Oleh : Aisyah Asafid Abdullah
Selepas mendapat telepon dari
adiknya, wajah Pak Darto lesu, jalannya sempoyongan, matanya menjungkir keatas.
Tak sangka Ratna melangkah ke jalan syetan. Ia berada di luar bersama supirnya,
habis ceramah di Kabupaten Sendang. Dalam mobilnya, ia tak banyak bicara, tidak
seperti biasa. Mulutmya beristigfar, sambil mengelus dada sesekali.
“Wati.” Ia melihat dari jendela
mobil.
“Ah bukan, ia di Jakarta.” gumam
pak Darto.
“Ah benar, Wati!” yakin pak Darto
dalam hati.
“Sobari, minggir dulu!” Suruhnya.
Wajahnya berubah sedikit cerah
ketika melihat teman kecil anaknya “Nak Wati!”.
Wajah anak muda itu murung tak
semangat “Pak Kiai?” gugup heran.
“Kata Ratna kamu pindah ke
Jakarta?” tanya pak Darto.
“Benar pa.” jawab Wati.
“Sedang liburan sebentar.” Jelas singkat Wati.
“Main nak ke rumah Ratna, Ratna
sedang terkena musibah!” memelas pak Darto.
“Hah, kenapa Ratna pa?”. Wati
kaget.
“Sebaiknya, kamu ke rumah nak!” pak
Darto.
“Baiklah.”
******
Pada malam ia menceritakan
gelapnya, bintang menggantung di langit seperti pajangan tak berarti. Matanya
memuntahkan kepedihan, sampai merah. Ia masih mencuat pada dirinya, yang hina.
Himpitan tak berdaya melilit pada ulu hati. Jemarinya menari bergetar ria,
seperti menikmati lagu perih. Diantara semuanya, ia meneriaki tentang
kenyataan, andai ia bisa menghapus jejaknya.
“Lelaki itu benar srigala,”
Katanya pelan - sambil mengepalkan tangan. “Brukkkkkkk.” ia memukul meja di
samping kanannya, menyusul tangisan yang tersedan seperti tertawa. Wati hanya diam melihat di ranjang sahabatnya
Ratna, sambil memangku ketakutan, ia menelan ludah.
“Ah, kenapa!” Tanya dalam hati
wati. “Ia menangis persis arya adiku yang usianya baru lima tahun” ungkap dalam
hati wati. Wati menaruh tumpukan
ketakutan di ranjang Ratna. Menghampiri, memegang pundak Ratna “Sudahlah Rat, jangan meratapi
kesedihanmu, Tuhan memberimu segudang cobaan tapi Ia tak lupa mengantarkanmu pada
solusi yang banyak melebihi cobaanmu”.
“Jangan sok tau, Wat!”. Kamu
belum pernah sepertiku. Tiba-tiba ia tertawa dan berkata “Tapi benar katamu
dulu wat, tidak ada yang dapat menjaga perempuan kecuali rasa takut dan malu
pada Tuhannya, andai saja waktu itu aku percaya.” sedikit tertawa kecil dan
memegang perutnya. Wati tidak menggubris sahabatnya, hanya diam menelan ludah.
Masih risau, di kedua perempuan itu.
“Musibah dari Tuhan?” desir dalam
hati Wati penuh kebencian “Apa maksud musibah yang dimaksudkan Pak kyai itu,
apa ini?”tanya tegas pada dirinya sendiri. “Manusia bisa saja mengelabui
Tuhannya, berdoa atas musibah yang telah ditimpakan pada mereka. Padahal apa
yang terjadi memang yang ia inginkan. Salahnya untuk mendapatkannya dengan
jalan pintas tanpa melewati norma-norma Agama, ya jadi seperti ini. Tekdung! desir
kesal dalam hati Wati.
Dari siang Wati menemani Ratna mengurai
nasibnya, sudah jam sebelas malam ia masih dalam bilik bambu rumah pak Kiai
Darto. Ia tak berubah masih canggung, wajahnya senantiasa merunduk melihat
Ratna mengeluh pada nasibnya. Ia tak enak pada pak Kiai, ia ada pada ranjang
Ratna karena suruhan pak Kiai. Mempercayakan sepenuhnya kepada Wati menarik
kelapangan hati anak semata wayang pak Kiai Darto.
“Sholat taubat, Rat!” Katanya
wati mulai berbicara.
“Tidak Wat, Tuhan tidak bisa
dibohongi!”. Jawab Ratna dengan mata berkaca-kaca.
“Aku punya niat lain, aborsi.” ungkap
Ratna.
“Jangan!”. cepat bantah wati
sambil mendekati Ratna.
“Biar saja, aku tak kuat seumur
hidup dibicarakan orang, ujungnya aku bunuh diri dan masuk neraka. Apa bedanya
kalau begitu?” Tanya Ratna.
Wati menumpahkan air matanya di
bantal Ratna. Menangis tersedu-sedu, ia merasa tak berguna untuk sahabatnya
itu. Ia seperti ikut mengecap kepedihan Ratna, sedari dulu Ratna susah dikasih
tahu. Dalam sirat matanya, ia ikut andil dalam kepedihan yang tersembunyi,
melebihi Ratna.
“Manusia adalah manusia Rat,
mempunyai satu cobaan. Bukan hanya kamu, yang lain juga sama, justru Tuhan
menitipkan cobaan untumu untuk menguji kelayakanmu. Layak atau tidak menjadi
penghuni surga-Nya!”. Celetuk Wati. “Coba kamu pikir jika jaka bertanggung
jawab apa kamu masuk surga?”, “ Aku rasa tidak Rat, karena kamu berzinah!”.
Mendengar ucapan wati, relung
hati Ratna seperti dicambuk. Ia semakin tak menjadi, menangis menyesali karena
menghisap madu yang sesaat yang seharusnya ia tak lakukan dengan jaka sebelum
ijab qabul.
Wati tersungkur lunglai tak
berdaya, di ranjang Ratna. Ia tertidur, seperti mendengar dongeng nestapa.
Ratna, masih meraung seperti orang gila.
******
Pagi, desau angin berbisik dari
jendela kayu kamar Ratna, ia tidak tidur. Ia mencari-cari remot tv, menonton
berita pagi. “Wat, bangun sudah pagi!”, Ratna. Tanpa jeda ia langsung kaget bangun “Ya Allah,
ketinggalan subuh!.” Wati menyesal, ia segera lari ke kamar kecil, tiba-tiba
berhenti seketika mendengar tertawaan Ratna. “Ada apa rat?” tanya wati, ia
makin menjadi tertawa. “Kamu sudah gila yaa?”. “Kamu yang sudah gila wat?”.
“Hah!, maksudmu?” tanya wati. Jawab Ratna “Lihat ranjangku, penuh darah
kotormu?”. “Oh iya, aku lupa!, tamu agung datang kemarin.”
Wati segera ke kamar kecil, lalu
membersihkan ranjang Ratna. “Wat, aku sudah pikir-pikir semalam.” Ratna dengan
tenang. “Lalu bagaimana?, apa kau sudah mendapati Jaka?” tanya Wati penuh
harapan. “Tidak Wat!, Tak usah pikirkan Srigala keparat itu lagi, muak!” Ratna
kesal. “Lalu?” Wati. “Aku mau aborsi saja!”. “Aku ingin ikut ke Jakarta
denganmu Wat.” “Mau ngapain Rat?” tanya Wati heran. “Aborsi disana, tadi aku
nonton berita ada janin yang dibuang di Kabupaten Sendang, di duga aborsi di
Jakarta karena sang ibu bayi turun dari bus jurusan Jakarta.” “Hah, Kabupaten
Sendang!” Wati kaget. “Iya, janinnya ia buang di closet terminal.”. jelas
Ratna, “Sadis yaa?, tapi saya yakin dia punya alasan tersendiri kenapa ia
aborsi, seperti saya punya alasan sendiri.” Ratna tenang. Tiba-tiba terdengar
suara tangisan dibalik punggung Ratna, Wati menangis sedu sedan. “Kamu jangan
aborsi wat, jangan.” Wati mengatakan dengan jelas sambil menangis. “Tidak, Wat
keputusanku sudah bulat!”. “Jangan wat!, kasihan bapakmu” Wati. “Apaa?, apa kau
bilang?”Ratna. Wati membisu, ia keceplosan. “Bapak sudah tau?, Tidak!, Tidak,
katakan Wat?” Ratna. “Iya, ia sudah tahu sebelum aku Rat.”Wati menunduk.
Ratna keluar membuka pintu kamar
dan membantingnya, ia mencari bapaknya. Pak darto sedang duduk di kursi goyang.
“Maafkan aku Bapak.” Ratna menangis bersimpuh di kaki pak Darto. “Maafkan aku
Bapak.” kembali meraung. Ia diam saja, dalam diamnya merajut kepedihan yang
begitu mendalam. Mukanya mulai memerah melihat anak semata wayangnya menangis mengakui
kebinatangannya. Lelaki tua itu menangis karena ia selalu membanggakan anaknya
itu. Kini, anaknya berada pada titik paling bawah. Lalu ia berdiri menghindar
rengkuhan tangan di telapak kakinya. Ia berkata “Solat taubat, Bapak jijik liat
kamu Rat!”. Mendengar ucapan bapaknya ia kaget, bukannya segera solat ia malah
pergi menuju dapur dan melempar piring-piring. Tiba-tiba matanya menemukan
pisau, ia ambil dan menusukannya ke perutnya berkali-kali. Wati merasa aneh
dengan suara Ratna, ia mengintip ke dapur. Disusul pak Darto “Tidaaaaaaak!” Wati teriak mencoba mengambil
pisau itu. “Ratnaaa, tidak nak kenapa seperti ini” tangis Pak darto. Wati lemas
melihat pemandangan itu, “Ia terlalu kau manja pa Kiai!” Wati sambil
mengarahkan pisau bekas Ratna ke urat nadinya.
******
Musim kemarau akan datang, angin
kencang setiap hari bergurau namun tak
membuat hati pak Darto lebih tenang, semakin surau penuh tanya. Sudah seminggu
orang tua Wati belum terlihat batang hidungya. Hari-hari setelah itu, ia sulit
tidur. Belum menemukan jawaban, jawaban kenapa Wati ikut-ikutan dengan Ratna.
Tiga bulan berlalu kisah berdarah itu mulai berangsur
terlupakan, pak Darto tak mau memikirkannya lagi. Pikirnya, Wati pasti
meninggalkan arang kalau bermain bakar-bakaran. Pada siang itu, pak Darto
selepas solat dzuhur dari masjid dekat rumahnya. Ada dua orang lelaki menunggu pak Darto di teras rumahnya. Dua
lelaki itu bertinggi besar, mukanya kasar seperti lentenir penangih hutang.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak!”
tanya pak Darto. “Mau cari Wati, Pak!” jawab salah satu dari lelaki itu. “Wati
sudah mati!” santai Pak Darto. “Bapak bohong pasti bapak ingin menutupi!”.
“Saya tidak bohong, kalian siapa?”. “Kami anggota kepolisian”. jawab salah satu
dari mereka. “Benar pak, Ia mati bunuh diri bersama anak saya, ada apa pak?”.
“Wati adalah ibu dari janin yang ia buang di kabubaten Sendang.”Jelas bapak
Polisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar