seorang anak SD.
Mengingat tentang dia, Aku masih menemukan senyuman manisnya. Sebuah
senyuman khas terdapat sebuah ketulusan. Angan-anganku saat ia nyengir..(kelihatan
gigi ompongnya..)
Sahabatku, engkau jangan berpaling dulu dari ceritaku
ini. Ini benar cerita sederhana kisah anak manusia. Kisah Kaisha Kanza, seorang
sahabat yang terkesan baik dimataku, sungguh luar biasa.
Pada waktu itu
aku adalah teman akrab Khaisha Kanza. Kemana-mana selalu dengannya, kala itu
musim hujan, kami mencari jamur jerami
di sawah-sawah, bersepeda, main karet, manjat pohon kresem, membuat gubuk di sawah,
bermain ketoprak.
Sahabatku, ada
satu hal yang paling berkesan dari Khaisha Khanza. Saat itu ketika kami masih
duduk di bangku kelas dua SD, aku belajar kejujuran dari Khaisha Khanza. Ketika
itu jika dalam satu hari aku berbohong atau mengucapkan salah satu isi kebun
binatang. Aku harus mengakuinya di depan
Khaisha Khanza, aku pun mendapatkan hukuman yaitu berupa cubitan atau pukulan
kecil begitu juga sebaliknya jika Khaisha Khanza berbohong, aku pun
menghukumnya.
Sebuah
kesepakatan seorang sahabat yang baik. Untuk ukuran seusianya, ia mengajari aku
sebuah kejujuran, komitmen, dan ketegasan. Dan ia gadis yang cantik, berambut
lurus panjang sebahu, hidung mancung berbentuk jambu, kulit coklat sawo matang.
Selain itu ia anak dari keluarga yang berkecukupan sepertinya semua di
milikinya, dia begitu sempurna sahabatku. Itulah kaca mata masa kanakku dulu,
sahabatku..
Sahabatku,
tahukah engkau delapan tahun aku terpisah dengan Khaisha Khanza. Hari ini aku
bertemu dengan Khaisha Khanza. Usiaku sekarang dua puluh satu tahun, tidak
pernah kuduga namun telah terjadi itulah takdir.
Saat itu aku
dalam sebuah masjid besar di Jakarta utara masjid Jakarta Islamic Centre,
setelah menunaikan shalat ied. Aku bersilaturohim menyalami jama’ah beberapa
shaf dari shaf dimana aku shalat. shaf kedua dari shafku aku menemukan sosok
yang belum beranjak dari sajadahnya. Aku menghampirinya hendak memberi salam.
Sosok itu pernah kulihat dulu meski keadaan fisiknya berubah namun bisa ku
kenali itu, ia adalah sahabatku Khaisha Khanza.
Setelah
menyalaminya, aku benar-benar memandang terkejut seperti mimpi bertemu dengan
sahabat lama. Maklum aku sudah lama hijrah ke Jakarta semenjak SMP. Ia pun
menatap aneh terhadapku seakan ia pun lupa.
“Engkaukah ini
sahabatku, Khanza..?” Aku dengan girang
“Iya…”
jawabnya menggantung, sepertinya ia masih belum ingat denganku
“Ini aku
Rahmadona, sahabat kecilmu dulu..?!” Aku menjelaskan
“Rahmadona,
engkaukah itu..?” Ia sontak kaget, reflek memelukku dengan erat
“Iya..”
jawabku
“Engkau
sendiri sahababtku..?” tanyaku
“Aku bersama
ibuku..” jawabnya sambil matanya mencari sosok ibunya
“Kemana
ibumu..?” tanyaku kembali
“Mengambil
seseuatu dimobil, na. Tunggu sebentar yaa…?” Pungkasnya sedikit cemas
“Bagaimana
kalau kita menyusul ibumu ke mobil..?” Aku mencoba memberi saran
“Tidak na, aku
tak mampu..!” Jawabnya menggantung
“Apa
maksudmu..?” tanyaku heran
Ia tak
menjawab, bibirnya hanya menorehkan senyuman yang sedikit memaksa. Tiba-tiba
ibunya datang ditemanin satpam masjid. Tahukah engkau sahabatku, ibunya
mengambil apa dari mobil. Ia mengambil sebuah kursi roda. Pikirku tak sampai
kemana-mana, bingung kursi roda itu milik siapa. Aku segera beranjak dan
menyalami ibunya,
“Assalamualaikum,
ibu masih ingat tidak dengan aku, Rahmadona temen Khanza SD dulu?” Aku
sumringah
“Rahmadona,
kaukah ini…kau sudah menjadi gadis..?” Ia tak percaya
“Iya bu, untuk
siapa kursi roda ini bu..?” Aku memberanikan bertanya
Ia tak
menjawab, ia hanya menangis.
“Maafkan aku
bu, aku tak bermaksud membuatmu sedih..” Aku berusaha menenangkannya sambil
memeluknya erat. Setelah kondisi ibu sedikit tenang. Khanza angkat bicara
“Sudah bu
jangan sedih..” Khanza tersenyum tanpa beban
“Bantu aku na,
aku tak mampu..” Khanza menyuruhku membantunya
Mendengar
Khaisha Khanza berbicara seperti itu, nalarku mulai berpengarah sontak kaget.
“Khanza…,
kursi roda ini…, Khanza ini milikmu…!”
Aku masih tak percaya
Ia hanya
melemparkan senyum seakan tidak terjadi apa-apa.
“Tidak, tidak
khanza katakan tidak ini bukan milikmu…!” tangisanku pecah, tak percaya apa
yang terjadi pada sahabatku
Ia
menganggukan kepalanya, aku langsung mendekapnya memeluknya dengan erat.
Benar-benar hatinya seperti baja. Raut wajahnya yang cantik tak memancarkan
kesedihan sedikitpun. Ia benar-benar dianugrahi Allah hati berlapis baja,
senyumnya senantiasa terlempar manis penuh keikhlasan.
Begitu
ceritanya sahabatku, kita tidak bisa menjamin hidup kita ke depan seperti apa.
Mungkin Engkau bisa merencanakan sesuatu namun tidak ada yang menjamin rencana
hidup seseorang kecuali Allah SWT. Tahukah Engkau sahabatku, Khaisha Khanza
lumpuh karena dua kakinya terdapat tumor tulang. Ia lumpuh sudah setahun, tidak
bisa berjalan.
Tidak hanya
itu, beberapa tetangganya memvonisnya karna dijampi-jampi. Namun benar Allah
memberi ujian tidak melebihi batas kemampuan kita. Ia begitu kuat menjalani
hidupnya. Jadi Engkau jangan pernah berfikir Allah tak adil, merasa kamu tak
mampu menyelesaikan masalahmu. Yakinlah, mulailah menyelesaikan masalahmu
dengan bismillah, ikhlas, sabar. Insya Allah masalah seberat apapun akan
terselesaikan. Yakinlah “Man jada wa jada…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar