Rabu, 12 November 2014

RA POPO

Oleh: Aisyah Asafid Abdullah
           
            Ahmad Syafii adalah nama pemberian sang kakek, Ibunya selalu mengatakan padanya bahwa kakeknya menginginkan cucunya menjadi seorang khalifah seperti Imam Syafii. Terkadang jika ingat hal itu, ia kerap jengkel terhadap teman-temannya yang kerap memanggilnya dengan sebutan jawir. Kulitnya yang hitam dan logat jawanya yang sangat kental. Ia selalu dijadikan objek bahan cibiran teman-temannya.

Ia adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ia orang yang bisa memposisikan diri. Menentukan alur dalam peta kehidupannya. Begitu juga tanggung jawab atas kedua orang tuanya dan adik-adiknya.

Kala itu ia duduk di bangku kelas tiga, Fikri adiknya yang masih duduk dibangku kelas satu kerap mengadu pada sang ibu tentang sikap teman-teman kakaknya yang tak wajar. Teman-teman kakaknya kerap membuli kakaknya tersebut. Namun Ahmad Syafii selalu mengingatkan Fikri untuk tidak mengadu kepada ibunya.

Suatu ketika Syafii tahu bahwa Fikri mengadu, ia memarahi Fikri habis-habisan. “Kamu tidak tahu emak banyak sekali yang di pikirkan, Bapak sakit ngurusin kita bertiga Azizah masih kecil.”Syafii kesal. “Siapa yang di jahatin siapa yang ngadu, jangan berlagak sok pahlawan deh padahal kaya banci!” Syafii dengan nada keras. “Enak aja ngatain, Banci. Dibelain malah ga jelas marah-marah.” Fikri. “Apa namanya kalo bukan banci, Cuma masalah gitu doang ngadu ke emak!” Syafii menegaskan. Mendengar ucapan kakaknya Fikri diam, tak menghiraukan kakaknya.

            Jam dinding di ruang tengah menunjukan pukul lima sepersepuluh.Syafii yang berada di kamarnya di panggil oleh ibunya. “Mad..mad..mad!” Sembari mengetuk pintu.
“Nggeh Mak.” Ahmad
“Fikri kenapa yah Mad dari kemarin dia murung terus mukanya, susah makan, terakhir dia cerita tentang temanmu itu Sobari” Tanya Ibu.
“Bener toh, temenmu yang namanya Sobari suka ngerjai kamu Mad?” Tanya ibu.
“Nggeh Mak, tapi Ahmad Ra popo.”Ahmad
“Ra popo gimana toh nang?” Ibu
“Ya Ikhlas mak, maafin Sobari Mak.” Ahmad. Mendengar jawaban Ahmad ibunya hanya membalas senyum, pikirnya ia membenarkan apa yang dirasakan anak sulungnya itu.

            Malamnya Ahmad menemui Fikri. “Dek, kamu kenapa?”Ahmad. Fikri hanya diam tidak menjawab pertanyaan kakaknya.”Apa yang kamu lihat dek di sekolah?”. Ahmad kembali bertanya. Lalu Ahmad dengan cermat memandang wajah adik lelakinya itu, mata Fikri mulai mengandung air. Seperti ada sesuatu yang disebunyikan pada Fikri, tangisan Fikri akhirnya pecah, Ahmad merasakan baru kali ini ia melihat adik lelakinya menangis begitu pilu. Ia memeluk erat adiknya tersebut. “Dik, cerita sama kakak apa yang kamu rasain, jangan di pendam.”Pungkas Ahmad.

            Fikri akhirnya memilih diam begitu lama, kakaknya dengan sabar menunggu ia bercerita. “Aku tahu kak setiap kali di sekolah teman-teman kakak mencaci maki kakak, menjahili kakak, dikunci di kamar mandi, dijeburin ke got sekolah, sepatu kakak dilempar di genteng, tas kakak diumpetin dan itu dilakukan oleh Sobari dan teman-temannya.” Jelas Fikri

Ahmad hanya diam, “Aku bingung dengan kakak, kenapa hanya diam saja, bahkan kakak setelah dikerjain habis-habisan, kakak berlagak seperti tidak terjadi apa-apa.” Fikri.
“Dek, kamu pernah dicuci kakinya sama emak pake air hangat di baskom?” Ahmad. Fikri menggeryitkan mata “ Pernah” Jawab Fikri. Lantas emak selalu bilang apa ke kamu, “Ia selalu menasehatiku kak..”Fikri dengan nada menggantung.”Apa itu?, pesan emak?” Tanya Ahmad.

“Kamu yang nurut sama kakakmu, dia sudah bekerja keras membantu ibu semenjak Bapak sakit.” Fikri menirukan ucapan ibunya. Mendengar cerita fikri Ahmad tercengang, ia berpikir ternyata nasihat yang diselipkan ibunya berbeda. “Dek, tahu tidak nasihat apa yang kerap emak ucapkan ke kakak termasuk ketika kaki kakak di basuh oleh tangan emak?” Ahmad. “Tidak tahu” Fikri. “Beliau selalu menasihati kakak, Kamu yang sabar toh, Mad! Kadang hidup itu memang harus dipaksakan adakalanya kita ingin bicara tapi kita harus diam, adakalnya kita begitu sakit tapi kita harus memaafkan.” Ahmad. “Terus?” Fikri. “Ya, kakak sedang menghadapi Sobari dengan apa yang dinasihatkan Emak ke kakak.” Ahmad. Mendengar penjelasan kakaknya Fikri tersenyum dan memeluk kakaknya. “Kakak memang hebat!” Puji Fikri pada Ahmad.

*****

Setelah lima belas tahun kemudian, Ia kembali pada letak yang sebenarnya yaitu dikaki ibunya. Tanpa  kata ia memijat-mijat kaki ibuku yang ia rendam dalam baskom berisikan air hangat. Kulit kakinya kasar dan berkerak karena pecah-pecah. Meskipun usianya belum empat puluh tahun namun wajah ibunya sudah menampakan kekriputan di kantong mata. Terlebih akan terlihat sangat jelas jika sang ibu tersenyum.

“Kaki Emak memang sudah pecah-pecah semenjak Emak usia dua puluh tahun, semenjak Emak pindah ke Jakarta. Belum menikah dengan bapakmu!” Pungkasnya sambil tersenyum.
“Kata bapakmu sih, ibu kurang minum. Tapi kalau menurut Emak bukan kurang minum tapi tidak cocok dengan air di Jakarta!”

Ia tidak berkomentar hanya menorehkan senyum. Ceritanya sudah berulang kali didengar, setiap kali aku membasuh kedua kakinya. Ibunya selalu mengatakan hal yang sama. Ritual membasuh kaki ibunya memang sudah lama ia jalankan semenjak SD dulu, biasanya ia lakukan saat musim hujan atau aku ia melakukan ujian.

Kebiasaan membasu kaki yang mengawalinya adalah ibunya yang kerap membasuh kakinya saat ia terlalu keras bekerja untuk biaya sekolahnya. Biasanya sambil memijat-mijat kaki ibunya sembari menasehatinya. “Kamu yang sabar toh, Mad! Kadang hidup itu memang harus dipaksakan adakalanya kita ingin bicara tapi kita harus diam, adakalnya kita begitu sakit tapi kita harus memaafkan.” Ucap sang ibu kepada anaknya kala itu.

Musim akhir-akhir ini sulit diprediksi, bulan-bulan telah berlalu dengan panas tanpa hujan. Kebiasaan ini pun kembali bukan karena musim hujan. Tapi karena Ia seperti menuai emas yang telah digali dengan kepayahan sedari dulu. Ahmad kini menjadi seorang pengusaha juice sukses, ia kini memiliki lebih dari dua puluh tiga outlet juice.

Ritual yang sering  ia jalani bukan semata percaya akan sukses atau berhasil setelah melakukan ritual membasuh kedua kaki ibunya. Namun lebih ke pengabdian, rasa terima kasih pada ibunya yang semenjak kecil ia hanya sendiri mendidiknya.

Karena air dalam baskom sudah dingin, ia urungkan untuk mengambil air panas untuk kucampurkan, agar air dalam baskom kembali hangat.

“Tunggu sebentar mak..!” Ia meninggalkan ibu dengan kaki yang masih direndam.
“Iya, Mad!” Jawab ibu.

Selang kemudian ia kembali dengan membawa air panas dan sikat gigi bekas yang berada di loster dapur. Tanpa diminta ibu sudah mengangkat kedua kakinya. Sebelum  ia campur, air yang sudah dingin itu ia pakai untuk mencuci sikat gigi bekas yang sedikit berdebu.  Baru ia tuangkan.

Ibu pun kembali merendamkan kakinya ke air hangat. ia kembali memijat-mijat kaki ibu.  Ia usap-usap kulit kaki ibunya perlahan penuh kasih, kulit yang pecah-pecah itu lalu  ia urungkan untuk menyikat dengan sikat gigi bekas karena kakinya penuh bercak tanah yang sudah melekat.

Pelan-pelan ia membersihkannya. Ia benar-benar menikmati menyikat kedua kaki ibunya. Ibunya diam tak bersuara. Seakan dia pun menikamatinya. Saat hampir selesai menyikatnya. Ia menoleh pada ibunya,tak kuduga ibunya menangis.

“Kenapa Mak, kenapa emak  menangis?” Pungkasku cemas.
Ibunya hanya menangis tanpa berkata apa-apa.
Tidak seperti biasanya ibu menangis, baru kali ini ia melihat ibu menangis. Tidak seperti biasanya, ia yang selalu terlihat tegar.

“Emak, kenapa menangis?” Pungkas Ahmad kembali sambil menyeka mata ibunya.
Tiba-tiba air mata Ahmad pun mengalir begitu saja, tak kuasa melihat ibunya menangis.
“Apa kau ingat dengan Sobari , yang sering menjahilimu!”Ibu dengan suara serak.
“Iya bu aku ingat.” Ahmad.
“Berterima kasihlah padanya, karena dia membuatmu seperti ini!” Ibu.
            “Terkadang kita harus berterima kasih pada orang-orang yang telah mencaci kita.”Ibu
            “Ia mak, tapi Ahmad tidak tahu dia dimana sekarang.” Pungkas Ahmad.

            Setelah hampir ia lupakan, ia menemui sesuatu yang di luar segala dugaannya. Ahmad membawa kedua orang tuanya dan kedua adiknya umroh, belum sebulan pulang dari umroh. Ia belum menikah, ia melamun tentang istri idamannya di kantor sekaligus gudang buah miliknya. Tiba-tiba ia disadarkan dengan pembeli, meski ada karyawan yang melayani ia tetap saja mengontrol dan mengawasi kinerja karyawan di gudang maupun di toko. Seorang pembeli ingin menemuinya.

            Ia memperhatikan sang pembeli tersebut, mukanya lebar, berbadan tinggi besar, berkulit hitam, beralis tebal dan memakai topi. Sekejap hampir ia ingin berteriak di depan karyawan-karyawannya. Tapi sepasang mata itu pernah merendahkannya. Mungkinkah jika ia menegur pembeli itu. Ia akan menyerangnya dan mancaci di depan karyawan-karyawannya. Dengan segala kekhawatiran, ia memberanikan diri menemui lelaki berbadan tinggi besar itu.

“Saya Ahmad, Sob!”Ahmad
Sobari terdiam memperhatikan Ahmad
“Kamu Sobarikan?” Ahmad
“Iya..” Sobari
“Saya Ahmad Syafii, Jawir?”Ahmad
“Oh, iya ya Mad.” Sobari sambil gugup tak percaya orang yang selama ini ia sepelekan kini menjadi orang yang sukses.
“Sob, terima kasih ya.” Ahmad
“Untuk apa Mad?” Sobari.
“Untuk semua yang telah kamu lakukan terhadap saya dulu..” Ahmad.
“Maafkan saya Mad, saya benar-benar menyesal.” Sobari menyesal
“Ra popo Sob, ra popo.” Ahmad tersenyum pada temannya itu.

Dan ia rangkul tubuh besar itu sambil menelan ludah, menahan air mata. Mereka yang selamanya tidak merasa berteman. Sore itu berpelukan seperti sahabat lama yang saling merindukan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar