Rabu, 12 November 2014

Khaisha Khanza

Oleh : Aisyah Asafid Abdullah         


            Aku berharap engkau bisa membaca cerita ini, sahabatku, tentu keadaan setiap harinya berbeda. Sekarang, besok  dan nanti kita takkan tahu keadaan yang kita lalui itu seperti apa.  Mungkin engkau pada saat itu akan menjadi orang terhormat, disegani semua orang atau sebaliknya. Semua itu tak penting, yang terpenting bagaimana engkau menjalani hari ini. Sudah baikkah atau belum? Jawabanya simpan dalam hatimu, yang menentukan hari esok adalah jawabanmu hari ini.


            Sahabatku, aku yakin permasalahanmu tak sama lagi denganku. Mungkin hari ini aku bisa menyuarakan mengenai hijab. Tapi aku yakin saat engkau membaca cerita ini, engkau tidak bisa memakai jilbab sebebas zamanku dulu. Bukan karena seorang pemimpin yang tidak amanah, ‘kan tetapi masa itu orang malu mengenakan jilbab dianggap kuno. Bukan itu saja, hari ini aku bisa memakan nasi sehari tiga kali, mungkin hari itu engkau tak makan nasi, yang engkau makan ubi jalar, singkong atau kentang. Dan saat engkau membaca ini keadilan sulit didapatkan bukan hanya karna seorang pemimpin yang rakus melainkan orang-orang pada saat itu kufur nikmat.


            Sahabatku waktu itu selepas shalat ied aku mencoba bersilaturahim dengan jama’ah lain meski kutak mengenali mereka. Aku memberanikan diri melakukannya. Tahukah engkau, awal yang baik itu berakhir baik. Aku bertemu sahabat kecilku dulu.


Tahukah engkau, Larut malam aku baru bisa menuliskan cerita ini untukmu, sahabatku. Setelah seharian aku lalu lalang disibukan beberapa tugas kesadaran, maklum aku anak pertama selain mengerjakan tugas kuliahku. Aku harus mengerjakan beberapa tugas rumah seperti memasak, merapikan baju hasil setrikaan bibiku, menyuapi adikku yang baru berusia dua tahun belum lagi keluar ke ATM untuk mentransfer kolega-kolega mamaku. Aku benar benar sibuk sampai malam ini kubisa menuliskan cerita untukmu.


            Begini ceritanya, nama sahabatku itu Khaisha Khanza, ia sahabat kecilku dari TK. Saat SD sempat mengenyam pendidikan bersama namun setelah lulus aku tak tahu ia melanjutkan sekolah kemana.

            Ingatanku masih terngiang-ngiang mengenai kepribadian Khaisha Khanza ia anak yang manis, periang, cerdas, baik, dan penurut. Kesan perfect untuk ukuran seorang anak SD. Mengingat tentang dia, Aku masih menemukan senyuman manisnya. Sebuah senyuman khas terdapat sebuah ketulusan. Angan-anganku saat ia nyengir..(kelihatan gigi ompongnya..)
           
            Sahabatku, engkau jangan berpaling dulu dari ceritaku ini. Ini benar cerita sederhana kisah anak manusia. Kisah Kaisha Kanza, seorang sahabat yang terkesan baik dimataku, sungguh luar biasa. 
Pada waktu itu aku adalah teman akrab Khaisha Kanza. Kemana-mana selalu dengannya, kala itu musim hujan, kami  mencari jamur jerami di sawah-sawah, bersepeda, main karet, manjat pohon kresem, membuat gubuk di sawah, bermain ketoprak. 

Sahabatku, ada satu hal yang paling berkesan dari Khaisha Khanza. Saat itu ketika kami masih duduk di bangku kelas dua SD, aku belajar kejujuran dari Khaisha Khanza. Ketika itu jika dalam satu hari aku berbohong atau mengucapkan salah satu isi kebun binatang. Aku harus mengakuinya  di depan Khaisha Khanza, aku pun mendapatkan hukuman yaitu berupa cubitan atau pukulan kecil begitu juga sebaliknya jika Khaisha Khanza berbohong, aku pun menghukumnya.

Sebuah kesepakatan seorang sahabat yang baik. Untuk ukuran seusianya, ia mengajari aku sebuah kejujuran, komitmen, dan ketegasan. Dan ia gadis yang cantik, berambut lurus panjang sebahu, hidung mancung berbentuk jambu, kulit coklat sawo matang. Selain itu ia anak dari keluarga yang berkecukupan sepertinya semua di milikinya, dia begitu sempurna sahabatku. Itulah kaca mata masa kanakku dulu, sahabatku..

Sahabatku, tahukah engkau delapan tahun aku terpisah dengan Khaisha Khanza. Hari ini aku bertemu dengan Khaisha Khanza. Usiaku sekarang dua puluh satu tahun, tidak pernah kuduga namun telah terjadi itulah takdir.

Saat itu aku dalam sebuah masjid besar di Jakarta utara masjid Jakarta Islamic Centre, setelah menunaikan shalat ied. Aku bersilaturohim menyalami jama’ah beberapa shaf dari shaf dimana aku shalat. shaf kedua dari shafku aku menemukan sosok yang belum beranjak dari sajadahnya. Aku menghampirinya hendak memberi salam. Sosok itu pernah kulihat dulu meski keadaan fisiknya berubah namun bisa ku kenali itu, ia adalah sahabatku Khaisha Khanza.

Setelah menyalaminya, aku benar-benar memandang terkejut seperti mimpi bertemu dengan sahabat lama. Maklum aku sudah lama hijrah ke Jakarta semenjak SMP. Ia pun menatap aneh terhadapku seakan ia pun lupa.
“Engkaukah ini sahabatku, Khanza..?” Aku dengan girang
“Iya…” jawabnya menggantung, sepertinya ia masih belum ingat denganku
“Ini aku Rahmadona, sahabat kecilmu dulu..?!” Aku menjelaskan
“Rahmadona, engkaukah itu..?” Ia sontak kaget, reflek memelukku dengan erat
“Iya..” jawabku
“Engkau sendiri sahababtku..?” tanyaku
“Aku bersama ibuku..” jawabnya sambil matanya mencari sosok ibunya
“Kemana ibumu..?” tanyaku kembali
“Mengambil seseuatu dimobil, na. Tunggu sebentar yaa…?” Pungkasnya sedikit cemas
“Bagaimana kalau kita menyusul ibumu ke mobil..?” Aku mencoba memberi saran
“Tidak na, aku tak mampu..!” Jawabnya menggantung
“Apa maksudmu..?” tanyaku heran

Ia tak menjawab, bibirnya hanya menorehkan senyuman yang sedikit memaksa. Tiba-tiba ibunya datang ditemanin satpam masjid. Tahukah engkau sahabatku, ibunya mengambil apa dari mobil. Ia mengambil sebuah kursi roda. Pikirku tak sampai kemana-mana, bingung kursi roda itu milik siapa. Aku segera beranjak dan menyalami ibunya,

“Assalamualaikum, ibu masih ingat tidak dengan aku, Rahmadona temen Khanza SD dulu?” Aku sumringah
“Rahmadona, kaukah ini…kau sudah menjadi gadis..?” Ia tak percaya
“Iya bu, untuk siapa kursi roda ini bu..?” Aku memberanikan bertanya
Ia tak menjawab, ia hanya menangis.
“Maafkan aku bu, aku tak bermaksud membuatmu sedih..” Aku berusaha menenangkannya sambil memeluknya erat. Setelah kondisi ibu sedikit tenang. Khanza angkat bicara
“Sudah bu jangan sedih..” Khanza tersenyum tanpa beban
“Bantu aku na, aku tak mampu..” Khanza menyuruhku membantunya
Mendengar Khaisha Khanza berbicara seperti itu, nalarku mulai berpengarah sontak kaget.
“Khanza…, kursi roda ini…, Khanza  ini milikmu…!” Aku masih tak percaya
Ia hanya melemparkan senyum seakan tidak terjadi apa-apa.
“Tidak, tidak khanza katakan tidak ini bukan milikmu…!” tangisanku pecah, tak percaya apa yang terjadi pada sahabatku

Ia menganggukan kepalanya, aku langsung mendekapnya memeluknya dengan erat. Benar-benar hatinya seperti baja. Raut wajahnya yang cantik tak memancarkan kesedihan sedikitpun. Ia benar-benar dianugrahi Allah hati berlapis baja, senyumnya senantiasa terlempar manis penuh keikhlasan.

Begitu ceritanya sahabatku, kita tidak bisa menjamin hidup kita ke depan seperti apa. Mungkin Engkau bisa merencanakan sesuatu namun tidak ada yang menjamin rencana hidup seseorang kecuali Allah SWT. Tahukah Engkau sahabatku, Khaisha Khanza lumpuh karena dua kakinya terdapat tumor tulang. Ia lumpuh sudah setahun, tidak bisa berjalan.

Tidak hanya itu, beberapa tetangganya memvonisnya karna dijampi-jampi. Namun benar Allah memberi ujian tidak melebihi batas kemampuan kita. Ia begitu kuat menjalani hidupnya. Jadi Engkau jangan pernah berfikir Allah tak adil, merasa kamu tak mampu menyelesaikan masalahmu. Yakinlah, mulailah menyelesaikan masalahmu dengan bismillah, ikhlas, sabar. Insya Allah masalah seberat apapun akan terselesaikan. Yakinlah “Man jada wa jada…”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar