Rabu, 12 November 2014

Janin yang Kau Buang

Oleh : Aisyah Asafid Abdullah


Selepas mendapat telepon dari adiknya, wajah Pak Darto lesu, jalannya sempoyongan, matanya menjungkir keatas. Tak sangka Ratna melangkah ke jalan syetan. Ia berada di luar bersama supirnya, habis ceramah di Kabupaten Sendang. Dalam mobilnya, ia tak banyak bicara, tidak seperti biasa. Mulutmya beristigfar, sambil mengelus dada sesekali.

“Wati.” Ia melihat dari jendela mobil.
“Ah bukan, ia di Jakarta.” gumam pak Darto.
“Ah benar, Wati!” yakin pak Darto dalam hati.
“Sobari, minggir dulu!” Suruhnya.
Wajahnya berubah sedikit cerah ketika melihat teman kecil anaknya “Nak Wati!”.
Wajah anak muda itu murung tak semangat “Pak Kiai?” gugup heran.
“Kata Ratna kamu pindah ke Jakarta?” tanya pak Darto.
“Benar pa.” jawab Wati.
“Sedang liburan  sebentar.” Jelas singkat Wati.
“Main nak ke rumah Ratna, Ratna sedang terkena musibah!” memelas pak Darto.
“Hah, kenapa Ratna pa?”. Wati kaget.
“Sebaiknya, kamu ke rumah nak!” pak Darto.
“Baiklah.”

******

Pada malam ia menceritakan gelapnya, bintang menggantung di langit seperti pajangan tak berarti. Matanya memuntahkan kepedihan, sampai merah. Ia masih mencuat pada dirinya, yang hina. Himpitan tak berdaya melilit pada ulu hati. Jemarinya menari bergetar ria, seperti menikmati lagu perih. Diantara semuanya, ia meneriaki tentang kenyataan, andai ia bisa menghapus jejaknya.

“Lelaki itu benar srigala,” Katanya pelan - sambil mengepalkan tangan. “Brukkkkkkk.” ia memukul meja di samping kanannya, menyusul tangisan yang tersedan seperti tertawa. Wati  hanya diam melihat di ranjang sahabatnya Ratna, sambil memangku ketakutan, ia menelan ludah.


“Ah, kenapa!” Tanya dalam hati wati. “Ia menangis persis arya adiku yang usianya baru lima tahun” ungkap dalam hati wati.  Wati menaruh tumpukan ketakutan di ranjang Ratna. Menghampiri, memegang pundak  Ratna “Sudahlah Rat, jangan meratapi kesedihanmu, Tuhan memberimu segudang cobaan tapi Ia tak lupa mengantarkanmu pada solusi yang banyak melebihi cobaanmu”.

“Jangan sok tau, Wat!”. Kamu belum pernah sepertiku. Tiba-tiba ia tertawa dan berkata “Tapi benar katamu dulu wat, tidak ada yang dapat menjaga perempuan kecuali rasa takut dan malu pada Tuhannya, andai saja waktu itu aku percaya.” sedikit tertawa kecil dan memegang perutnya. Wati tidak menggubris sahabatnya, hanya diam menelan ludah. Masih risau, di kedua perempuan itu.

“Musibah dari Tuhan?” desir dalam hati Wati penuh kebencian “Apa maksud musibah yang dimaksudkan Pak kyai itu, apa ini?”tanya tegas pada dirinya sendiri. “Manusia bisa saja mengelabui Tuhannya, berdoa atas musibah yang telah ditimpakan pada mereka. Padahal apa yang terjadi memang yang ia inginkan. Salahnya untuk mendapatkannya dengan jalan pintas tanpa melewati norma-norma Agama, ya jadi seperti ini. Tekdung! desir kesal dalam hati Wati.

Dari siang Wati menemani Ratna mengurai nasibnya, sudah jam sebelas malam ia masih dalam bilik bambu rumah pak Kiai Darto. Ia tak berubah masih canggung, wajahnya senantiasa merunduk melihat Ratna mengeluh pada nasibnya. Ia tak enak pada pak Kiai, ia ada pada ranjang Ratna karena suruhan pak Kiai. Mempercayakan sepenuhnya kepada Wati menarik kelapangan hati anak semata wayang pak Kiai Darto.

“Sholat taubat, Rat!” Katanya wati mulai berbicara.
“Tidak Wat, Tuhan tidak bisa dibohongi!”. Jawab Ratna dengan mata berkaca-kaca.
“Aku punya niat lain, aborsi.” ungkap Ratna.
“Jangan!”. cepat bantah wati sambil mendekati Ratna.
“Biar saja, aku tak kuat seumur hidup dibicarakan orang, ujungnya aku bunuh diri dan masuk neraka. Apa bedanya kalau begitu?” Tanya Ratna.

Wati menumpahkan air matanya di bantal Ratna. Menangis tersedu-sedu, ia merasa tak berguna untuk sahabatnya itu. Ia seperti ikut mengecap kepedihan Ratna, sedari dulu Ratna susah dikasih tahu. Dalam sirat matanya, ia ikut andil dalam kepedihan yang tersembunyi, melebihi Ratna.
“Manusia adalah manusia Rat, mempunyai satu cobaan. Bukan hanya kamu, yang lain juga sama, justru Tuhan menitipkan cobaan untumu untuk menguji kelayakanmu. Layak atau tidak menjadi penghuni surga-Nya!”. Celetuk Wati. “Coba kamu pikir jika jaka bertanggung jawab apa kamu masuk surga?”, “ Aku rasa tidak Rat, karena kamu berzinah!”.  

Mendengar ucapan wati, relung hati Ratna seperti dicambuk. Ia semakin tak menjadi, menangis menyesali karena menghisap madu yang sesaat yang seharusnya ia tak lakukan dengan jaka sebelum ijab qabul.
Wati tersungkur lunglai tak berdaya, di ranjang Ratna. Ia tertidur, seperti mendengar dongeng nestapa. Ratna, masih meraung seperti orang gila.

******
Pagi, desau angin berbisik dari jendela kayu kamar Ratna, ia tidak tidur. Ia mencari-cari remot tv, menonton berita pagi. “Wat, bangun sudah pagi!”, Ratna.  Tanpa jeda ia langsung kaget bangun “Ya Allah, ketinggalan subuh!.” Wati menyesal, ia segera lari ke kamar kecil, tiba-tiba berhenti seketika mendengar tertawaan Ratna. “Ada apa rat?” tanya wati, ia makin menjadi tertawa. “Kamu sudah gila yaa?”. “Kamu yang sudah gila wat?”. “Hah!, maksudmu?” tanya wati. Jawab Ratna “Lihat ranjangku, penuh darah kotormu?”. “Oh iya, aku lupa!, tamu agung datang kemarin.”

Wati segera ke kamar kecil, lalu membersihkan ranjang Ratna. “Wat, aku sudah pikir-pikir semalam.” Ratna dengan tenang. “Lalu bagaimana?, apa kau sudah mendapati Jaka?” tanya Wati penuh harapan. “Tidak Wat!, Tak usah pikirkan Srigala keparat itu lagi, muak!” Ratna kesal. “Lalu?” Wati. “Aku mau aborsi saja!”. “Aku ingin ikut ke Jakarta denganmu Wat.” “Mau ngapain Rat?” tanya Wati heran. “Aborsi disana, tadi aku nonton berita ada janin yang dibuang di Kabupaten Sendang, di duga aborsi di Jakarta karena sang ibu bayi turun dari bus jurusan Jakarta.” “Hah, Kabupaten Sendang!” Wati kaget. “Iya, janinnya ia buang di closet terminal.”. jelas Ratna, “Sadis yaa?, tapi saya yakin dia punya alasan tersendiri kenapa ia aborsi, seperti saya punya alasan sendiri.” Ratna tenang. Tiba-tiba terdengar suara tangisan dibalik punggung Ratna, Wati menangis sedu sedan. “Kamu jangan aborsi wat, jangan.” Wati mengatakan dengan jelas sambil menangis. “Tidak, Wat keputusanku sudah bulat!”. “Jangan wat!, kasihan bapakmu” Wati. “Apaa?, apa kau bilang?”Ratna. Wati membisu, ia keceplosan. “Bapak sudah tau?, Tidak!, Tidak, katakan Wat?” Ratna. “Iya, ia sudah tahu sebelum aku Rat.”Wati menunduk.

Ratna keluar membuka pintu kamar dan membantingnya, ia mencari bapaknya. Pak darto sedang duduk di kursi goyang. “Maafkan aku Bapak.” Ratna menangis bersimpuh di kaki pak Darto. “Maafkan aku Bapak.” kembali meraung. Ia diam saja, dalam diamnya merajut kepedihan yang begitu mendalam. Mukanya mulai memerah melihat anak semata wayangnya menangis mengakui kebinatangannya. Lelaki tua itu menangis karena ia selalu membanggakan anaknya itu. Kini, anaknya berada pada titik paling bawah. Lalu ia berdiri menghindar rengkuhan tangan di telapak kakinya. Ia berkata “Solat taubat, Bapak jijik liat kamu Rat!”. Mendengar ucapan bapaknya ia kaget, bukannya segera solat ia malah pergi menuju dapur dan melempar piring-piring. Tiba-tiba matanya menemukan pisau, ia ambil dan menusukannya ke perutnya berkali-kali. Wati merasa aneh dengan suara Ratna, ia mengintip ke dapur. Disusul pak Darto  “Tidaaaaaaak!” Wati teriak mencoba mengambil pisau itu. “Ratnaaa, tidak nak kenapa seperti ini” tangis Pak darto. Wati lemas melihat pemandangan itu, “Ia terlalu kau manja pa Kiai!” Wati sambil mengarahkan pisau bekas Ratna ke urat nadinya.

******
Musim kemarau akan datang, angin kencang  setiap hari bergurau namun tak membuat hati pak Darto lebih tenang, semakin surau penuh tanya. Sudah seminggu orang tua Wati belum terlihat batang hidungya. Hari-hari setelah itu, ia sulit tidur. Belum menemukan jawaban, jawaban kenapa Wati ikut-ikutan dengan Ratna.

Tiga bulan  berlalu kisah berdarah itu mulai berangsur terlupakan, pak Darto tak mau memikirkannya lagi. Pikirnya, Wati pasti meninggalkan arang kalau bermain bakar-bakaran. Pada siang itu, pak Darto selepas solat dzuhur dari masjid dekat rumahnya. Ada dua orang lelaki  menunggu pak Darto di teras rumahnya. Dua lelaki itu bertinggi besar, mukanya kasar seperti lentenir penangih hutang.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak!” tanya pak Darto. “Mau cari Wati, Pak!” jawab salah satu dari lelaki itu. “Wati sudah mati!” santai Pak Darto. “Bapak bohong pasti bapak ingin menutupi!”. “Saya tidak bohong, kalian siapa?”. “Kami anggota kepolisian”. jawab salah satu dari mereka. “Benar pak, Ia mati bunuh diri bersama anak saya, ada apa pak?”. “Wati adalah ibu dari janin yang ia buang di kabubaten Sendang.”Jelas bapak Polisi.

“Maksud bapak, wati aborsi?”. “Iya, Wati aborsi”. pak Darto tercengang, lalu bertanya “Ibunya kemana?”. “Ibunya gila, karena yang menghamili Wati kakaknya, sekarang dia dipenjara.” jelas bapak Polisi. Pak Darto kembali menangis,  menangisi Wati melebihi anaknya Ratna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar